- Asing -

464 60 2
                                    

[Sorry for typo #justfiction]

Senja mulai menggerogoti cakrawala, kala mentari semakin temaram di penghujung tugasnya hari ini. Kesekian kali pula helaan napas panjang lolos dari bibir kecilnya. Seakan berharap semua beban hari ini terurai bersamaan dengan helaan sang napas. Tapi sia-sia, semuanya tidak mau menguar bahkan untuk hal kecil yang mengobrak-abrik pikirannya saat ini.

"Apa aku tidak layak bahagia seperti orang-orang?" Entah kepada siapa tanya itu dia layangkan.

Tidak ada sosok siapapun yang hadir didekatnya. Hanya dirinya yang masih setia berbalut sepi ditemani terpaan angin sore. Ayunan kakinya seolah mengikuti irama dedaun yang mengiringi nyanyian sang angin.

"Hah...."

Kembali helaan panjang lolos bersamaan dengan dering ponsel yang berbunyi -tanda panggilan masuk.

"Halo kak ...."

"Dimana kamu?"

"Ak...."

"Pulang sekarang!"

Jawaban belum terselesaikan, tapi panggilan dimatikan begitu saja secara sepihak. Dengan langkah gontai dia mulai menjejakkan kakinya ke arah mobil yang terparkir tidak jauh dari tempat ia duduk semula.

Dengan kecepatan sedang gadis beriris coklat itu melajukan mobilnya meninggalkan area danau. Pandangan mata mencoba untuk tetap fokus dibelakang kemudi, tapi pikirannya menolak.

------

Derap langkah tidak santai terdengar setelah sebuah motor terparkir asal karena sang empunya yang sejak tadi menahan emosi. Wajah yang sudah tidak bersahabat seolah siap menerkam siapapun yang menggangunya. Meski raut emosi terpatri jelas di wajah tidak mengurangi aura paras cantiknya. berbeda hal dengan orang tersebut, seseorang yang lain malah dengan langkah malas mengikuti untuk masuk ke dalam rumah.

“Duduk!” titah seseorang yang sudah melipatkan tangan didepan dada.

Dengan enggan dia melempar tasnya asal lalu mendudukkan diri di depan sang kakak.

“Sekarang apa lagi alasannya hah? Ngga capek apa, kamu tiap hari bikin masalah di sekolah? Mau jadi jagoan kamu? Kamu tau kan, Ibu sama Cici tidak pernah ngajarin kamu kekerasan. Tapi sekarang apa hah?” rentetan  tanya dalam nada yang sedikit meninggi menguar begitu saja di ruang tengah.

“Salah sendiri, orang dia yang mulai duluan.” Jawab sang adik enteng. Sesekali dia memutar bola matanya seakan enggan menjawab semua tanya sang kakak.

"Tapi bukan berarti kamu harus balas dengan hal yang sama.”

“Hei …, hei …! Ada apa ini? Teriakan kamu sampe kedengaran ke kamar cici loh Ge.”

Seseorang dengan paras tidak kalah cantik muncul dari balik pintu dengan sedikit kesusahan memutar roda kursi rodanya untuk mendekati dua gadis lainnya yang sejak tadi tengah berdebat.

“Kenapa pulang marah-marah?” masih dengan nada yang lembut dia meraih tangan kanan Gracia. Mencoba sedikit meluruhkan emosi sang adik yang masih membuncah dengan elusan di punggung tangannya. Gracia -si anak tengah yang sejak tadi dikuasi amarah akibat ulah sang adik bungsu­- masih melayangkan tatapan tajam kearah gadis yang masih duduk santai di depan cicinya.

“Tuh liat adik cici yang satu itu, selalu saja bikin ulah,” jawab Gracia menunjuk sang adik dengan dagunya.

“Dih …, gue juga adik lu ya Ci Gre!” sanggah sang adik tidak terima.

“Kagak! gue gak ngerasa punya adek yang ga nurut sama gue, yang nakalnya ga ketulungan macam lu.” Nada Gracia berubah sarkas, karena sudah capek dengan semua tingkah bandel adiknya yang kadang sungguh diluar nalar pikirnya.

