0.0

65 9 0
                                    

"Ada banyak hal yang ga bisa kita kendalikan dalam hidup ini, bahkan kadang tubuh kita sendiripun bisa bergerak di luar kendali. Kita memang bisa memilih, tapi tidak semua pilihan sama-sama baik, salah satunya harus hancur atau dua-duanya tidak bisa hidup, "





Ketika waktu membawa mereka jauh ke depan, melewati ribuan anak panah yang menghunus brutal, menusuk apapun yang berada dalam jangkauannya, terjatuh, bangkit lagi, jatuh lagi, bangkit kembali...begitu seterusnya.

Kenzo mungkin dipandang pengecut karena melarikan diri ke rumah seorang perempuan untuk mencari perlindungan. Tetapi dengan bayi mungil yang bahkan masih berwarna merah, dia bisa apa selain terus berlari ke depan berharap akan ada uluran tangan yang bersedia menariknya keluar dari jurang kegelapan?

Dan satu-satunya orang yang mau membawanya adalah Bianca, seseorang yang katanya tahu banyak tentang tuannya. Lebih dari sekedar tahu.

Begitu tahun terus merangkak maju dengan cepat. Peristiwa masa lalu terlewati begitu saja di atas tumpukan luka yang mungkin telah bernanah.

Kenzo tersenyum tipis, menatap hangat bingkai wajah yang cukup mirip dengan milik tuannya.

"Ayah tidak perlu khawatir, aku sudah dewasa, aku bukan anak-anak lagi, aku pintar, tidak ada alasan untuk ayah khawatir pada ku."

Ini adalah kalimat yang sering Edgar ucapkan begitu melihat sorot sayu milik Kenzo.

"Aku mengirim higanbana, ayah. Aku tidak menciptakan keributan, aku selalu bermain tenang."

Kenzo tahu dia tidak punya alasan untuk khawatir pada Edgar. Tetapi, naluri seorang ayah yang dia bangun 17 tahun lalu selalu berhasil membuatnya cemas tanpa sebab begitu tidak mendapati putranya di jam-jam biasanya anak itu ada.

Maka dengan helaan napas yang cukup berat, Kenzo mengusap surai Edgar, "Tapi lain kali tolong bilang pada ayah dulu ya? Ayah khawatir." Ucapnya pelan.

Edgar memberi anggukan ringan, menempelkan tubuhnya pada tubuh Kenzo untuk semakin menikmati elusan lembut di atas rambutnya.

"Besok sekolah mu dimulai kan? Carilah teman, kali ini benar-benar teman, Ed." Ucap Kenzo.

Edgar tertawa pelan, "Baik baik, tapi aku akan tetap memprioritaskan para bajingan itu, ayah. Aku dengar-dengar mereka cukup berpengaruh di sekolah dan sayangnya mereka menyukai anak lemah. Oh haruskah aku bersikap lemah agar semakin dekat dengan mereka?"

Edgar mendongak, menatap polos Kenzo yang memandanginya tanpa ekspresi.

"Tidak perlu, itu merepotkan dan melelahkan." Balas Kenzo.

Edgar mencibir,

"Tapi sepertinya akan seru, ayah! Aku ingin, bagaimana ini?" Rengek Edgar sambil menduselkan kepalanya pada perut Kenzo.

"Hahhh, terserah lah, asal jangan menempatkan diri mu dalam masalah." Final Kenzo.

Edgar memekik senang, dia memeluk Kenzo erat sambil bergumam tidak jelas.

"Sayang ayah pokoknya! Oke byee! Aku mau minta saran aunty buat jadi anak lemah!"

Setelahnya Edgar menghilang dari pandangan Kenzo. Bocah itu berlari ke arah kamar Bianca yang berada di lantai dua.

Kenzo menggelengkan kepalanya. Mau sebesar apapun Edgar, dia tetaplah anak-anak.

"Meminta saran Bianca heh? Justru kau akan dijadikan bocah gendeng, Ed." Gumam Kenzo merasa geli dengan pemikirannya sendiri.





"Nah gini nih, cakep! Aduhh manisnya keponakan kesayangan aunty!! Aaa!!!"

After Ending [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang