Ini bukan salah aku kan?
Kenapa papa marah?
- Alta Semesta Wijaya.🍃🍃🍃
"KAMU JANGAN DEKATI SAYA! KAMU ITU CUMA PEMBAWA SIAL, TAU GAK? MAMA SAMA ABANG KAMU PERGI KARENA KAMU!!!" pekik pria paruh baya dengan penuh otot dan penekanan disetiap perkataannya.
Lelaki berumur tiga belas tahun itu sedang menunduk, ia tidak berani menatap Andrean - papanya yang sedang berapi. Napasnya naik turun saat mendengar kata demi kata yang Andrean lontarkan dengan penuh kebencian.
"LEBIH BAIK KAMU YANG MATI! KAMU CUMA ANAK BODOH DAN GAK TAHU DIRI UNTUK SAYA. KAMU ITU PEMBUNUH, KAMU ITU TI---"
"Terus Pa! Jelekin aku biar Papa puas. Aku juga gak mau mereka pergi, Pa. Tapi, Tuhan berkata lain. Aku juga anak Papa, tapi kenapa selama aku hidup Papa cuma marahi aku? Kenapa, Pa? Aku gak ngebunuh mama sama abang, aku sayang mereka. Aku bukan pembunuh," ucap lelaki itu dengan suara yang melemah dan napas yang tercekat.
"DIAM KAMU!!! APA PANTAS KAMU BICARA SEPERTI ITU?"
"TAPI SEMESTA CAPEK, PA! AKU SELALU DISALAHIN SAMA PAPA!" ucapnya dengan suara yang meninggi dan tersirat wajah sendu juga kecewa. Tetapi, untuk Andrean raut wajah anaknya tidak membuat pria itu iba. Bahkan, sorot mata Andrean tambah berapi saat menatap anak bungsunya."SEMESTA! KELUAR DARI KAMAR SAYA!!!" perintah Andrean.
Seketika Semesta pun berlutut sambil menatap Andrean dengan sangat melas, "Maaf Pa, maaf kalo aku pernah buat salah pa. Jangan marahin aku te---"
"ALTA SEMESTA WIJAYA! KELUAR! CEPAT!"
"Tapi, aku butuh kasih sayang dan perhatian dari Papa. Maafin aku, jangan ma---"Plak!
Tangan besar itu berhasil mendarat di pipi kanan Semesta, dan membuat sudut bibir lelaki itu berdarah. Kini, ia menatap Andrean dengan sorot mata kecewa.
"Saya bilang keluar Semesta. KELUAR! JANGAN DATANG LAGI DI DEPAN MUKA SAYA!!!" ucap Andrean dengan emosinya.
Netra Semesta memanas, bahkan pipinya masih terasa perih akibat tamparan keras Andrean yang masih membekas di wajahnya.
"Maaf Pa..." lirih Semesta dengan lemah.
Andrean menatap kepergian Semesta dengan perasaan yang kelabu, lalu setelah itu ia pergu menuju meja kamar dan membuka laci meja dengan paksa. Disana terlihat satu botol obat demam, kemudian ia pun membukanya dan menuangkan tujuh pil obat ke tangannya dengan gemetar. Kini, ia meminum obat tersebut hingga kembali merasa tenang.
"Aletha... Juan... Papa kangen. Maafkan Papa, Semesta!"🍃🍃🍃
"Hallo, sayang!"
"Hallo, Bunda!"
"Semesta! Bibir kamu kenapa, nak?"Saat ini, Semesta sedang dipeluk oleh wanita paruh baya yang sudah seperti ibu kedua untuk dirinya.
"Pasti habis berantem sama papa kamu ya?"
"Enggak, bunda. Aku gak apa-apa,"Wanita paruh baya itupun beranjak pergi membawa Semesta menuju sofa.
"MENTARI! SAYANG! TURUN SINI! ADA SEMESTA," teriak wanita tersebut.
Tidak lama, seorang gadis yang sepertinya seumuran dengan Semesta turun dari anak tangga. Ia menatap lelaki itu dengan senyum khasnya, tetapi sesaat kemudian senyum itu sirna tatkala ia kembali menatap inci wajah Semesta.
"SEMESTA! Bibir kamu kenapa? Bunda, Semesta kenapa?"
Dan disaat itu juga gadis berwajah nyaris sempurna itu langsung memeluk Semesta dengan erat, ia khawatir.
"Sini, bunda obatin dulu yuk!" pinta Rina bunda gadis cantik itu. Rina sedang membawa kotak P3K, lalu ia segera menghampiri Semesta dan Mentari di sofa.
"Bun, aku aja yang ngobatin Semesta,"
"Oh, yaudah. Bunda mau nyiram bunga dulu ya, pelan-pelan Riri obatinnya,"
"Siap bunda!"Semesta tersenyum menatap punggung Rina yang lama-kelamaan hilang dari netranya. Lalu, ia pun beralih menatap Mentari yang sedang sibuk menuangkan betadine kedalam kapas. Ia kembali tersenyum kecil. Sangat kecil hingga senyum itu sepertinya tidak terlihat.
"Berantem sama papa lagi ya, Ta?" tanya Mentari sambil mengobati Semesta dengan lembut.
"Hm,"
"Sabar ya, Semesta. Suatu saat nanti, papa kamu pasti akan maafin kamu dan memperlakukan kamu dengan baik. Percaya deh sama aku," gumam Mentari dan berhasil membuat Semesta terdiam."Kapan itu terjadi, Ri?" tanya Semesta dengan sedihnya.
"Sebentar lagi,"Seketika Mentari menarik tangan Semesta untuk digenggam, lalu ia tersenyum menatap manik mata lelaki itu yang kembali mendingin.
"Semesta! Jangan pernah merasa sendiri ya, ada aku sama bunda disini. Walaupun dua abang kamu jauh dari kamu dan papa kamu gak nganggap kamu, tapi aku selalu sama kamu Ta. Aku sahabat kamu, jangan sungkan sama aku ya," ungkap Mentari dengan tulus dan membuat hati Semesta pun berdesir.
"Makasih, Riri. Jangan pernah tinggalin aku ya, tetap jadi sahabat aku sampai tua nanti,"
Gadis itupun mengangguk dengan antusias, "Pasti dong. Dan... Jangan pernah ada perasaan diantara kita ya, Ta. Aku takut,"
Continue?
Next? Comment.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Mentari
Romance"Jangan ada perasaan diantara kita ya, aku takut." - Mentari Aqueena Davindra Akankah Mentari menepati perkataanya? Lantas akankah hubungan keduanya hanya sebatas sahabat saja?