“Nyee … nyee … nyee…,” gumaman tengil tersuarakan tanpa rasa bersalah.

“Ci Shani lihat, omongan aku cuma masuk telinga kanan keluar telinga kiri di dia. Percuma tau ngga marah-marah sama dia. Yang ada aku capek sendiri,” aduh Gracia pada Shani –sang kakak pertama. Shani hanya menatap bergantian Gracia dan adik bungsunya disertai helaan napas panjang.


“Nah itu Cici tau, siapa suruh marah-marah. Awas cepet tua.” Selesai berucap gadis dengan status bungsu meraih tas dan melenggang santai menaiki tangga menuju kamarnya.

“YESSICA!” teriak Gracia. Demi tuhan dia bakal benar-benar cepat tua jika kelakuan adiknya seperti itu terus menerus.

“Gre, udah ya tenangin diri kamu dulu. Kita omongin lagi nanti baik-baik sama adek.”

“Sekarang ngomong sama dia tuh ngga bisa dengan cara baik-baik lagi Ci.” Gracia meraup wajahnya dengan setengah frustasi. Menjatuhkan diri di kursi yang tadi sempat diduduki sang adik. Rentetan napas pajang beberapa kali lolos dari bibir mungil Gracia, berharap rasa capeknya ikut menguar.

Shani mendekatkan kursi rodanya ke arah sang adik. Ditatapnya dengan lembut wajah lelah Gracia. Rasa bersalah kembali berdesir dalam dirinya.

“Maaf ya Gre ...,” dengan wajah tertunduk dia berucap lirih.

Sontak Gracia yang tadi sejenak memejamkan matanya langsung terbangun kala mendengar ucapan Shani. Dengan tatapan sendu dia menggeleng pelan. Dia tidak suka melihatnya cicinya menundukkan tatapan saat mereka saling bicara.

“Ci ....”

“Maaf, harusnya cici yang ada diposisi kamu. Harusnya cici yang bertanggungjawab buat ngurusin kamu sama adek, bukan sebaliknya.” Nada bicara Shani mulai sedikit bergetar. Selalu mencoba agar tetesan air matanya tidak jatuh saat didepan adik-adiknya.

Kembali Gracia menggeleng, tidak mau membenarkan semua kata-kata Shani. Tidak, bukan ini yang dia maksud. Tidak ada niatan baginya untuk membuat cicinya kembali terbalut rasa bersalah.

“Nggak Ci ....”

“Maaf, karena Cici masa remaja kamu terampas oleh tugas yg harusnya Cici tanggung. Maaf, kalo kamu harus merasakan lelah karena semua ini.”

Kini isakan kecil mulai terdengar dari bibir Shani. Gracia bangkit dan mulai bersimpuh di depan Shani karena sang Cici tak kunjung menengadahkan wajahnya. Dia menggenggam kedua tangan Shani.

"Ci, Please ....”

“Cici tau, aku ngga pernah suka dengar cici bilang maaf untuk kesalahan yang ngga pernah cici lakukan atas diriku. Jadi aku mohon berhenti nyalahin diri cici sendiri.”

Shani mulai memandangi wajah Gracia, dimana bulir air mata sang adik sedikit mengalir di pipi. Tak ayal  isakannya kini menjadi tangis, melihat bagaimana adiknya bisa selapang itu mau menerima keadaannya.

“Maaf, kondisi Cici yang seperti ini hanya menjadi beban buat kamu dan adek. Maaf Gre, maaf.” Rasakan puluhan maaf yang Shani ucap pun tidak akan bisa merubah keadaan mereka saat ini.

“Ssssttt ....”

“Ngga Ci, ngga.”

Gracia langsung menarik Shani kedalam dekapannya. Dia tidak sanggup lagi mendengarkan kata maaf yang selalu cicinya ucapkan. Baginya keadaan Shani sekarang bukan sebuah kesalahan, tapi takdir lah yang telah sedikit lancang mengobrak-abrik bahagia mereka saat ini.

-----

Kritik, saran, VoteMent

👇

Dia Atau Dia?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang