Their First Meeting

20 2 0
                                    

Hidup ini penuh dengan plot twist. Seberapa rapi pun kita berencana, tak ada jaminan akan berjalan seperti yang kita duga.

Hanya dalam jangka waktu sepuluh tahun kuliah, Julian berhasil menjadi psikiater. Dalam dunia kedokteran, sepuluh tahun adalah waktu yang terbilang singkat untuk menjadi seorang spesialis. Otaknya memang cerdas sedari kecil.

Enam tahun kuliah kedokteran dan internship, empat tahun kuliah spesialis dan kini, di usia ke 29 tahun, dia sudah jadi seorang psikiater. Banyak teman-temannya yang butuh 12 tahun, bahkan lebih, untuk bisa sampai ke tempat dia sekarang berdiri.

Dikaruniai kecerdasan yang luar biasa, Julian memilih cita-cita yang lain dari yang lain. Ingin menjadi penyembuh kesehatan jiwa manusia lain.

Saat kuliah spesialis, dia termasuk beruntung karena menjadi asisten Profesor Tara, seorang psikiater terkenal Indonesia. Karena itulah setelah pendidikannya selesai, Profesor Tara memberi tawaran untuk bekerja di Mahardhika Hospital, salah satu rumah sakit paling terkenal di seantero negeri, dan punya banyak cabang di banyak kota-kota besar.

Setahun bekerja di bawah bimbingan Profesor Tara di rumah sakit itu, mendadak Julian dikejutkan dengan berita bahwa sang Profesor harus pergi ke Denmark, untuk menjadi pembicara di sebuah seminar psikiatri yang sangat penting dan bergengsi.

Lalu siapa yang akan mengambil alih konsultasi klien-klien terpenting Profesor Tara?

Tak lain dan tak bukan: Julian.

Sebetulnya Julian tidak merasa siap secara mental dengan semua beban dan tanggung jawab yang sang Profesor percayakan padanya. Dia hanya ingin bekerja di rumah sakit terkenal itu dan menjadi seorang psikiater junior dulu. Bukankah semua ada tingkatannya?

Namun sejak dia mulai bekerja di situ, sang profesor, yang memang Kepala Bagian Psikiatri di RS itu, menjadikan Julian asistennya, seolah dia orang tertinggi kedua di situ. Dia sungkan dengan para seniornya, yang ada 10 orang lainnya.

Tak ada rekannya yang pernah berkata negatif, namun hati orang siapa yang tahu?

Walaupun Julian tidak ingin berprasangka buruk, mau tak mau dia berusaha menolak semua tanggung jawab yang dilimpahkan padanya selama dua minggu kepergian sang profesor.

"Lagian seminar aja lama banget, sih, Prof? Profesor sekalian keliling Eropa?"

"Sembarangan! Ini seminar terbesar bidang kita, kamu kayak gak tahu aja. Seminggu buat persiapan, seminggu buat seminar real-nya. Ada masalah apa? Kamu kayak anak ayam mau ditinggal induknya pergi aja."

"Kenapa harus saya, Prof, yang nanganin klien-klien ini dan gantiin Profesor ngajar? Kan masih banyak senior saya di sini."

"Mereka gak ada yang punya ambisi lebih, Jul. Jujur aja, kadang saya pikir temen-temen kita yang lain punya sindrom yang sama uniknya seperti pasien-pasien kita."

"Kode etiknya diinget, Prof, dilarang jelekin temen sejawat."

"Kamu pikir kamu gak ngelanggar kode etik, debat saya terus?"

"Saya ini lagi serius, Prof."

"Saya juga nggak lagi bercanda, Julian."

"Tolonglah, Prof. Klien VVIP yang ranking satu kok diserahin ke saya. Kenapa nggak ke Dokter Yulia aja?"

"Saya udah pernah coba alihkan Kalista ke dokter Yulia waktu saya harus ke Singapura nganterin Mama saya berobat tahun lalu. Dan Kalista cuma diam saja selama satu jam."

"Kalo Dokter Yulia aja nggak diterima sama si ranking satu ini, apalagi saya, Dok?"

"Namanya Kalista Naila Mahardhika, Julian, jangan panggil dia ranking satu terus."

His Fallen AngelWhere stories live. Discover now