Keenam

339 24 0
                                    

Dafi sudah sejak subuh tadi terbangun dan langsung mandi untuk bersiap-siap melaksanakan tugasnya sebagai seorang pengawal Rafa.

Seusai mandi, Dafi langsung saja menghampiri kamar Rafa. Awalnya, Dafi mengetuk pintu kamar itu, tapi begitu dia menekan kenop pintu, ternyata pintunya tidak dikunci.

Dafi masuk ke kamar Rafa dan menghampiri Rafa disana. Rafa masih tertidur pulas dengan bertelanjang dada. Suhu kamar itu sangat dingin sampai membuat Dafi heran, mengapa Rafa sanggup tidur dengan suhu dingin tersebut.

"Rafa... bangun, Raf. Udah pagi nih" Dafi mencoba duduk di ujung kasur di samping kanan Rafa.

Rafa enggan terbangun dari tidurnya.

"Rafa... sekolah yuk! Udah pagi loh ini"

Rafa hanya mengeluarkan suara tidak jelas karena ia paling tak suka dibangunkan pagi-pagi.

"Rafa, ayo dong. Nanti terlambat"

Rafa bersuara dengan mata tertutup, "Emang ini jam berapa?"

"Jam 6 pagi"

"Astaga Tuhaaaannn, bukan jam gue bangun itu woooy!!! Satu jam lagi!" protes Rafa dengan mata yang tertutup.

"Nanti terlambat kalo dari jam segitu, Rafa"

Rafa diam saja, tak merespon. Dia masih tidur.

"Rafa... ayo dong, bangun, abis itu mandi terus sarapan. Yok! Mbak Atun udah masak loh, enak banget"

"Diem!"

"Faaa, ayo dong. Kamu harus biasain bangun jam segini. Supaya enak ke sekolahnya nanti gak buru-buru"

"Diem anying"

"Ya ampun... Fa. Apa susahnya sih bangun"

"Berisik banget siiiih, rrrggghhh!!!"

"Ayo bangun yuk"

"Gak!"

Dafi tak habis pikir untuk membangunkan Rafa dengan cara apa lagi. Kemudian, Dafi langsung saja inisiatif untuk menggendong Rafa menuju kamar mandi di kamarnya.

"Eehhh, eeehhh, woy woy woooy!!! Apa apaan nih???" Rafa mencoba merontak begitu sadar tubuhnya melayang karena di gendong oleh Dafi.

Rafa lalu berhasil melepas diri dari gendongan Dafi. PLAKKK!!! Dia sukses membuat pipi kiri Dafi memerah. "Jangan pernah sentuh-sentuh gua!!! Gua gak suka!!!"

Dafi sambil menahan sakit di pipinya hanya bisa membuka tangannya menuju kamar mandi Rafa. "Silahkan mandi ya, siap-siap sarapan! Saya tunggu di bawah!"

"Bego!!!" teriak Rafa pada Dafi yang berjalan keluar menuju meja makan besar.

Rafa mereog sendirian di kamar mandi.

~

"Ikut sarapan sini, Daf" ajak Hanung pada Dafi.

"Makasih, Pak" jawab Dafi.

"Rafa belum bangun ya?"

"Udah, Pak. Lagi mandi sekarang"

"Waaah, gak nyangka ya. Itu anak males banget bangun pagi loh"

Dafi hanya tersenyum. Kemudian menanyakan sesuatu, "Maaf, Pak. Dari kemarin saya belum liat Ibu. Beliau lagi..."

"Ah, istri saya sudah meninggal sejak Rafa SMP. Jadi yaaa, di rumah ini hanya ada saya, Rafa, dan para asisten saya" potong Hanung.

"Maaf, Pak. Saya turut berduka"

"Iya, gapapa. Ayo sini duduk, Daf. Makan dulu kamu sebelum berangkat ya"

"Baik, Pak"

Tak lama kemudian, Rafa turun dari anak tangga menuju ruang makan. Wajahnya masih seperti menahan kantuk.

