“Ini semua gara-gara lo, anjing!”
“Bukan gue, gua gak tau apa-apa.” Kalimat Pembelaan itu terdengar keluar dari bibir seorang pemuda.
“Cih, gak ada maling yang mau ngaku, sama kaya lo, mana ada penjahat yang mau ngaku!”
“Gak mungkin gue yang ngelakuin itu!” balasnya tegas.
“Gak ada yang gak mungkin kalau ada kesempatan dan situasi. Yah, dan lo berhasil merenggut satu nyawa!”
Huhf huhf huhf
Tak lama kemudian seorang laki-laki muda terbangun dari tidurnya dengan deru napas yang memburu. Kilasan balik kejadian tiga tahun lalu kembali hadir ke dalam mimpinya.
“Bahkan sampe sekarang mereka masih nuduh gue,” desis Theo mengusap wajahnya gusar.
Pemuda yang bertelanjang dada itu melirik ke arah jam yang terletak di atas nakas dan sekarang jam empat pagi. Theo rasa dia tidak perlu melanjutkan tidurnya lagi, karena hari ini ada pertunjukan dan kompetisi yang harus dihadiri.
Theo melangkahkan kakinya ke lantai dasar, lebih tepatnya laki-laki itu pergi ke ruang olahraga. Pagi ini akan menjadi pagi yang diawali dengan olahraga, karena beberapa hari ke belakang pemuda itu tampak tak punya waktu karena ada satu masalah yang sedang di hadapinya dan bahkan hingga detik ini.
**
**
Sorak sorai bergemuruh mengisi setiap sudut tribun lapangan basket. Bagaimana tidak heboh, jika sekarang dua kubu sebagai peserta akhir pertandingan basket memasuki area lapangan. Sekarang banyak penonton yang meneriakkan dukungan untuk masing-masing tim pilihan mereka.
Di saat semua orang sudah menentukan pilihan regu masing-masing. Namun, tidak dengan Gia, gadis itu terdiam di atas tribun setelah melihat siapa gerangan yang hari ini menjadi lawan kembarannya. Di atas sana Gia melihat dua orang tersebut. Bagaimana bisa dunia begitu sempit, sampai-sampai yang sekarang akan bertanding dengan Saga—kembarannya ternyata adalah laki-laki tampan yang pernah menolongnya, yaitu Theo. Anehnya lagi, Gia menaruh hati pada laki-laki itu, hal tersebut semakin membuat Gia bertingkah gusar di atas sana.
“Duh, kalau gini mau dukung siapa, ya?” Gia bingung sendiri di tengah-tengah tribun lapangan.
“Bingung kenapa, Gi? Ya, lo tinggal dukung kembaran lo lah, ya kali dukung sekolah sebelah,” timpal seorang gadis berambut ikal yang kini duduk di samping Gia.
“Bukan itu masalahnya, Ovi ... Ini pilihan terlalu sulit.” Gia menjawab balasan Ovi dengan nada yang mendrama.
Dukung kakak sendiri atau pujaan hati?
Ovi memutar matanya malas. “Serah lo, deh.”
Ovie Aruna—gadis yang merupakan teman Gia sedari kelas sepuluh hanya bisa menggedik bahunya. Rasanya percuma saja berbicara dengan Gia, yang ada saja balasan menyebalkan.
Terlihat di tengah-tengah lapangan sana, kedua belah kubu berdiri saling berhadapan dan saling menjulurkan tangan untuk bersalaman. Iya, bersalaman, bukan salaman perdamaian, melainkan salaman pembukaan dari perlombaan yang akan dimulai.
Ini bukan kali pertama pertandingan antara mereka, bahkan ketika tiga tahun lalu mereka juga pernah berkompetisi dalam satu perlombaan. Di mana saat itulah semuanya bermula. Benar, yang sekarang bertanding adalah tim yang diketuai oleh Sagara dan tim lawan yang diketuai oleh Theo.
“Lo gak bakal menang dari gue,” ucap Sagara memandang remeh lawannya pada hari ini.
Bayangan kelam itu sangat tercetak jelas dibenak Sagara, bahkan untuk melihat wajah Theo saja, dia sudah muak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Theora Grafinda (Pindah ke Fizzo)
RandomIni kisah tentang Sagia Lyka Jayden, gadis bungsu cantik dari keluarga Sultan Jayden yang menaruh hati pada pemuda tampan yang pernah ia tabrak . Theora Grafinda-pemuda tampan berwajah datar dan dingin itulah yang selalu terngiang di benak Gia pasca...