Malam itu, suara jangkrik dan kodok terdengar bersahutan di tengah sawah yang sepi. Tapi di antara suara-suara itu, terdengar suara besi yang saling beradu dari arah rumah Anin. Di dalam dapur kecil itu, Anin sedang sibuk memasak sesuatu.
Gadis itu mengikat rambutnya dan memakai celemek merah muda bergambar kepiting. Tangannya dengan lihat memainkan spatula di atas penggorengan. Tercium bau makanan yang teramat lezat. Tangan Anin beralih ke rak yang ada di dekat wastafel, ia mengambil satu piring besar yang ada di sana.
"Wah, didikan Nenek emang hebat ya! Enak lho baunya." Sang Ibu berjalan mendekat dari arah ruang makan.
"Aku sepuluh tahun tinggal sama Nenek. Aku belajar banyak," jawab Anin.
Dari atas penggorengan, Anin memindahkan makanannya ke atas piring. Hanya makanan sederhana dengan aneka sayuran dan telur yang ia tumis jadi satu. Meski begitu, Sang Ibu tahu kalau yang membuat Anin maka rasanya tak usah diragukan lagi.
Terdengar suara ponsel dari meja makan. Anin lalu melihat ibunya yang berjalan meninggalkan dapur untuk menerima telepon. Kemudian ia kembali fokus menyajikan makanannya buatannya.
Setelah selesai, Anin membawa hasil masakannya ke meja makan. Matanya melihat ke arah sang ibu yang sedang sibuk menyiapkan dokumen-dokumen ke dalam tasnya. Kemudian memakai kemeja rapi. Sambil memasang wajah menyesal, ia mendekati anaknya.
"Anin, maaf ya. Mama harus pergi, ada panggilan mendadak ke kantor."
"Bukannya Mama sekarang kerja dari rumah ya?"
"Iya, itu dia masalahnya. Kalau kerja di rumah, harus siap dapet panggilan mendadak. Gini. Gak apa-apa, kan?"
Anin mengangguk sambil tersenyum tipis. "Gak apa-apa."
"Maaf ya, Sayang."
"Mama pergi naik apa?"
"Nanti ada yang jemput Mama kok."
"Oke."
Anin lalu menemani Mamanya di beranda rumah, menunggu jemputannya datang. Tak lama, sebuah mobil hitam dengan plat merah pun berhenti di depan rumah. Sang Ibu segera berdiri dan mengecek kelengkapan barangnya. Anin mengantarnya sampai ke depan gerbang rumah. Dari pintu depan mobil, pria memakai jas rapi pun keluar lalu membuka pintu belakang untuk Ibu Anin. Gadis itu pun membukakan gerbang.
"Mama pergi ya. Gak akan lama kok."
"Iya, Ma."Anin berdiri di depan gerbang sambil melihat Ibunya masuk ke dalam mobil. Pria berjas itu lalu menutup pintu belakang dan kembali ke depan untuk mengemudikan mobil. Suara mesin mobil menyala pun terdengar. Perlahan mobil itu berputar balik lalu berjalan meninggalkan rumah.
Anin kembali masuk ke dalam rumahnya. Berjalan menuju ruang makan dan melihat masakan yang ia buat. Tampaknya sudah mulai dingin. Ia segera mengambil piring beserta nasi putih. Lalu duduk di meja makan dan menyantap makanan yang ia masak sendiri. Rumahnya amat hening, hanya suara ada sendok dan piring Anin yang terdengar memecah kesunyian.
***
Keesokan paginya, Anin bersiap untuk berangkat ke sekolah. Ia baru saja selesai sarapan, sekarang waktunya memakai sepatu. Sementara Ibunya masih tidur setelah pulang cukup larut semalam. Setelah memakai sepatu, Anin menyempatkan diri untuk mendekat ke kamar Ibunya.
"Mama! Sarapannya udah Anin siapin di meja makan ya!" ucapnya. Tak ada jawaban dari Sang Ibu. Ia pun berjalan meninggalkan kamar dan keluar dari rumahnya.
Setelah keluar dari gerbang rumah, Anin mulai berjalan di jalan desa. Pagi itu udara sangat sejuk khas pedesaan pada umumnya. Masih terlihat embun-embun di dedaunan dan kabut tipis dari kejauhan. Ia melangkah dengan semangat menuju sekolah, sesekali berpapasan dengan sepeda motor yang membawa pupuk.
Beberapa ratus meter di depan, terlihat sebuah gapura yang menjadi pintu masuk ke desanya. Lalu sebuah jalan raya besar, dan tepat disebrang jalan raya itulah sekolahnya berdiri. SMAN 4.
Kakinya terus melangkah dari dalam rok panjang abu-abu itu. Suara klakson mobil yang saling bersahutan mulai terdengar, menandakan dirinya sudah hampir sampai. Tapi sesampainya di jalan raya, kendaraan cukup ramai pagi ini. Agak sulit baginya untuk me nyebrang.
"Anin."
Anin menoleh saat mendengar seseorang memanggilnya dari belakang. Saat menoleh, rupanya Albi. Dengan kaku ia tersenyum ke arah teman masa kecilnya itu. Mereka pun berdiri bersebelahan sambil melihat jalan raya yang ramai.
"Wah, rame banget.""Iya, susah nyebrangnya."
"Tenang aja, kan ada aku. Ayo!" ajak Albi yang kemudian mulai mencari celah untuk menyebrang.
Dengan adanya Albi, Anin pun sangat terbantu. Laki-laki itu berada di depannya menghadapi kendaraan-kendaraan yang melaju, tangannya terangkat memberi isyarat kepada para pengguna jalan untuk berhenti. Sampai akhirnya mereka berdua pun sampai di sebrang jalan.
"Makasih, Albi," ucap Anin.
"Gak usah, kita kan emang sama-sama mau ke sekolah."
"Iya sih."
Keduanya lalu sama-sama masuk ke sekolah. Suasana sekolah yang ramai pun menyambut mereka. Beberapa siswa yang baru datang secara bersama-sama memasuki gerbang sambil bersenda gurai. Karena berada di kelas yang berbeda, Anin pun berpisah dengan Albi. Anin masuk dan berjalan menuju kelasnya sendiri. Ia berpapasan dengan Nadin yang sedang mengelap kaca jendela kelas.
"Nadin," panggil Anin.
"Anin? Wah, kamu dateng pagi banget ya."
"Iya."
"Aku sengaja dateng pagi karena piket."
Anin mengangguk lalu mengingat sesuatu. "Nadin, kemarin kamu ke mana? Aku tungguin kamu di taman."Mendengar itu, Nadin pun menghentikan kegiatannya sambil tertawa kecil. "Anin, Anin. Sini aku kasih tau ya." Nadin pun membawa Anin ke dalam kelas yang masih sepi, mempersilahkannya duduk dan bersiap untuk menjelaskan sesuatu pada gadis polos itu.
"Yang mau ketemu aku itu bukan kamu, tapi Adnan."
"Kok gitu?"
"Iya, Adnan gak percaya diri. Dia takut kamu nolak kalau dia yang bilang, makanya aku yang bilang ke kamu."
"Oh gitu ya."
Nadin tertawa kecil sambil memperhatikan tingkah Anin yang mulai terlihat lucu. "Adnan bilang apa kemarin?" tanya Nadin dengan wajah iseng.
"Enggak ada, cuma ngobrol biasa aja." Seketika Anin menunduk saat men dengar pertanyaan itu.
"Hahahaha!" Nadin pun tertawa sambil bertepuk tangan. "Gak usah bohong, aku tau kali. Lucu banget ekspresinya, kasihan dia sedih."
Anin pun mengangkat kepalanya dan memasang wajah penasaran. "Sedih kenapa?"
"Sedih gara-gara kamu tolak lah, apa lagi?"
"Hah? Gara-gara aku?"
"Iya, udahlah. Aku mau lanjut lap kaca." Nadin berdiri dan langsung berjalan ke luar kelas untuk melanjutkan pekerjaannya.
"Eh iya, aku bantu ya!" ucap Anin yang segera melepas tas, kemudian berjalan keluar dan membantu Nadin membersihkan kaca jendela.
Tak lama berselang, Adnan datang dan masuk ke kelas. Sambil mengelap kaca, Anin memperhatikan teman sekelasnya itu. Wajahnya murung dan tak bersemangat. Anin pun mulai kepikiran, gara-gara dia Adnan jadi sedih begitu. Ia mulai merasa kasihan padanya.
Hal itu ternyata terus terpikir olehnya. Bahkan saat pelajaran di mulai, ketika semua orang menyimak pelajaran, Anin sesekali menoleh ke belakang untuk melihat Adnan. Dia masih memasang wajah murung. Anin mulai merasa bersalah, ia merasa semua ini terjadi karena ulahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shine On You
RomanceKisah gadis polos bernama Anin yang menerima cinta teman sekelasnya karena kasihan. Namun saat sedang menjalin hubungan dengan teman sekelasnya, ia malah jatuh cinta pada sahabat masa kecilnya. Apa yang harus diperbuat Anin?