prolog

1.6K 211 1
                                    

Kim Jun Goo berlarian menyusuri lorong-lorong rumah sakit.

Tingkahnya itu membuat banyak pasang kepala menoleh. Sebagian heran dan merasa terganggu, sisanya penasaran dan merasa ngilu. Sebab luka-luka yang menempel di tubuh si pirang masih nampak begitu segar, dan mereka bisa dengan jelas melihat tiap koyakan bergerak dalam setiap langkah yang diambilnya.

"Hei bocah, kau tampak--"

"MINGGIR!"

Ia tahu apa yang ingin perawat itu katakan. Barangkali untuk memprotes kerusuhannya ataupun menawarkan pengobatan. Tapi peduli setan, Jun Goo sudah tidak bisa merasakan apapun lagi selain panik.

Keringatnya mengalir dari kepala hingga kaki, membasahi tiap inci dari kulitnya. Jantungnya berdebar, seolah sudah siap keluar dari tempatnya. Bibirnya membiru, pucat luar biasa, sementara matanya berkunang-kunang, antara kelelahan dan kecemasan, ia sudah tak lagi dapat menilai.

Ia mengusak rambut pirangnya yang berantakan. Gel rambut yang biasa dipakai, telah luntur dirajam hujan. Ia terus merapalkan kata-kata makian, berniat membuang ketidak-tenangan yang juga tak menghasilkan apa-apa.

Kim Jun Goo, remaja berumur 16 tahun itu tengah mencari keberadaan anaknya yang baru lahir.

Ia menyesal, sungguh menyesal.

Padahal Jun Goo sudah bertekad untuk tidak mengakui anak itu sebagai miliknya. Padahal Jun Goo tidak boleh punya kelemahan. Padahal Jun Goo belum siap untuk menjadi orang tua.

Demikian pun, panggilan yang baru ia terima telah menyatakan bahwa anak itu berasal dari darahnya. Anak itu betul-betul darah dagingnya.

Kim Jun Goo bisa mengenang awal dari kisah ini. Ketika itu ia tergoda untuk mencoba-coba bermain dengan kakak angkatan atasnya, mereka mengerti bahwa apa yang mereka lakukan tidak berdasar pada cinta dan hanya nafsu semata. Mereka mengerti itu salah.

Dan lebih salah lagi ketika keduanya telah kepalang nafsu tanpa mengerti konsekuensinya.

Gadis itu lantas kembali pada Jun Goo, mengatakan bahwa ia harus bertanggung-jawab atas anak yang berada pada rahimnya. Tapi Jun Goo terlalu kekanakan, dan ia menuduh yang tidak-tidak; bahwa gadis itu adalah pelacur dan itu jelas bukan anaknya.

Jun Goo tidak mengerti kenapa gadis itu bersikeras membiarkan anak itu besar dalam perutnya. Padahal ia jelas tahu bahwa anak itu bukan berasal dari cinta, mempertahankannya pun tak akan berguna. Ditambah mereka masih terlalu muda.

Tapi mengapa?

Mengapa gadis itu rela mengorbankan nyawanya untuk seorang anak yang diciptakan dari kesalahan? Dan mengapa Jun Goo yang sudah bersikeras untuk membuang eksistensi itu kini malah berlari mencari sosok mungil suci yang bahkan tak tahu bahwa ia adalah sebuah ketidaksengajaan?

Sial, ia meringis. Pukulan si genius itu sakit juga.

Ia baru saja selesai menguji kemampuan petarung generasi 0 bersama rekannya, Park Jong Gun. Tepat setelah ia terkapar tak berdaya, dimana sebuah panggilan masuk tes DNA keluar dan mengabarkan bahwa ia kini telah menjadi seorang ayah tanpa kemauannya.

"PASIEN YANG BERNAMA SONG JI HA?! DIMANA DIA?!"

Dokter yang dicengkram pada kerah langsung terbata. Mencoba mengingat dengan baik nama yang agak familiar itu. "Pasien wanita muda yang baru melahirkan itu? Dia sudah tiada."

"AKU JUGA SUDAH TAU DIA TIADA! YANG KUCARI ADALAH ANAKNYA! DIMANA DIA?!"

Dokter itu menggenggam pergelangan Jun Goo. "Apa statusmu? Kakak dari wanita itu? Orang tuamu?"

Jun Goo melepaskan jarinya. Pundaknya melemas seketika. Bibirnya yang pucat bergetar mulai bersuara, "aku ... ayah dari anak yang dilahirkan oleh wanita itu."

Ada sensasi yang aneh saat ia mengeluarkan kata-kata itu dari ujung lidahnya. Menggelikan, sesak oleh rasa bersalah dan beban, juga kebimbangan luar biasa dari dalam dada.

"Ayahnya?" Sang dokter menganalisis Jun Goo yang berantakan dari atas ke bawah. Raut itu tak mampu si pirang baca, tapi yang jelas ada banyak keterkejutan terpatri dalam air mukanya. "Ikuti saya."

Jun Goo mengikuti dengan penuh kesabaran. Meski langkah kaki si dokter terdengar cepat, tapi juga rasanya sangat lambat. Hingga semua perasaan yang bercampur aduk itu berhenti tepat ketika tungkainya memijak di depan sebuah kaca tembus pandang dalam ruangan bayi.

Di sana, sosok mungil itu tertidur dengan lelap. Wajahnya polos dan lugu, matanya terpejam kuat. Sekilas, Jun Goo dapat melihat sosok si wanita itu ada dalam sang bayi. Tak salah lagi.

"Pe-perempuan?"

"Benar."

Di situ, tangis Jun Goo pecah sekencang-kencangnya. Untuk yang pertama kali dalam seumur hidup, Jun Goo menangisi sesuatu dengan setulus dan sepedih ini. Ada rasa haru, bahagia, dan malu saat melihat tubuh sehat nan gempal itu masih menghembuskan napas dengan tenang. Tanpa mengerti kondisi asli dari kedua orang tuanya yang hidupnya berantakan, bayi itu hanya tertidur lelap dalam damai.

"Jika kau masih punya nurani, kau akan mengerti kenapa bayi ini tetap kujaga meski kita tidak saling mencintai!"

Jun Goo paham kini.

Wanita itu tidak mempertahankan sosok itu karena ia mencintai Jun Goo, maupun sebaliknya. Tapi karena ia mencintai sosok yang ada dalam rahimnya, sebuah kehidupan segar tak bersalah itu, si wanita mencintainya.

Jun Goo paham.

Sebab ia kini juga merasakan hal yang sama. Bahwa ia juga ternyata sangat menyayangi sosok mungil itu dalam jumpa pertamanya.

Sebab darah lebih kental dari air.

Ikatan tak akan pernah menipu sesiapapun itu. Begitupun perasaan dan kesamaan.

Sekali lagi dengan air mata berlinang, ia memandangi sosok rapuh yang terbaring di ranjang bayi.

"(Name) ... Tuan Putri Kim-ku."

_______

𝐏𝐀𝐏𝐀 ; kim jun gooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang