Aku pernah menemukan anak itu.
Disiang bolong di tengah keramaian pasar. Bocah ceroboh yang nyawanya hampir saja diregut papan kayu yang mempromosikan dagangan orang. Lalu kutemukan lagi di bawah sorotan lampu perempatan dikala hujan lebat. Lalu secara ajaib esokharinya, aku menemukannya lagi. Kali ini di sebelah seorang perempuan tua yang telah lanjut usia, dirinya terlilit syal yang ada di dalam butik ternama. Sampai akhirnya tak lagi aku mengatakan bahwa aku pernah menemukan anak itu, namun aku selalu menemukan anak itu.
Dia ada di dalam kolam kebun binatang yang dipenuhi dengan belut listrik. Dia ada di salah satu bangku pelanggan di sebuah kafe, sedang mencoba memotong rambut cokelat-putihnya yang panjang di atas piring dengan brutalnya. Dia ada di semak-semak pinggiran taman, memuntahkan seisi perutnya seusai meneguk segelas minuman dari perempuan tua yang biasa berada di sampingnya. Dia ada di tumpukan tisu yang dijual di sebuah supermarket. Dia ada di mana-mana.
Dan jika ada yang memperhatikan, apapun yang dilakukan oleh anak dungu itu, dimanapun dia melakukan kedunguannya, wanita tua yang telah lanjut usia itu selalu berada di sekitarnya. Tak menolongnya, tak melakukan apa-apa.
Jadi suatu malam saat aku tak menemukan anak itu, aku mencoba untuk mencarinya. Bukan karena apa-apa, hanya untuk sekedar memuaska sara penasaran yang sebenarnya tak ada gunanya. Toh, sebagai seseorang yang merantau, itu tak ada untung ruginya.
Kutempuh semua sudut jalan dimana anak itu pernah melitasi pucuk mataku. Di pasar, di kebun binatang, di butik ternama, di semak-semak pinggiran taman, di salah satu bangku kafe, di tumpukan tisu supermarket, di perempatan jalan, tak kunjung aku menemukan anak itu. "Tumben sekali," gumamku, merasa tak biasanya anak itu tak melintasi pucuk mataku walau hanya untuk sepekan. Biasanya paling sedikit dua kali aku menemukan anak itu dalam sepekan yang ku lalui tanpa kegiatan. "Aneh sekali."
Sampai air hujan tipis-tipis mulai menjatuhi kepala dan aku masih bedara di perempatan jalan . Jengkel tentu saja, jika tahu akan begini, sedari tadi aku mencari Yoha saja dan bukan anak ini. Mencari Yoha yang seekor elang rasanya lebih mudah dibanding mencari keberadaan anak dungu ini. Dengan jengkel, aku pun berbalik. Hendak meninggalkan perempatan jalan yang kosong itu.
Sudah ku melangkah sekitar tiga kali dari perempatan itu, sampai kemudian aku dibuat berbalik lagi karena ada sesuatu yang menarik ujung jaketku. Aku pun melihatnya, oh, ralat, bukan sesuatu, tapi seseorang. Bocah dungu yang tingginya hanya lebih satu jengkal dari lututku dengan rambut cokelat berpadu dengan putih di bawahnya. Yaampun, kenapa anak ini kutemukan saat aku sudah tak ingin menemukannya, sih.
Napas gadis itu terengah-engah, seakan telah berlari sejauh jarak standar maraton orang dewasa. Hujan mengguyur kami. Suara deruhnya mulai menutupi suara-suara kecil yang seharusnya dapat masuk ke gendang telinga, tak terkecuali suara bocah perempuan itu yang sepertinya tengah berbicara padaku. Hanya saja aku tak mendengarnya.
"Apa?" ucapku dengan lantang, berharap bocah itu mengulangi apa yang dia katakan dengan volume yang lebih keras.
Dan begitulah kira-kira yang dia lakukan, "hujan membesarkan apinya dan elang cokelat nyaris terbakar di dalamnya!" ia membesarkan volume bicaranya.
Jujur, aku tak paham dengan apa yang ingin dia katakan. Namun, kata elang cokelat agak menyita perhatianku. Yoha, elangku adalah seekor elang cokelat. Sebagai seorang perantau, kalau ia mati, aku bisa apa? Dan kehawaritanku pada Yoha itulah yang akhirnya membuatku kembali membuka dialog dengan bocah dungu ini.
"Maksudmu elang cokelat itu tak bisa keluar dari kobaran api?" Ucapku berusaha menelaah kebenaran yang lebih jelas dari yang ia katakan.
Anak perempuan itu mengangguk dengan keras, mengiyakan apa yang ku katakan, lalu sedikit menambahkan, "apinya biru, bagus tapi menakutkan!" ucapnya.
"Apa lagi, sih. Apanya yang api biru? Dipikir api kompor?" Ucapku pada gadis itu. Kali ini dengan nada nyinyir berusaha membuat gadis ini ogah dan menyingkir.
Namun sepertinya nihil. Anak-anak tak bisa mengerti instruksi yang disiratkan.
Bukannya pergi, gadis dungu itu malah menghentak-hentakkan kedua kakinya dan mulai menunjuk ke arah belakang. Dimana pohon-pohon rimbun yang ditutupi kegelapan malam bersemayang di atas permukaan tanah. Lama kuperhatikan deretan pohon yang gelap itu, dan gadis ini. Terus saja dirinya berseru, "itu-itu!!" Tapi entahlah apa yang ia maksud.
"Konyol banget, api kompor" gumamku.
Dan saat itulah abu dari kayu pohon yang hangus mulai beterbangan. Aku terkejut, dan gadis itu mewajarkannya. Segumpal asap mulai naik ke atmosfer malam. Sepertinya hujan tipis yang turun melakukan tugasnya dengan benar. Memadamkan api, atau api biru, terserah lah. Begitu kira-kira yang seharusnya terjadi. Namun nihil, yang ada hanyalah jilatan pucuk api yang ternyata benar-benar berwarna biru itu terus saja menjulang ke ujung pohon tertinggi. Membakarnya, menghanguskannya, dan merobohkannya.
Oke, sekarang aku benar-benar berpikir bahwa Yoha bisa mati di dalamnya, walau entah apakah elang itu benar-benar ada di dalamnya atau tidak. Kau tahu, gadis dungu tak sepenuhnya dapat dipercaya.
"Ah sudahlah!" pada akhirnya kutempis juga apa-apa yang telah dikabarkan gadis itu. Tak peduli sudah soal Yoha yang katanya tak bisa keluar dari kobaran api. Tak peduli sudah mau api merah, biru, hitam sekalipun. Tak peduli sudah bocah dungu itu nantinya ikut terlahap api atau tidak, "pulang sana!" bentakku sembari mulai berlari menjauh dari bocah dungu di perempatan.
Dengan dungunya, kulihat bocah perempuan itu dari kejauhan yang telah ku buat. Jilatan api biru yang semakin menjadi terus berkobar di belakangnya. Namun, gadis itu hanya diam. Dungu, tak berkutit sedikitpun dari posisinya. Wajahnya polos, plonga-plongo. Kedua bola matanya yang sehijauh warna zamrud itu tak berkedip satu kali pun. "Bocah itu kenapa, sih?" gumamku yang terus berlari dengan kepala yang menoleh ke arah gadis itu. Sampai beberapa detik kemudian, jika aku tak salah lihat, walau kemungkinan untuk tak salah melihat sangatlah kecil, kurasa gadis itu sedikit membelalakkan matanya dan melirikku dengan pandangan yang menyiratkan kepanikan.
"Apa ini?"
Diam sesaat, dan gadis itu berteriak sangat keras, "kakak bisa mati!!!"
"Hah?"
***
Begitulah keherananku dengan semua tingkah gadis dungu itu terus berlanjut sampai beberapa detik kemudian saat seluruh pandanganku kembali beralih ke depan, bukan pada gadis dungu yang ada di belakang. Siapa yang menduga? Makin terkejut aku menyaksikan apa yang kujumpai di hadapanku. Rasanya tadi tidak ada, deh. Kutemukan bahwa aku ditatap begitu tajam oleh wanita lanjut usia yang senantiasa menemani gadis dungu itu berkeliaran ditiap harinya. Kenapa begitu? entah, aku juga tak tahu.
Namun yang paling menarik adalah, apakah ini berkaitan dengan kalimat peringatan yang dilontarka gadis itu beberapa detik lalu? Karena sekarang aku dapat melihat, benar-benar melihat bahwa wanita itu menggotong golok penuh karat di genggamannya.
Kurasa aku bakalan beneran mati, pikirku.
Namun pikiran buruk itu sekedar terlintas di pikiranku yang agak konyol. Seolah-olah wanita itu tak melihatku berada di depannya, ia langsung saja berjalan melewatiku. Seakan aku hanyalah bagian kecil dari atmosfer malam yang dingin.
Dengan langkah tenang yang menyiratkan kemurkaan, wanita yang telah lanjut usia itu menghampiri gadis dungu yang tadi kutinggalkan di belakang. Mereka saling menatap mata satu sama lain, membisu pula satusama lain. Sampai wanita itu mengubah posisi berdirinya menjadi posisi jongkok guna menyetarakan tinggi badannya dengan tinggi gadis itu.
Diletakkannya lengan kanannya pada bahu gadis itu. Dibuatnya mata gadis itu merekah semua bagian dari pohon-pohon yang dibakar api biru menawan-mematikan itu. Lalu samar-samar kutangkap ia berucap, "lihatlah, nak, nenek suka dengan apapun yang dihasilkan oleh rencana suci pria itu," ucapnya tanpa sedikitpun menunjukkan emosi yang menonjol.
"Kau harus bersyukur kita dibayar untuk itu" lanjutnya, dan dilanjutkan lagi dengan gadis itu yang mengangguk samar nan terpaksa.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
LuckRuna
Fantasy"Nenekku orang jahat, ibuku orang jahan, ayahku orang jahat, begitu juga denganku. Apakah kau masih berpikir ada secuil kebahagiaan, bahkan sekecil biji sawipun yang ada dalam ruang lingkup orang-orang jahat? Dan satu lagi, aku tidak dungu." Mereka...