"Naaah, gitu dong. Pagi-pagi udah siap ke sekolah, sarapan sama Papa"

Rafa hanya diam saja dengan rambut yang belum kering. Lalu dia duduk di samping Dafi.

Hening sejenak.

Rafa mencetus, "Dia ikut makan disini?"

"Iya, Rafa. Kak Dafi kan mau kerja juga jagain kamu"

"Terus kenapa pengawal Papa yang lain gak ikut makan juga disini?" tanya Rafa.

Mendengar itu, Dafi jadi tak enak.

"Rafa, kamu ah! Udah makan cepetan!" omel Rafa.

"Atau... saya nanti aja, makannya, ya Pak" ujar Dafi.

"Udah kamu disitu aja. Gausah di dengerin si Rafa" ujar Hanung. Lalu Hanung berkata pada Rafa, "Rafa, sebaiknya mulai sekarang kamu menganggap dan memperlakukan Dafi sebagai seorang kakak, bukan sekadar pengawal pribadi kamu!"

"Kok gitu? Papa udah adopsi dia?"

"Tunjukkan manner dan sopan santun kamu pada orang yang lebih tua, Rafa! Belajar menghargai orang lain!" cetus Hanung, "Nanti kalo orang itu udah gak ada, baru nyesel kamu. Kayak Mama dulu"

Wajah Rafa mendadak muram. Dia jadi tak nafsu makan.

"Udah gausah ngambek, ayo dimakan. Yang seharusnya ngambek itu kak Dafi, bukan kamu" cetus Hanung lagi.

Rafa masih diam saja.

"Apa mau saya ambilin, Rafa?" tanya Dafi.

"Gak perlu! Gausah cari muka lu depan bokap!" ujar Rafa.

Dafi hanya tersenyum lagi.

~

Setibanya di sekolah, Rafa menjadi pusat perhatian karena berjalan bersama Dafi di belakangnya.

Para siswa merasa bahwa Rafa dan Dafi terlihat begitu klop ketika berjalan bersama seperti itu. Layaknya kakak beradik.

Tapi entah mengapa Rafa merasa risih dan tidak suka diperhatikan banyak orang seperti itu. Dia langsung berbalik menghadap Dafi di belakangnya. Keduanya sama-sama berhenti melangkah.

"Gini deh..." tutur Rafa seketika.

"Gini deh apa ya, Rafa?" tanya Dafi, bingung

"Kita bikin kesepakatan aja"

"Kesepakatan apa ya?"

"Gue gak suka di ekorin terus kayak gini, dan gue juga yakin, lo pasti bosen kayak gini juga. Harus jagain gue tiap detik"

"Oke, terus?"

"Gimana kalo kita masing-masing aja. Lo bebas kemana aja. Dan gue juga bebas ngapain aja. Nanti lo tinggal bilang laporan palsu aja ke Bokap. Bilang aja kalo gue aman-aman aja sama lo di sekolah. Dan sebagai bonus, lo bisa pergi kemana aja sampe gue telpon lu untuk jemput gue. Gimana?" tanya Rafa dengan serius, meminta kesepakatan.

"Mmm... sepertinya itu ide yang bagus"

"Nah, kan. Oke kalo gitu kita deal ya?"

Dafi tertawa seketika, "Bagus buat kamu. Enggak buat saya"

Ekspresi wajah Rafa langsung berubah. "Elo tuh ya! Gak asik banget jadi orang!"

"Loh, gak asik gimana? Saya hanya menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Dan saya gak bisa berbohong, Rafa. Apalagi sama Ayah kamu. Saya gak bisa"

"Apa sih gausah lebay deh"

"Serius deh, saya gak berani. Apalagi lobi Papa kamu banyak banget. Aduh, gak kebayang deh saya ngadepinnya nanti kayak gimana. Bisa-bisa saya di tembak mati, lagi sama beliau"

"Lo yang gue tembak mati!" cetus Rafa sambil kembali berjalan menuju kelasnya dengan kesal.

Dafi hanya tertawa kecil sambil geleng-geleng kepala. "Rafaaaa Rafa"

TO BE CONTINUED

FIX YOU (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang