Andai saja orang-orang panti itu tak sebegitu sensitif terhadap orang-orang luar, selain mereka yang hendak menitipkan buah hatinya ke dalam sana. Jika begitu, sudah pasti tak harus aku repot-repot menerobos hutan hangus yang ada di bagian kiri bangunan 'kropos' panti itu. Ah, masa bodoh.
Akhirnya datang juga Yoha yang entah telah berkelana ke sudut langit bagian mana. Ku perhatikan samar-samar unggas penguntitku itu terbang menyertai di balik ranting kering pohon-pohon mati. Lalu saat ku perjelas pandanganku yang semula samar terhadap pergerakan lincah Yoha, kutarik kembali ucapanku tentang seekor unggas penguntit yang terbang menyertai pemiliknya.
Namanya saja unggas penguntit. Tentu saja di setiap saat dia akan terus menguntiti siapapun. Terkecuali pemiliknya, kurasa.
Dia terbang dan perlahan mempercepat laju terbangnya, meninggalkanku yang masih berjalan tak peduli di belakang. Seakan terbang sembrono, seperti yang selalu ia lakukan ketika ku perintahkan dirinya untuk menguntiti orang-orang yang ku perlukan identitasnya. Sebenarnya tak jarang juga unggas itu seenaknya membuntuti orang lain di luar perintahku. Tapi itu sekedar kemauannya, dan aku tidak peduli. Sama sekali tak peduli.
Seperti saat ini, ketika aku tak memintanya untuk membuntuti siapapun, ia terbang mengikuti insting bringasnya ke arah cahaya terik matahari yang tak kalah bringas, berhasil menerobos dahan-dahan kering pohon mati di ujung hutan.
Ia putari daerah itu terus menerus sampai kepalaku yang awalnya ku dongakkan untuk melihatnya mulai malas untuk memperhatikan. Pada akhirnya pandanganku kembali lurus, tepat pada ujung hutan yang diputari Yoha dari atas. Oh, sepertinya aku paham alasan Yoha terus memutari sorot cahaya di ujung hutan itu.
Karena dengan jelas, dengan mata kepalaku sendiri ku saksikan seseorang yang tampang wajahnya berlawanan arah denganku berdiri tegak di sana, entah apa alasannya.
Berhubung naluri alamiah Yoha kali ini tak ada sangkut pautnya dengan perintahku, tentu saja aku tak memedulikan orang itu.
***
Atau mungkin tidah juga, setelah orang di ujung hutan itu mengeluarkan sebuah benda yang ia bakar dengan api biru.
Yaampun, kurasa aku telah dihantui oleh api biru.
Langkahku yang semula berjalan tak peduli mulai ku hentikan. Dengan Yoha yang masih terus menerus memutari orang itu dari atas, ku perhatikan lagak dirinya dari belakang. Namun tak berpusat pada sosoknya yang kira-kira memiliki umur yang sama denganku, justru perhatianku lebih terpusat pada sebuah daun kering yang ia bakar dengan api berwarna biru. Indah, mempesona, membakar dengan cara yang memukau.
Wow, dan barulah terbesit di pikiranku beberpa detik kemudian, "pemuda ini, apa kau tak puas dengan hasil bakaranmu beberapa hari lalu?" gumamku seperti orang dungu, berharap orang itu sekilas mendengar satu-dua patah kata yang kuucapkan walau kelihatan dungu.
Ah, masa bodohlah kalau yang ku harapkan adalah kepekaan orang di ujung hutan untuk mendengar suaraku. Jangankan mendengar gumaman seseorang yang berjarak sekitar 15 langkah di belakangannya, menyadari kehadiranku di belakang punggungnyapun kurasa tidak.
Jika saja pemuda itu menyadari semua itu, kalau bisa aku ingin mengorek alasan keberadaannya di ujung hutan hangus ini. Kalaupun benar ialah orang yang membakar habis hutan ini dengan api biru, kenapa ia mau membakar bagian hutan yang sudah ia bakar sampai hangus bukan main? Bukankah itu adalah sebuah usaha yang sangat sia-sia.
Hutan ini terletak di bagian kiri bangunan panti yang terbuat dari kayu-kayu rapuh yang sok kokoh.
Tunggu, tunggu dulu. Entah apa alasannya, aku merasa bahwa pemuda itu bukanlah seorang dungu yang akan melakukan hal sia-sia semacan itu.
Dan jika membakar ulang bagian hutan yang sudah ia bakar bukanlah alasannya, satu-satunya sesuatu yang dapat dengan mudah dibakar selain hutan ini adalah... "Panti kayu yang kropos itu?" tanpa sadar ku suarakan juga jawaban dari hasil pemikiranku.
Dan tanpa sadar pula, jawabanku yang penuh dengan teori 'asal-asalan' itu mendapat balasan nyinyir yang mengejutkan dari seorang pemuda di ujung hutan. "Kalau kau sudah tahu, cepat singkirkan elang sialanmu ini!" Wah, ku kira ia tidak bisa mendengar apa yang ku katakan.
Dan tepat setelah itu, Yoha memekik dengan suara alamiahnya dan terbang pergi ke arahku. Membuat setidaknya sedikit dari ujung mata pemuda itu melirik ke arah pemilik sang elang , aku.
Seseorang yang tidak dungu tak perlu berkenalan dengan orang lain untuk mengenalinya. Dan pemuda itu kurasa benar-benar tidak dungu, karena ia tahu bahwa elang itu adalah milikku.
Jika begitu, kurasa aku tak perlu repot-repot berurusan dengan pemuda tidak jelas itu. Dia ingin membakar habis panti konyol itu dengan apinya sendiri, dan aku sendiri memang tak suka dengan keberadaan panti itu. bukan sebuah masalah, kan?
Dan jika pemuda itu berhasil melakukannya, saat api biru miliknya mulai membakar dan menghanguskan bangunan panti, tentu saja tidak ada yang akan tersisa kecuali bongkahan kayu yang hangus di dalamnya. Jika itu terjadi, yasudah. Itu tidak masalah, karena aku sama sekali tak bersangkutan dengan pembakaran itu.
Tapi mungkin, tentu saja Iliam dan semua anak yang ada di dalam sana, bukan, tapi semua orang yang ada di dalamnya akan hangus terbakar lebih dulu dibanding bongkahan-bongkahan kayu.
***
Ku rasakan bagian jidaktu sedikit menampakkan kerutan. Itu alamiah, karena dengan ketus aku berkata, "mampus kau bocah dungu!" Kurasa aku benar-benar menantikan kematian gadis itu. Haha, jahat sekali.
"Yo, segera lakukan ide brilianmu itu, ya! Aku suka rencanamu!" dengan riang ku teriaki pula pemuda yang bahkan tak menolehkan wajahnya padaku.
Lalu dengan samar ku lihat ia tersenyum di ujung hutan dan berkata, "baiklah, dengan senang hati, 'tuannya' Yoha" dan di detik setelah kalimat itu masuk ke syaraf pendengaranku, kupikir meneriakinya adalah tindakan yang fatal.
"Mampus untuk diriku. Ku harap aku tak harus mampus terbakar seperti gadis itu" gumamku, sembari ku bayangkan sosok menyedihkan Iliam yang pada akhirnya harus hangus dibakar api biru.
Dan di detik-detik selanjutnya setelah sosok gadis dungu itu terbayang di kepalaku, muncul juga wujud nyata dirinya yang ternyata, kupikir tak semenyedihkan yang ada dalam bayanganku.
Tapi sama saja. Pada akhirnya gadis ini sama saja kembali padaku dan menarik ujug jaketku. Dengan tangan yang gemetar, persis seperti pada palam penghujan di perempatan. Sialan.
"Hei! Apa lagi ini?" aku bergerutu. Mulai mencoba melepaskan cengkraman tangan si gadis dungu dari ujung jaketku.
Lagi-lagi ujung jaket.
Dengan berat hati, ku sentuh tangan si gadis dungu, hendak ku banting menjauh dari permukaan tubuhku. Namun yang membuatku heran adalah, tekstur kulit gadis ini.
Seperti tekstur kulit orang hidup yang belum lama mati.
Dingin, kasar, bergetar tak karuan. Namun, apa peduliku dengan seorang gadis dungu. Walau sejujurnya ku ketahui bahwa gadis ini bisa membaca dan mungkin juga merasuki pikiran orang lain, pada akhirnya tetap ku banting juga tangannya menjauh dariku.
Ku harap setelah itu gadis ini terdiam, persis seperti pada malam itu.
Namun kali ini sepertinya nihil. Kali ini, si gadis dungu malah memberontak untuk merapatkan dirinya denganku dan terus berteriak, "bawa aku pergi!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
LuckRuna
Fantasy"Nenekku orang jahat, ibuku orang jahan, ayahku orang jahat, begitu juga denganku. Apakah kau masih berpikir ada secuil kebahagiaan, bahkan sekecil biji sawipun yang ada dalam ruang lingkup orang-orang jahat? Dan satu lagi, aku tidak dungu." Mereka...