Bohong

65 1 0
                                    

Berbohong sudah menjadi kebiasaanku. Aku sangatlah lihai melakukannya. Dimanapun aku berada, aku selalu saja berbohong. Siapapun, kapanpun, dan dimanapun—ingatlah itu. Rasanya, hati nurani ku sudah tertutup untuk berkata jujur. Pertama kali aku berbohong, saat aku berumur 5 tahun.

Dulu, aku sangat membenci kakak ku karena dia mengejek mataku yang berwarna merah ini. Setiap hari, dia mengejek ku dengan sebutan anak iblis lah. Anak pembawa sial lah. Ya, semacam itu lah.

Saat itu, ibu bertanya padaku,

"Alex, apakah kau melihat Celine—kakakmu?"

Segera saja aku menggelengkan kepalaku, sembari menyembunyikan sebuah batu—bisa di bilang cukup besar, mungkin seukuran kepalan orang dewasa—yang di dominasi warna merah di belakang tubuhku. Lalu, ibu melihatku. Terlihat, bercak-bercak merah mewarnai bajuku yang berwarna putih polos. Ibu hanya menghela nafasnya.

"Kamu ini main apa sih? Sampai bajumu ada bercak bercak warna merah seperti itu. Cepat sana ganti baju dulu!" perintah ibuku. Tentu saja aku langsung melaksanakan perintahnya.

Sejak hari itu, Kakak tidak pernah ditemukan oleh ayah dan ibu.

Lalu, aku juga pernah berbohong pada tetanggaku dulu saat aku masih SMA. Tetanggaku itu seorang wanita paruh baya. Anaknya itu sangat menyebalkan. Dia sering sekali menggangguku. Meskipun dia masih berumur 12 tahun. Benar-benar bocah yang nakal. Waktu itu, hari sudah menjelang malam, dan aku sedang membawa bungkusan hitam di tanganku. Tiba-tiba saja, tetanggaku melintas di depanku. Dia langsung bertanya padaku.

"Ah, Alex! Apakah kau melihat Farel?" kembali lagi, aku menggeleng pelan, tanda bahwa aku tidak melihatnya. Wanita itu lalu menatap bungkusan hitam yang sedang dibawa olehku. "Ah, kau sedang bawa apa Alex? Kok sepertinya bau hanyir, dan juga—ASTAGA! Apakah itu darah?" Tanya nya kaget.

"... Oh, ini? Ini daging sapi, bu. Saya tadi habis beli di pasar."

"Dikira apaan toh. Ya sudah, kalau kau melihat Farel, tolong hubungi saya ya." Lalu wanita itu pun pergi meninggalkanku, mencari kembali anaknya yang hilang. Kembali, aku melanjutkan perjalananku. Pulang ke rumah.

Keesokan harinya, ibu itu tiba tiba menangis histeris di depan rumahnya. Dia berkata bahwa seseorang menaruh bungkusan hitam-dan juga selembar memo. Memo itu mengatakan bahwa di dalam bungkusan itu, terdapat anaknya.

Sejak itu, aku tak pernah mendengar kabar Farel lagi.

Berbohong adalah kebiasaanku. Aku sangatlah lihai melakukannya. Dimanapun aku berada, aku selalu saja berbohong. Siapapun, kapanpun, dan dimanapun—ingatlah itu. Rasanya, hati nurani ku sudah tertutup untuk berkata jujur. Entah sampai kapan aku akan melakukannya. Namun ini sangatlah... menyenangkan!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 30, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Drabble HorrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang