OO. Kekuasaan Tak Terbatas Universitas

29 4 0
                                    

"Penempatan rakyat di posisi tertinggi dalam negeri, bukannya itu salah satu hal yang perlu di perhatikan oleh Pemerintah?"


















Petua Gendari Sekartika —Sekar, adalah Mahasiswa Hukum semester tiga serta Aktivis termuda dari Universitas Pembangunan Jayatri Surabaya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Petua Gendari Sekartika —Sekar, adalah Mahasiswa Hukum semester tiga serta Aktivis termuda dari Universitas Pembangunan Jayatri Surabaya. Dengan pemikiran kritisnya, ia membabat habis segala lomba Perdebatan, tingkat Internasional pun sudah diraih hingga mendapatkan banyak medali.

Universitas ini menjadi saksi bahwa Gendari adalah gadis penuh ambisi, ia sering turun aksi demi menyampaikan suara seluruh Rakyat Indonesia. Tak takut dihabisi nyawanya, ia justru seringkali membawa kertas dengan tulisan-tulisan sakral guna meroasting Para Pemerintah yang ada. Baginya itu hal biasa, bukan yang wah.

















★★★

"Oi Sekar! Gimana tanggapan lu terhadap UKT kali ini?"

Aula menjadi tempat untuk Para Aktivis berdiskusi dan menyusun banyak aksi. Sekar memang aktivis termuda, tapi pemikirannya lah yang paling ditunggu oleh Aktivis lainnya.

"Gue baru dateng, ah. Ribut amat!"

Sadewa menyauti dengan muka juteknya, "Gedung Rektorat udah rame diserbu dan lu masih ngomong gue ribut?"

"Ya ya ya, sabar. Biar gue mikir dulu"

Siapa sangka kalau Aktivis termuda justru menjadi dasar bertumpunya Para Aktivis untuk bergerak? Pemikiran Kritis dari Sekar memang patut diapresiasi.

"Kita nggak turun aja? Gedung Rektorat kalau diserbu terus-terusan bakalan habis, tau"

Sekar menoleh pada sumber suara, Nadewa lah yang kini berbicara —ia kembaran Sadewa.

"Maksudnya?" Sekar kebingungan dengan ucapan Nadewa kali ini.

"Tangga nya bergetar loh saat dipijak, bangunannya sudah nggak begitu kokoh lagi"

Sekar terdiam sejenak, masalahnya sekarang adalah Mahasiswa yang sedang melaksanakan protes tepat di Gedung Rektorat tidak hanya satu, melainkan lebih dari itu.

Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tiba-tiba melejit tinggi tanpa adanya bukti mengapa dan digunakan sebagai apa memang membuat Mahasiswa menjadi bertanya-tanya. Tak masalah jika Mahasiswa yang kaya, tapi bagaimana dengan Mahasiswa yang masih bingung besok hendak makan apa dengan finansial seadanya?

"Kak!!! Kak!!! Tolong bantu kami, kami ingin UKT tetap normal agar kami dapat melanjutkan pendidikan"

Suara ketukan pintu Aula semakin keras diiringi dengan tangisan. Para Aktivis yang ada di Aula menoleh ke Pintu kemudian saling menatap satu sama lain. Hening. Tidak ada satupun yang berbicara kecuali mata mereka.

Sampai akhirnya Pandu menyuarakan sesuatu, "Bukain nggak, sih? Kita perlu tanya-tanya sesuatu, kan?"

Yang lain mengangguk setuju dengan pendapatnya, kemudian Pandu bergegas membukakan pintu dan membiarkan sang pengetuk masuk.

Ah, tangisnya sungguh menyakitkan. "Kakak, untuk makan saja aku harus bekerja keras jual makanan"

Sekar terdiam seribu bahasa, matanya mulai berair dan mulai berfikir, "Ia menjual makanan untuk kehidupannya?", begitu gumamnya.

"Boleh kakak tau sesuatu? Berapa persen UKT kamu naik?"

Gadis yang mengetuk pintu itu menatap dalam Sang Pandu, "Semua UKT disamakan sekarang, kak. Tidak peduli Mahasiswanya dari keluarga miskin atau tidak"

"Hah?"

"Kar??? Memangnya iya semua sama rata?"

Segera mengelak, Sekar menjawab "Gue udah cek di papan pengumuman sebelum kesini, semuanya memang naik 50%, tapi tiap Mahasiswa berbeda"

"Kak aku nggak naik 50% saja, tapi hampir 70%... Aku harus ngomong apa sama ibu, kak???"

Para Aktivis menatap gadis itu kebingungan. Tiba-tiba dan mengejutkan bagi mereka. Sadewa yang sedari tadi memperhatikan segera mengambil almamaternya dan bergegas. "Cabut, kita perlu turun kali ini"

Hendak melangkah keluar ruangan, Sadewa yang diikuti oleh Nadewa beserta lainnya diberhentikan oleh Sekar karena satu dan lain hal.

"Stop sampai situ, jangan turun tanpa ada bukti nyata bahwa semua Mahasiswa nggak terima"

Sadewa memutar balikkan badannya, "Kan udah jelas kalau Mahasiswa banyak yang nggak terima? Buktinya mereka lagi protes kan ke Gedung Rektorat disana?"

"Bukan gitu, Sadewa. Kita perlu suara untuk mendukung aksi kita terlaksana. Memang disana banyak Mahasiswa, tapi mereka belum tentu berani protes secara blak-blakan ke Rektoratnya. Yakimlah, kalau sekedar protes di depan Gedung saja, Rektorat bisa sembunyi dibalik istananya"

Pandu menyauti perkataan Sekar, "Bener, kayanya jangan asal turun, apalagi ini juga jam produktif. Kita harus cari tau juga nggak sih sebab dan akibatnya?"

Kini Januar —aktivis tertua dan menjadi Senior serta Ketua, ikut menimbrung dalam percakapan.

"Jangan asal turun untuk aksi, Rektorat di kampus adalah Penguasa Tak Terbatas yang dijalankan oleh Pemerintah. Pendidikan adalah Robotnya"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PATAH TIANG KAMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang