01

693 86 3
                                    

"Maretha, please, jangan ikut ke dalam. Kita nggak tau ada apa di dalam. Gue nggak mau sampai lo kenapa-napa. Okay?"

"I'll be okay"

"Tha, I'm sorry. Sorry ... for being ... this weak."

"Sorry ... for the ... promise that ... I can't keep ...."

Tepukan pelan di pundaknya bak sentakan hebat yang mampu membuat Ezar langsung terbelalak dengan napas tersengal-sengal. Kepala lelaki itu pening seketika. Ia memejam kembali sambil meringis dan memegangi kepala. Kemudian disusul dengan suara batuk akibat sesak yang ikut menyerang. Perpaduan itu lantas membuat Ezar merintih seraya berusaha untuk mencari pertolongan. Ia bisa merasakan ada kehadiran orang lain di sekitarnya. Namun, ia masih dibiarkan dalam posisi berbaring dan yang terdengar hanya suara penuh kepanikan.

Detik selanjutnya tubuh Ezar diangkat dan disandarkan pada kepala sofa. Serta ada suara familiar yang terus memanggil-manggil namanya, bercampur dengan teriakan yang tak begitu jelas. Ezar berusaha mengumpulkan kembali nyawanya. Ia berusaha melawan segala sensasi tak nyaman yang hinggap, hingga akhirnya berhasil membuka mata kembali. Wajah khawatir Harith adalah hal pertama yang ia lihat.

"Dek, you okay? What happened?" Harith jelas panik bukan kepalang saat sang adik malah terbangun dengan menahan sakit seperti itu. Padahal niatnya membangunkan Ezar adalah supaya lelaki tersebut bisa tidur dengan posisi yang lebih nyaman, bukan hanya beralaskan sofa yang keras.

Harith buntu dalam sekejap. Biasanya ia paling bisa menemukan solusi jika mendadak muncul masalah. Namun, kali ini ia seperti orang bodoh dan hanya berteriak supaya orang di luar memanggil ayahnya. Jujur saja Harith ketakutan sekaligus kaget. Saat datang kemari tadi Ezar tidak menunjukkan tanda-tanda sedang sakit atau sejenisnya. Menurutnya sangat aneh jika tiba-tiba mendapat serangan. Harith sungguh tidak bisa berpikir jernih.

"Mas ... Mas Harith?" Ezar meraba lengan kokoh Harith. Sementara sebelah tangannya masih menekan dada. "Ini Mas Harith?"

Harith mengangguk cepat. "Iya, ini Mas. Kenapa? Ada apa?"

Butuh beberapa saat bagi Ezar untuk meyakinkan diri sendiri bahwa yang ada di hadapannya adalah Harith. Pria itu kelihatan sangat khawatir. Sayangnya bahkan saat sudah menyadari ada Harith, Ezar masih belum bisa mengerti situasi yang sedang ia hadapi. Ia yakin kalau ia sedang berada di lokasi penculikan Haira. Ia merasa sangat mengantuk karena sakit yang terus menghunjam tanpa henti. Kata-kata terakhir yang ia ucapkan sebelum menutup mata pun masih ia ingat jelas. Lantas sekarang ini apa? Mengapa tiba-tiba ia berada di ruangan Harith?

Kepala Ezar makin sakit saat mencoba memikirkan apa yang sedang terjadi. Ia pun berakhir menyandarkan tubuh ke Harith sambil berusaha menetralkan sesak. Tubuh kokoh sang kakak terasa sangat nyata, ia yakin sekarang ia berada dalam kenyataan. Suara dan hangatnya Harith tak berubah sedikit pun.

"Kenapa ini, Mas? Kok ada adikmu di sini?" Dewa masuk dengan tergopoh-gopoh. Hatinya dibuat mencelos ketika melihat putra keduanya bersandar lemas pada si sulung. Wajah pucat yang selalu dibenci Dewa itu membuat rasa khawatirnya langsung membuncah. "Kenapa dia? Kenapa lagi sakit malah ada di sini?"

"Enggak, Pa. Aku juga nggak tau kenapa dia tiba-tiba kayak gini. Tadi dia datang ke sini karena aku minta tolong buat bawain berkas yang ketinggalan di rumah. Terus dia bilang Mama suruh dia buat jempur Haira, tapi dia malas jadi aku inisiatif supaya aku aja yang jemput. Kasian juga dia bolak-balik." Cerita versi Harith akhirnya mengalir. Ezar mendengarkan dalam diam sambil berusaha mencerna. "Pas aku balik ke sini ternyata dia udah tidur di sofa. Aku niatnya mau bangunin karena posisinya kurang enak, dia tidur nggak pake alas dan kakinya ditekuk. Tapi waktu aku bangunin dia kaget dan jadi kayak gini."

Beating AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang