vii - buronan chunryang

986 170 27
                                    

"Apa yang kalian lakukan, keparat?"

Tetesan darah mengalir dari telapak tangan dan membasahi lantai kayu sementara irisnya terpaku pada tangan-tangan kotor yang membekap anaknya. Tangan-tangan berdosa itu telah lancang menyentuh anaknya. Seorang anak yang tidak bersalah apa-apa, namun menjadi objek rendah mata hanya karena alasan kelahirannya.

"Sial!" Wanita tua yang memegang pisau itu segera berlari dan mengarahkannya ke tubuh Jun Goo. Hal itu berhasil ditepis dengan mudah. Lantas dipukulnyalah tengkuk si wanita tua dalam sekedipan hingga tak sadarkan diri.

Gadis muda yang hanya diam menonton kini mulai menjerit histeris, seolah dia sendiri tidak barusan membekap mulut (Name) dengan kasar. Jun Goo menarik surainya hingga ia terbanting ke arah bapak pemilik penginapan. Tubuhnya dikuasai amarah.

Jun Goo bukan seorang lelaki yang main tangan pada perempuan, tapi ia punya satu alasan jika sampai berbuat demikian. Bahwa apabila ada seseorang yang menyentuh anaknya.

"Anakku!" Bapak itu memegangi kepala anak perempuannya yang berdarah akibat terkena pojok kasur. "Bajingan sialan!"

Sebelum lawannya berhasil melayangkan serangan, Jun Goo keburu menahan kepalnya dan memutar lengannya hingga suara tulang yang patah terdengar. Ia yakin jeritan juga kegaduhan yang terjadi di dalam kamar ini telah mencapai telinga-telinga nista di luar sana, tapi ia masih belum puas.

"Bagaimana rasanya melihat anak perempuanmu disakiti?" Ia menginjak kepala si bapak hingga membentur lantai. "Bagaimana rasanya melihat dia tak berdaya di sana dan kau tak bisa apa-apa?! BAGAIMANA RASANYA HAH?!"

BUAGH!

"APA SALAH ANAKKU PADA KALIAN?!" Jun Goo menginjak secara membabi-buta, sebab di matanya sekarang terlintas seluruh tatapan mata orang-orang yang terlilit norma. Mata sinis yang ditujukan padanya dan anaknya. Bisik-bisik tentang bagaimana jadinya anaknya besok, tentang bagaimana sialnya dia lahir dari orang tua sepertinya. "ITU BUKAN SALAH ANAKKU JIKA DIA LAHIR DARI AYAH SEPERTIKU! KENAPA KALIAN SELALU MENYENTUHNYA?! KENAPA, BRENGSEK!?"

Ia berhenti saat menyadari bahwa ia sama sekali belum mengambil napas di antara seluruh murkanya. Aliran darah di dalam uratnya menjalar ke seluruh wajah dan mata, membuatnya kini seperti tomat. Napasnya berantakan dan kacau, Jun Goo sama sekali belum tenang.

"Dada?"

(Name) yang kini punya garis dari air mata kering di pipinya, memiringkan kepala bingung. Detik itulah Jun Goo ditampar oleh kenyataan bahwa ia melakukan seluruh kekerasan itu di hadapan anaknya.

Lagi dan lagi, seberapa banyak ia merasa yakin telah berubah dari sifat buruknya, ia terus dibanting ke atas sebuah kesadaran yang mengatakan Jun Goo masihlah tidak ada bedanya. Ia masihlah sosok ayah yang sama. Ayah yang lalai menjaga anak perempuannya dan ayah yang hanya mementingkan egonya.

"Astaga--"

DOK! DOK!

"Hei, siapapun di dalam, buka sekarang!"

Gumam-gumam terdengar dari luar kamar. Salah satu kalimat yang ditangkap Jun Goo adalah mereka akan mendobrak pintu jika tak ada yang keluar. Tanpa melihat sekitar maupun keadaan tangannya yang berdarah akibat pecahan vas, ia menggendong (Name) dan memakaikan topi kupluk untuk menutupi pandangan anaknya.

"Bokem, kamu yang anteng ya."

Jun Goo pun melompat dari lantai dua dengan menggunakan beberapa pijakan dari hasil kecacatan bangunan sebagai sarana. Dari kejauhan, matanya berhasil melihat gerombolan tangan yang menunjuk dirinya, diikuti oleh kejaran yang lain dari arah belakang.

Ia pun masuk ke pematangan sawah yang daunnya tinggi-tinggi, kakinya terus berlari-lari sementara tangannya mendekap (Name) seerat mungkin.

"Dada? Unggg, byuuu!"

𝐏𝐀𝐏𝐀 ; kim jun gooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang