TG 01

167 7 5
                                    

“Saga! Gue duluan pulangnya, kalau nungguin lo selesai latihan bakalan lama banget!” pekik seorang remaja cantik dari gerbang masuk lapangan basket SMA Bina Gemilang.

Itu adalah Sagia Camelia Jayden—gadis dengan cardigan lilac yang kini berjalan mendekat ke arah kerumunan siswa laki-laki yang masih mengenakan seragam basket mereka.

Semua orang yang ada di sana mengalihkan perhatian kepada gadis cantik yang kini sudah di hadapan, mereka menatap Gia dengan tatapan memuja, ya karena gadis itu begitu memanjakan mata.

Sagara—remaja tampan yang baru saja dipanggil pun langsung bangkit dari duduknya untuk menghampiri Sagia.

“Yakin lo bisa sendiri?” Sagara menatap kembarannya tak yakin. “Kalau nanti kenapa-napa di jalan, gimana?”

“Kok, lo gak percayaan gitu? Yakin aja, gak bakal kenapa-napa!” Gia menyahuti sang kembaran. “Udah, gue pulang dulu, bye!” pekik Gia langsung berlari ke luar lapangan basket.

Sagara melihat kembarannya yang tidak mau mendengar apa yang dirinya katakan hanya bisa menghembuskan napasnya pasrah. Toh, meskipun sudah dilarang gadis itu tetap akan keukeuh dengan keinginannya.

Area sekolah berubah sepi karena semua siswa satu persatu telah beranjak pulang. Begitu pula dengan Gia yang sudah di parkiran untuk mengambil motor matik barunya. Ini adalah hari kelima Gadis sipit itu dibebaskan mengendarai motor oleh kelurganya. Namun, hari ini Sagia tak kuasa menunggu Sagara yang masih sibuk dengan latihannya. Alhasil, Gia memutuskan untuk pulang sendiri. Gadis itu yakin saja, pasti dirinya bisa tanpa ada pengawasan dari kembarannya.

Terik matahari menyinari seluruh sudut kota. Gia menjalankan motornya dengan kecepatan standar, tetapi semakin lama laju motor matik tersebut semakin tinggi dari yang biasanya gadis ini bawa. Ini akan menjadi kali pertama bagi gadis itu pulang sekolah tanpa pengawasan dari Sagara.

Dari atas motor Gia tersenyum senang karena kini gadis itu merasa jika ini adalah waktu baginya untuk memperlihatkan skill barunya ketika sedang mengendarai motor dengan kecepatan lebih laju dan tanpa pengawasan. Namun, siapa sangka karena terlalu ingin menapakkan skillnya tersebut, motor yang tadinya berjalan dengan lumayan, mendadak hilang kendali.

“Akkh…!”

Pekikan keras nan nyaring keluar dari bibir Gia ketika gadis itu berusaha mengelak sebuah becak yang berasal dari arah yang berlawanan yang hampir ditabraknya. Gia mengarahkan motornya ke sisi kanan, sedetik kemudian tanpa bisa dihindari, motor matik itu sudah lebih dulu menghantam bagian depan sebuah mobil yang terparkir damai di pinggir jalan.

Suara dentuman dari tabrakan tersebut terdengar jelas di telinga para pengguna jalan. Satu per satu orang yang ada di sana menghampiri pusat tabrakan yang baru saja terjadi.

Semua orang bisa melihat bagaimana keadaan motor dan pemiliknya sudah berpisah yang artinya Gia terjatuh dari motornya dan tubuh kurus itu sedikit terhempas ke sisi kiri jalan.

Beberapa dari pengguna jalan mendekati tubuh Gia yang terkulai lemas dengan mata gadis itu yang sudah terpejam. Darah dan luka terlihat jelas di beberapa bagian tubuh putih milik Gia, apalagi bagian lutut dan kaki gadis itu yang banyak terdapat lecet-lecet karena Gia memakai rok di atas lutut yang kini sudah terkikis aspal.

“Neng, Neng, bisa dengar suara saya?” tanya salah seorang pria berumur sambil memeriksa keadaan Gia.

Antara sadar dan tidak, Gia sedikit menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Sakit, belum terasa pastinya, tetapi sekarang Gia hanya merasa sangat malu karena kini dirinya menjadi pusat perhatian semua orang yang sudah berkumpul mengerumuni dirinya yang sudah terkapar di tepi jalan raya.

Pria berumur yang tadi bertanya pada Gia, kini mengambil ponsel milik gadis itu yang tergeletak begitu saja di atas jalan, mungkin karena terlempar dari saku rok seragamnya. Laki-laki itu meminta izin pada Gia untuk menelpon salah satu walinya. Akan tetapi, tak kunjung mendapatkan balasan dari gadis yang sudah memejamkan matanya.

“Telpon aja, Pak walinya. Kasian adek ini,” titah seorang ibu-ibu ikut menimbrung ke topik untuk menghubungi keluarga si gadis korban.

Berakhirlah pria itu menghubungi sebuah kontak yang berada di log panggilan teratas yang bertuliskan 'mama'. Bapak itu mengatakan jika ada seorang anak perempuan baru saja mengalami kecelakaan.

Di saat sebagian orang berkumpul dekat Gia karena cemas dengan keadaan gadis itu yang sudah menutup mata. Lain halnya dengan sekolompok orang yang kini sedang menggedor-gedor pintu mobil di sisi pengemudi. Setelah mereka para warga memantau, dan ternyata di dalam mobil yang berdiri di tepi jalan ini, terdapat pengemudinya alias pemiliknya.

“Woi! Keluar dulu ada tabrakan ini!” Bawakan dia dulu ke rumah sakit!” Segerombolan orang yang sempat melihat adegan tabrakan tadi, kini mereka memaksa pemilik mobil itu untuk keluar.

Si pemilik mobil itu dari dalam mobil sudah menghembuskan napasnya kasar. Dirinya tak habis pikir, bisa-bisanya ada orang yang menabrak mobilnya yang sedang anteng berdiri di tepi jalan. Dikarenakan tak sanggup lagi mendengar gedoran pintu dan teriakan dari orang-orang. Sang pemilik mobil itu yang langsung keluar dari mobilnya untuk melihat dengan jelas siapa gerangan yang menabrak mobil yang sedang diam.

“Den, ini ditanggung jawab, dong, si Neng nya gak bisa bangun, mana si Nengnya udah pingsan ini.”

Suara seorang pria berumur yang tadi bertanya pada Gia, yang sekarang memerintahkan pemuda tampan itu untuk bertanggung jawab atas kecelakaan konyol siang ini.

Bukankah ini jelas-jelas salah pengguna motor tersebut? Jadi kenapa malah dirinya yang harus bertanggung jawab? Begitulah pikir pemuda tersebut.

“Kenapa saya? Ini jelas-jelas dia yang salah, dia yang menabrak mobil saya,” balas pemuda itu, tentu saja tidak mau disalahkan.

Terdengar suara ricuh beberapa orang di sana. Ada yang mengatakan ini bukan kesalahan Gia dan ada juga yang membela pemuda tampan pemilik mobil tersebut.

“Terserah, deh, Den, yang penting bawa dulu dia ke rumah sakit, lecetnya lumayan banyak, biar langsung diperiksa dokter.” Bapak itu melanjutkan ucapannya, agar Gia—yang mereka anggap sebagai korban segera mendapatkan penanganan rumah sakit.

Jantung Gia berdetak kencang ketika suara sahut-sahutan itu menembus telinganya. Jangan tanyakan bagaimana kondisi gadis itu sekarang sedang mencoba memejamkan matanya rapat-rapat agar dirinya terus disangka pingsan, setidaknya sampai tiba di rumah sakit.

“Iya, saya bawa dia ke rumah sakit. Tapi ini tetap bukan saya yang bersalah.” Pemuda tampan itu kembali mengulangi kata-kata bahwa di sini dirinya tidak bersalah.

Kemudian pemuda itu mensejajarkan diri agar bisa menjangkau tubuh yang lebih kecil daripada ukuran tubuhnya. Pemuda itu menatap intens wajah polos gadis yang kini berada dalam gendongannya.

Eh, eh, gue digotong ke mana ini? jerit Gia dalam hati.

Perlahan Gia merasakan tubuhnya diangkat oleh beberapa tangan dan kemudian ia merasakan tubuhnya dibaringkan di sebuah kursi empuk. Beberapa saat kemudian Gia tak lagi mendengar suara ricuh seperti awal kejadian tadi. Dengan rasa penasaran yang tinggi, gadis itu perlahan mengintip dengan ujung mata untuk melihat sekitar, ternyata sekarang dirinya sudah berada dalam mobil yang termasuk elit. Namun, tetap saja mobil Kakaknya lebih elit.

Tak lama kemudian suara pintu terbuka terdengar dan hal itu membuat Gia buru-buru menutup kembali kelopak matanya.

Pemuda yang baru saja dari luar mobil untuk mengambil tas dan ponsel gadis yang ia tak tahu namanya. Pemuda itu melirik mendudukkan dirinya di kursi kemudi dan melalui cermin depan laki-laki itu memperhatikan ke arah kursi belakang.

“Jangan pura-pura nutup mata, gue tau lo cuma pura-pura pingsan.” Pemuda itu memutar malas bola matanya.

Aduh, ya, Tuhan, bantu Gia, batin Gia ingin rasanya menangis menahan malu dan menahan denyutan nyeri dari beberapa lukanya.

Sambilan menyetir laki-laki tampan itu menoleh ke belakang dan ia tidak melihat tanda-tanda gadis itu ingin membuka mata.

“Buka mata atau gue dorong lo dari mobil?” Pemuda itu memberi pilihan yang tak bisa Gia hindari.

**


Hai hai, yes ombak dulu. Lanjut gak nih???

Theora Grafinda (Pindah ke Fizzo)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang