Prolog

70 4 2
                                    

Hujan, angin, awan. Sebuah kombinasi yang indah. Air hujan yang menerpa pipi, angin yang menerbangkan rambut, awan yang mencegah matahari. Mereka sangat sempurna.

Hari ini, hari dimana aku harus kehilangan sesuatu. Sesuatu yang sangat amat penting.

Mama.

Mama meninggal tepat pukul 7 pagi. Mama diserang oleh oknum asing memakai pakaian serba merah. Wapaupun dengan pakaian mencolok para warga dan polisi tetap tidak berhasil siapa pelakunya.

Mama dibunuh, tepat didepanku yang sedang santai mengunyah omelet buatan Mama. Mama menerima tusukan di perut bagian kiri yang hampir dekat dengan jantung. Darah nya terciprat kemana-mana. Bahkan omelet yang aku makan terkena 1 tetes darah Mama.

Tubuhku membeku, tidak bisa bergerak. Aku harus menolong Mama dengan teknik penyembuhan milikku. Namun, ada sebuah suara yang memberi perintah untuk tubuhku.

Jangan bergerak atau kau makin kehilangan

Aku terpaku selama kurang lebih 2 menit. Begitupun dengan Papa yang baru keluar dari kamar yang masih memegang pintu.

Orang itu sempat menatapku dalam diam. Matanya bisa kurasakan penuh kebencian, ketidaksukaan, dan sedikit kebahagiaan. Seolah-olah orang itu mengatakan padaku seperti "Lihat? Berikutnya Papa kamu."

Setelah 2 menit tubuhku baru bisa digerakkan, dan juga Papa. Papa berlari kencang menuju tempat Mama dan begitupun aku. Aku langsung mengeluarkan teknik penyembuhan milikku berusaha untuk membuat jaringan-jaringan sel milik Mama menutupi luka nya dan meregenerasi sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit.

Saat tengah melakukan teknik itu, Mama menatapku dengan lembut. Aku merasakan tangan Mama menghentikan tanganku yg sedang menyembuhkan Mama. Mama menggeleng, seperti mengatakan "Mama tidak perlu disembuhkan."

Aku terus keras kepala dan tetap menyembuhkan Mama sebisaku. Papa langsung memanaskan mobil. Sayang sekali karena sudah 2 minggu mobil itu tidak dikendarai maka harus memanaskan mesinnya terlebih dahulu. Kalau begini Mama bisa tidak selamat.

Aku berencana menggunakan teleportasi menuju rumah sakit tempat Mama Seli bekerja dan meminta bantuannya. Tapi aku tidak tahu apakah Mama Seli sudah berada di rumah sakitnya, dan juga ia sekarang di ruangan mana?

Papa akhirnya meminjam mobil tetangga yang sudah siap dikendarai. Papa menggendong Mama dan menyuruhku menjaga Mama di kursi belakang. Aku dengan patuh menuruti perkataan Papa dan menjaga Mama, serta melakukan teknik penyembuhan tentunya.

Papa mengendarai mobil seperti sedang balap liar. Ini pertama kalinya aku melihat Papa menangis dan membawa mobil ugal-ugalan.

"Ra mohon bertahanlah Ma." Aku yang terus mencoba menyembuhkan Mama tanpa sadar menangis. Tangan Mama memegang pipiku yang basah.

"Putri Mama cantik sekali, kamu Putri Kandung Mama kan?" Walau terbata-bata dan lemah, Mama masih bisa mengucapkan kata-kata.

"Iya Ma, Ra putri kandung Mama. Dan selamanya akan menjadi putri cantik Mama. " Jawabku berusaha menahan tangis. Naasnya air mata itu turun.

Mama menatap kearah Papa dan berkata, "Pa, Mama sangat mencintai Papa. Hanya bersama Papa dan Ra, Mama bisa bahagia. Kalian berdua, terlebih Ra, tolong hidup lebih lama ya." Ucap Mama.

"Jangan berkata seperti itu Ma, Mama harus bertahan. Jangan mudah menyerah !!" Papa berkata dengan keras berusaha menahan tangisnya juga. Adegan ini, sungguh memilukan.

"Bukankah Mama ingin Ra, Mama, dan Papa ingin pergi ke dunia paralel? Mama harus bertahan. Mama harus melihat betapa indahnya Hutan Klan Bulan, Padang Perdu Lebah Klan Matahari, Kota Zaramaraz, Bor-O-Bdur, Pulau Hari Jumat, Kota Archantum dan lainnya. Mama harus tetap bertahan ya." Aku menggenggam tangan Mama sambil menyalurkan teknik penyembuhan.

"Lelaki Mama sudah sangat dewasa, putri kecil Mama telah dewasa juga. Mama mencintai kalian. Tolong hidup lebih lama." Ucap Mama. Matanya terlihat mulai menutup.

"TIDAKKK !!!! JANGAN MENYERAH MAA !!! BANGUN MAA !!!!!!" Aku berteriak sekeras mungkin dan menyalurkan semua energiku untuk menyembuhkan Mama. Aku tidak peduli apapun bayarannya selagi Mama bisa bertahan aku akan terus mempertaruhkan semuanya.

Kami telah tiba di rumah sakit. Papa bergegas minta bantuan perawat disana untuk membawa Mama. Para perawat mulai berlari membawa Mama ke ruang UGD dengan tempat tidur rumah sakit.

Aku dan Papa ikut mengikuti. Papa menggenggam tangan Mama dengan kuat. Papaku, pahlawanku telah menangis histeris untuk Mama dan pertama kalinya.

Saat tiba di UGD aku dan Papa dilarang masuk ke dalam ruangan. Papa hanya bisa pasrah meminta tolong kepada perawat disana untuk menyampaikan pesannya kepada dokter agar bisa menyelamatkan Mama. Aku sangat ingin masuk, karena aku memiliki teknik penyembuhan.

"Biarkan aku masuk, please. Aku mohon. Aku mempunyai cara sendiri untuk menyembuhkan Mamaku, mungkin itu bisa membantu. Aku mohon, demi Mamaku." Aku memohon kepada salah satu perawat yang menjaga pintu UGD yg menunggu dokter.

"Maaf dek, ini sudah keputusan dari dulu. Kamu tidak bisa masuk. Kamu bisa berdoa dan menunggu. Doakan yang terbaik agar kami bisa menyelamatkan Mamamu." Aku jatuh terduduk. Seluruh penampilanku berantakan. Rambut yang sudah kemana-mana, bajuku yang sudah terkena darah Mama, muka yang mempunyai banyak bekas jejak air mata.

Aku bisa melihat Papa hanya bisa terduduk diam menatap ke bawah. Aku sangat ingin memeluk Papa, tapi karena kondisi Papa sekarang aku tidak berani dulu.

Dari arah depan terlihat seorang dokter dan 2 perawat berlari dengan cepat menuju UGD. Tunggu, dokter nya tidak asing. Itu Mama Seli!!

Aku bergegas menghampiri Mama Seli, "Tante, tolong izinkan Ra masuk ke dalam juga, Ra sangat ingin menolong Mama. Ra mohon, tante." Aku memohon sebesar-besarnya kepada Mama Seli. Bodo amat jika ada orang yang mengenaliku melihat aku memohon seperti ini.

"Biarkan dia masuk, dia keponakan saya, pasien ini adik saya, letakkan saja 2 perawat di dalam UGD selebihnya hanya saya dan dia." Mama Seli memberi perintah kepada salah satu perawat di sampingnya. Awalnya perawat itu seperti keberatan, tapi ia dengan cepat mematuhinya.

"Cepat Ra, kita harus segera menyelamatkan Mamamu. Tante akan mengirim listrik kecil untuk membuat kejutan pada tubuh Mamamu dan kamu lakukan teknik penyembuhan. Daniel, pinjam anakmu. " Mama Seli berkata kepadaku dan Papaku. Aku mengangguk cepat. Aku dan Mama Seli segera memasuki ruangan UGD. Dengan cepat aku dibantu memakai perlengkapan medis. Jujur jika situasi nya berbeda aku sangat bangga mengenakan perlengkapan medis asli.

Saat penyelamatan dimulai aku menotok beberapa titik bagian tubuh Mama untuk menghambat aliran darah. Sementara Mama Seli sibuk dengan cara medis dan ditambah sedikit listrik, aku fokus menggenggam tangan Mama dan mulai melakukan teknik penyembuhan tingkat tinggi - lagi.

Setelah setengah jam melakukan teknik penyembuhan, badanku mengeluarkan keringat yang banyak. Namun kondisi Mama tidak kian membaik.

20 menit lagi berlalu dengan lama. Sebuah suara tiba-tiba berbunyi nyaring, lurus.

Tidak mungkin, aku melihat ke arah monitor deteksi detak jantung. Garis lurus. Mama Seli juga tampak tidak percaya. Putus asa.

Saat itu juga, turun hujan yang lumayan deras, tapi tenang.

Hari ini, tepat 1 hari sebelum ulang tahunku, 20 Mei. Mamaku - Rainy Vetern, pergi jauh menemui Mamaku - Mata.

☆☆☆

Sore hari, waktu pemakaman Mama. Hari itu gerimis kecil-kecil. Aku berdiri di samping makam Mama. Ali dan Seli juga telah datang.

Tak hanya Ali dan Seli, Miss Selena, Pak Kepsek, beberapa anak kelasku, beberapa guru, bahkan Av dan Batozar datang mengikuti pemakaman Mama.

Saat Mama selesai dimakamkan, pihak pemakaman menaruh sebuah nisan.

Rainy Vetern
8 September 1980 - 20 Mei 2019

Selamat jalan, Mama.

☆☆☆

TBC...

Illusions [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang