Dalam kelas, akan banyak jenis-jenis teman yang kita temui. Mulai dari si banyak bicara, si pemalas, si pintar, si cantik. Banyak sekali. Tapi ada satu yang menarik, yaitu si pendiam.
Duduk di meja paling depan, sibuk menulis catatan. Dan jumlahnya bicara dalam satu hari bisa dihitung jari. Selalu sendirian saat istirahat, dan masih banyak lagi. Kira-kira begitulah gambaran sosok gadis bernama Anindita atau akrab disapa Anin.
Siang itu saat jam istirahat berbunyi, semua anak berjalan keluar kelas dengan terburu-buru. Bahkan sampai guru belum keluar pun, kelas sudah kosong. Menyisakan Anin di meja paling depan. Tangannya merogoh kotak bekal dari dalam ransel, lalu menaruhnya di atas meja.
“Anin kamu gak keluar?” tanya sang guru yang berjalan sambil membawa buku-buku.
Anin menggeleng pelan, sehingga poni yang menutupi dahinya tampak sedikit bergoyang. “Enggak, Pak.”
“Bapak, duluan ya.” Guru itu lalu berjalan keluar dan melangkah menuju ruang guru.
Anin mengangguk pelan lalu kembali fokus ke kotak bekalnya. Ia membuka tutupnya, lalu mengambil sepasang sendok dan garpu yang tersedia di dalam. Makanan yang ia bawa sederhana, nasi dan beberapa jenis sayuran. Setelah berdoa, Anin mulai makan dengan pelan.
Namun, tak lama datang seseorang dari luar kelas. Kedatangannya yang mendadak membuat Anin terkejut. Sosok laki-laki itu lalu berjalan dan duduk di meja di sampingnya. Mata Anin diam-diam memperhatikannya.
“Hai, Nin!” sapanya.
“Hai,” jawab Anin singkat.
“Ah, hari ini aku mau makan di kelas.”
“Iya, Adnan.”
Bersama teman sekelasnya yang bernama Adnan itu, secara tak langsung mereka makan bersama. Meski keduanya tak saling bicara. Sambil menyuap makanannya, sebetulnya Adnan ingin mengajak bicara Anin. Sejak tadi ia sudah curi-curi pandang. Tapi gadis itu sepertinya sama sekali tidak tertarik untuk bicara dengannya.
“Kamu mau punya aku gak? Enak lho,” kata Adnan menawarkan.
Dengan pelan Anin menggeleng pelan sambil tersenyum. “Enggak makasih.”
“Makanan kantin enak juga kok, cobain deh. Sekali-kali gak apa-apa, kan?” Adnan belum menyerah.“Enggak, maaf. Aku gak makan yang begitu.”
“Kebanyakan cabe ya? Iya sih ini emang pedes,” kata Adnan yang kemudian lanjut makan.
Setelah itu, keadaan kembali hening. Sampai Anin menyelesaikan makanannya, mereka tetap saling diam. Bukan karena Anin sombong, tapi memang seperti itulah ia. Adnan hanya bisa memperhatikannya dari samping. Makananya bahkan sampai dingin. Anin selesai merapikan peralatan makannya, lalu berdiri dan beranjak pergi dari kelas.
“Mau ke mana?” tanya Adnan.
“Mau ke taman,” jawab Anin yang berhenti melangkah.
Adnan pun mengangguk. Gadis itu pun kembali melangkah meninggalkan kelas. Terdengar suara langkah kakinya menjauh. Sementara itu, Adnan yang ditinggal sendirian langsung mempercepat makannya. Sambil mengunyah, ia pun termenung.
“Anin, Anin. Kamu itu bikin penasaran, gimana ya caranya deket sama kamu?”
Anin sampai di taman, alih-alih duduk dan bersantai. Ia mengambil sapu lidi lalu mulai menyapu dedaunan kering yang ada di rerumputan. Kepalanya menunduk, sehingga matanya sedikit terhalang oleh poni. Matanya fokus melihat dedaunan kering yang ia singkirkan.Angin berhembus kencang, menerbangkan rambut hitamnya yang tebal dan sepanjang punggung. “Permisi,” ucap Anin sambil membungkuk saat menyapu daun kering yang ada di dekat beberapa orang gadis yang sedang mengobrol di taman. Ya, kegiatan ini rutin dilakukan Anin saat tak tahu harus melakukan apa di jam istirahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shine On You
RomanceKisah gadis polos bernama Anin yang menerima cinta teman sekelasnya karena kasihan. Namun saat sedang menjalin hubungan dengan teman sekelasnya, ia malah jatuh cinta pada sahabat masa kecilnya. Apa yang harus diperbuat Anin?