Kenzo Candrawangsa

176 9 2
                                    

Langkahnya terasa sangat berat. Dengan tertatih dia terus melangkah ke depan tanpa sekalipun menoleh ke belakang. Ada jejak air mata yang telah mengering di pipi nya. Juga darah di bibirnya yang mengundang perih setelah dia gigit kuat-kuat untuk menahan isakannya.

Ada yang pernah mendengar nama Jovanka?

Atau mungkin Adam Stevanus Jovanka?

Bukankah nama itu tidak asing lagi? Bukankah nama itu sudah berkali-kali dikumandangkan orang-orang? Berapa banyak pujian dan decak kagum atasnya? Jovanka itu adalah rajanya para raja.

Tetapi malam ini, seluruh dunia tengah menyaksikan kehancurannya. Kediaman Adam Stevanus Jovanka dan seisinya lenyap terlahap api yang menyala terang di tengah gelapnya malam.

Tidak ada yang selamat, kecuali dia.

Lengan kirinya yang melepuh terkulai lemas, seolah kehilangan fungsinya. Sedangkan tangan kanannya memegang erat bayi merah yang bahkan belum ada satu jam lahir ke dunia.

Dia kembali menangis entah untuk ke berapa kali. Dalam ingatannya masih segar raut wajah teduh milik sang tuan yang menyuruhnya berlari masuk ke dalam lorong bawah tanah. Wajah teduh yang bertahun-tahun dirinya pandang, kedepannya tak akan lagi dia jumpai.

Dia menunduk, menatap bayi dalam gendongannya yang tertidur tenang. Seolah tidak terganggu dengan sekitarnya.

Dia mengusap pelan pipi putih kecil sang bayi, "Putra anda akan saya jaga dengan sangat baik, Tuan Sagas."

Dia menatap sungai di hadapannya dengan pandangan tajam.

Akan dia balaskan rasa sakit anak dalam gendongannya.

Mereka yang telah merenggutnya akan dia pastikan tidak mendapat tenang secuil apapun hingga kematian menjemput.

"Teruslah hidup, Edgar Elvanio Jovanka."





Bertahun-tahun bekerja di bawah Jovanka memberinya banyak pelajaran berharga tentang kehidupan. Tentang bagaimana caranya kita bertahan dari badai besar yang menerjang. Tentang bagaimana caranya tetap berdiri tegak di atas tanah yang terguncang.

Kenzo mempelajari semuanya dari sosok Adam Stevanus Jovanka. Orang yang membawanya.

Tahun-tahun yang dia lewati hanya dia abdikan untuk mendampingi sosok Adam dan putra semata wayangnya, Sagas Immanuel.

Tumbuh semakin dewasa di dalam rumah megah yang awalnya dia kira hanyalah sebuah bangunan bisu yang terlampau dingin, nyatanya rumah itu rasanya sangat hangat. Saking hangatnya, Kenzo sampai lupa bahwa sebelumnya dia sering kali mengecap rasa dingin yang membuatnya menggigil.

Yang tidak pernah Kenzo kira adalah Jovanka juga hanya berisi manusia biasa yang kapan saja bisa menyentuh dasar tanah.

Malam di mana Jena, istri Sagas hendak melahirkan buah hati pertama mereka. Kediaman Jovanka dikepung ribuan musuh mereka. Semua orang menjaga satu kamar yang ditempati Jena dengan Kenzo yang berjaga sendirian di dalam kamar luas itu.

Begitu tangis bayi terdengar, ledakan dari selatan kediaman menghancurkan sebagian besar rumah. Satu fakta yang rasanya membuat seluruh persendian Kenzo mati mendadak adalah tuannya Adam berada di sana. Terkubur bersama ratusan musuhnya.

BRAK

"KENZO! BAWA PUTRA KU PERGI!!"

Kenzo berbalik, mengambil alih bayi merah yang masih penuh darah dari tangan Dr. Mahen. Pria itu tersenyum teduh pada Kenzo.

After Ending [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang