-2-

18 3 0
                                    


Bocah dungu, oh, bocah dungu. Seorang bocah yang dungu tak seharusnya mengetahui nama seseorang tanpa diberi tahu.

Sayangnya Iliam tidaklah dungu, yang berarti dia mengenaliku.

"Kau hebat bicara juga, ya" ucapku berusaha mencairkan suasana percakapan kita yang nyaris dibekukan olehnya.

Sekarang, untuk yang kesekian kalinya, Iliam ada di hadapanku. Namun kali ini hampir sama ketika aku bertemu dengannya pada malam hari di depan kobaran api biru yang menawan. Bukan menampilkan ujung hidungnya, namun aku yang mendekatkan ujung hidungku. Yang membedakan hanyalah kali ini aku punya alasan menemui bocah dungu ini.

"Begitulah, karena aku tidak dungu" Iliam kembali menjawab pertakaanku. Kadang bocah ini membuatku berpikir bahwa ia selalu menyindirku dalam setiap kalimat yang ia lontarkan. Aku merasa begitu. Baiklah-baiklah, kau tidak sedungu yang ku pikirkan. Terpaksa ku buat pernyataan seperti itu. Siapa tahu kali ini sindiran tersiratnya meleset dari apa yang ku pikirkan.

Gadis menyebalkan.

"Omong-omong, elangmu belakangan menyebalkan sekali, dasar penguntit!" Yaampun, jadi dia menyadari pergerakan Yoha, ya. Lagi-lagi dia seakan menertawakanku saat ku katakan dalam hati bahwa ialah gadis menyebalkan sejagat raya.

"Yaampun, unggas memang begitu, bocah!"

"Dan kau tak beda jauh dengan unggas" tatapan gadis itu kini menekanku. Mata hijau zamrudnya berkilauan, walau di bawah terangnya mentari di tengah hari. Bagiku yang biasa menjadi seekor nyamuk diantara pembicaraan, membuka obrolan santai dengan gadis yang selalu menyemburkan api dari mulutnya ini sangatlah sulit.

Jadi dangan payah aku hanya bisa membisu, sampai gadis itu kembali menyemburkan jilatan api panas dari mulutnya, "apa maumu Kali ini?" ucapnya ketus.

Tanpa mengeluarkan tanganku dari kantong jaketku, aku tetap bersandar pada batang pohon, namun sekarang Yoha telah pergi dari sana. "Tidak begitu penting, sih. Aku hanya ingin tanya, apa kau tak menganggap panti ini lebih baik dari rumahmu?" ucapku tanpa dosa sedikitpun. Aku tahu itu harusnya menjadi pertanyaan yang sensitif. Namun, apa boleh buat? Sudah ku bilang bahwa aku adalah seekor nyamuk diantara sebuah pembicaraan.

Dan tanpa dosa pula gadis itu menjawab, "jika kehidupan rumahku adalah bebatuan di pinggir jurang, maka kehidupan panti adalah masuk ke dalam jurang itu."

Yaampun, parah sekali. Kurasa gadis ini benar-benar tak pernah menikmati sedetikpun waktu hidupnya.

"Nah, sudah, kan?" boro-boro memikirkan kenikmatan hidup, lagi-lagi gadis ini lebih dulu berucap.

"Hah? Apa?" tanyaku, seakan berlagak sebagai seorang individu yang dungu. Kenapa malah aku yang dungu, ya? Oh, anggap saja untuk sedikit menyamakan 'derajatku' dengan gadis ini.

"Kau sudah mendapat jawaban untuk pertanyaanmu, kan? Apa lagi? Pergi sana!"

Yaampun, selain tak pernah menikmati sedikitpun waktu hidupnya, kurasa dia juga tak pernah sedikitpun menghargai orang lain. Pantas saja sosoknya yang biadab itu dengan mudah ditinggalkan begitu saja oleh orang ramai.

"Oke, baiklah, aku juga tak mau berlama-lama dengan gadis biadab yang keterlaluan dungu, kok!" ucapku sembari mulai berbalik meninggalkan sosok menyebalkan sang gadis dungu.

Dan itu bukan lagi hal yang pertama kali ku lakukan padanya.

Untuk yang kedua kalinya, kutinggalkan gadis itu di belakang punggugku. Dan kuharap, sangat amat berharap bahwa di kali kedua ini, gadis itu tak lagi datang kembali dan menarik ujung jaketku. Seperti yang ia lakukan beberapa hari lalu, di kali pertama aku meninggalkannya di malam hujan yang diterangi semringah kobaran api biru.

Berhubung sekarang tak ada lagi kobaran-kobaran konyol api biru itu, seharusnya dia tak akan kembali padaku, bukan?

***

Panti ini terletak di balik sisi kana hutan yang telah dibakar kemurkaan api buru beberapa hari lalu. Ku lihat pepohonan rimbun yang hampi menjelma menjadi abu, seakan memaksa dirinya untuk berdiri dan menaungi hamparan tanah berhabu.

Saat hutan ini terbakar, Yoha ada di dalamnya, ya?

Memikirkannya lagi, terbayang juga jilatan api biru yang kira-kira berada tepat di depan mata Yoha saat itu. Marinding. Gila sekali sepertinya. Andai akulah yang berada di sana dan bukannnya Yoha, seperinya hangus juga peluang hidup mudaku di umur 15 tahun.

"Api biru memang sepanar itu, ya? Padahal warnanya bagus, lho" ku pikir begitu, dan mungkin memang agak kurang wajar aku berpikiran begitu. Karena yang namanya api, ya tetaplah api. Panas, membakar dan berbahaya. Sebagai orang yang tidak dungu, tentu saja aku sudah tahu. Terlebih lagi jika itu adalah api biru, maka tentu saja akan lebih panas dan bukannya menjadi dingin.

Lalu kembali ku amati hamparan hutan hangus di sekitar. "Seram juga, ya."

Kupikir sudah cukup lama ku amati dahan-dahan kering yang tak lagi memiliki nyawa ini. Kering, mati, tak berdaya. Dan jika kuperhatikan lagi, sedikir mengingatkanku pada sosok seorang gadis dungu yang tak lagi memiliki apa-apa, atau mungkin tak pernah sekalipun memiliki apapun dalam hidupnya.

Haha, walau sebenarnya aku juga tak beda jauh, sih.

***

Ups.


***

LuckRunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang