Jewel tengah sibuk meminum kopinya. Iya kopi, lebih tepatnya kopi milik sang Daddy. Anak itu asal main minum kopi Dewa, karena si pemilik dari kopi tersebut sedang pergi.
Jewel memang boleh meminum kopi, tapi terkadang Ace melarangnya untuk meminum kafein itu karena katanya, kopi hanya untuk orang dewasa. Tapi Jewel kan sudah enam belas tahun.
Persetan dengan kak Ace, kopi hitam di tangannya lebih menarik!
"Minum apa?" Jewel tersedak ketika menelan kopi. Lalu segera menyembunyikan gelas itu di belakang tubuhnya. Walaupun percuma, tapi setidaknya dia effort untuk menyembunyikan kopi tersebut.
Ace duduk di sebelah Jewel. Hidungnya ia dekatkan pada mulut sang adik, lalu mengangguk angguk seolah olah mengerti. "Kopi siapa?" Yang ditanyai justru memalingkan wajahnya panik. Enggan menatap Ace.
"El," Jewel semakin takut. Oh ayolah, kenapa kakaknya harus menggunakan suara menyeramkan itu? Ia perlahan bangkit dari sofa, hendak kabur guna menghindari pertanyaan Ace.
Namun, tak semudah rencana. Ace segera memblokir jalan menggunakan kakinya. Maksudnya, kaki Ace menahan tubuh Jewel agar tidak bisa pergi ke manapun.
"Kenapa minum kopi?"
Jewel terpaksa duduk kembali. Tubuhnya benar benar terkunci karena kaki sang kakak. Ia dengan gugup menjawab. "Daddy nge-bolehin, kok..." jawabnya dengan kepala tertunduk.
"Kapan Daddy bilang?" Tekan Ace lagi. Ia tak bermaksud untuk memojokkan sang adik, sungguh. Ini murni karena dirinya rindu ekspresi takut yang terpasang di wajah Jewel.
Karena memang seminggu ini Ace tak berada di rumah. Ia di luar negeri demi menuruti permintaan temannya. Dan Jewel dilarang untuk ikut sang kakak karena satu keluarga yakin, anak itu tak akan betah.
"Dulu," Jewel menatap Ace dengan mengerucutkan bibirnya. Ia kemudian menaruh gelas kaca di meja dengan kuat. Hampir pecah, bagi telinga yang mendengar maksudnya. Jewel terlalu bersemangat menempatkan gelas tersebut di meja.
"Bohong, iya kan?" Ace mengambil gelas berisi kopi itu dan menyesapnya sampai habis. Sedangkan Jewel menatap tak percaya ke arah kakaknya. "Habis..." ia menunduk ke gelas tersebut ketika Ace menaruhnya di meja dan mendapatkan keadaan gelas yang sudah kosong.
"Anak kecil itu cocoknya minum susu," Jewel segera menggeleng menolak keras pendapat tersebut. "Kak Ace mengada ada." Kalau saja yang ada di hadapannya ini si Daddy, ia yakin ia tak akan kalah. Tapi sayangnya ini Ace, kakak terkejam yang pernah Jewel kenal.
"Ga jelas kamu dek. Dah sana, mending belajar." Ace mengeluarkan ponselnya dari dalam saku, lalu memainkan benda canggih tersebut. Total tak peduli pada Jewel lagi.
"Oh iya, hp El kemana ya? Kakak tau ga," Ace hanya menatap sekilas. Tak berniat menjawab. Kalaupun menjawab juga percuma, ia tak tau di mana keberadaan ponsel sang adik.
"Sombong banget," Jewel menatap kakaknya julid; mengernyitkan dahi sembari memasang ekspresi tak percaya. "Begitukah kelakuan sang kakak yang baik untuk adiknya?" Jewel terus mengoceh, menyalahkan kakaknya yang berlaku jauh dari sifat kakak kakak pada umumnya.
"Rugi kamu ngoceh gitu dek, kakak ga peduli," Ace menatap sekilas pada Jewel lalu kembali fokus memainkan ponselnya. Biarkan saja, lagipula Jewel sudah biasa dihiraukan oleh dirinya.
Jewel mendengus, ia menyilangkan tangannya dan menyenderkan diri di sofa. Tak ingin bicara dengan Ace lagi. Kakaknya memang kakak terburuk, terjelek dan tak berguna di seluruh dunia.
Tak selang lama, Ace bangkit dari duduknya. Menyimpan ponselnya di saku celana lalu mengarahkan kepalanya pada Jewel. "Kakak mau pergi, ga usah ikut." Anak Dewa tersebut berjalan memasuki kamarnya. Sepertinya ingin berganti baju.
Jewel tersenyum, tak peduli bila sudah dilarang ia akan tetap ikut. Ikut berdiri dari sofa lalu dengan gerakan cepat berlari menuju mobil yang biasa dipakai oleh Ace. Ia mencari bapak supir terlebih dahulu. Kakaknya itu pemalas, tak pernah ia menemukan si sulung mengendarai mobil tanpa supir, pasti selalu bersama si supir.
"Bapak Alex, buka pintu mobilnya dong,"
"Kebetulan baru saya bersihkan, tuan muda. Jadi mobil tidak dikunci." Jewel tersenyum lagi. Ia menjinjitkan ujung kakinya agar bisa mencapai telinga pak Alex. "Jangan beritau kakak kalo El masuk mobil, ya pak," bapak supir tersebut menggelengkan kepalanya sembari tersenyum. Ada ada saja permintaan tuan mudanya ini.
Jewel dengan antusias memasuki mobil di bagian penumpang. Menidurkan badannya di ubin; di bawah kursi. Berharap Ace tak melihatnya.
Jewel menunggu cukup lama, tapi penantian itu berakhir di sini. Ace masuk ke mobil, oh, ternyata tak bersama Pak Alex. Buktinya pemuda itu langsung masuk di kemudi. Jewel diam diam tersenyum. Kemanakah kakaknya akan pergi?
Mobil dijalankan, keluar dari pekarangan rumah.
Selama perjalanan, sebenarnya Jewel ingin mengeluhkan bahwa punggungnya sakit. Tapi ia tak bisa, nanti kakaknya marah. Kalau marahnya di tempat tujuan, tak masalah. Karena kalau masih di jalan, takutnya menabrak kendaraan lain.
Setengah jam. Setengah jam Ace pergi, dan itu lama bagi Jewel. Punggung anak itu sudah seperti dibakar, panas sekali. Tak lama mobil berhenti.
Ace membuka pintu dan ketika akan menutupnya, Jewel menyembul, berposisi duduk. Mau tak mau sulung Dewa itu terkejut. Bagaimana ia bisa tak sadar? "Kenapa El di sini?!" Pekiknya tak percaya. Sedangkan Jewel tersenyum lebar. Ia dengan tergesa gesa keluar dari mobil dan menghampiri Ace.
"Ini namanya kejutan, kak Ace," mengambil lengan kanan sang kakak lalu menggesekkan pipinya di sana. Ace mendengus, menjambak rambut adiknya sebentar sebelum mengelusnya.
"Nanti kalo adek digodain temen kak Ace, kakak ga peduli ya,"
"Kayak yang ikhlas aja," Jewel tersenyum geli pada kakaknya. Ia kemudian mengikuti langkah si kakak yang menuju ke dalam rumah di hadapan mereka. Sepertinya Ace membawa Jewel ke rumah teman Ace.
Anak berumur enam belas tahun tersebut memepetkan diri pada yang lebih tua, karena belum kenal tempat ini. Ia masih malu malu.
Di pintu menuju dalam rumah, Ace disapa oleh teman temannya. Oh, teman kakaknya tak hanya satu atau dua, tapi di sini ada lima! Bisa mati Jewel di circle orang tua!
"Adek lo, Ace?" Tanya salah satu di antara lima orang teman Ace. Ia berpawakan tinggi dan menggunakan kacamata. Nanti Jewel akan menanyakan namanya.
"Iya nih, main ngintil ke sini, padahal udah ga gue ajak." Ace menyentil pelan dahi Jewel.
"Haha, udah yuk masuk."
•••
Ketika sudah berkenalan, Jewel digoda habis habisan. Teman teman kakaknya itu ternyata brengsek semua! Entah dari yang menampar pantatnya sembarangan, mencubit pipinya hingga merah, sampai mengucir rambutnya jadi banyak cabang! Ini menyebalkan, sungguh.
"Kak Ace, tolongin..." matanya sudah berkaca kaca. Ia dipaksa untuk menurut bahwa rambutnya harus dikucir. Anak itu ingin berteriak kalau dirinya bukan anak perempuan. Tapi tak bisa, circle kakaknya kuat kuat.
Sedangkan Ace, ia sibuk memperhatikan adiknya yang sedang dianiaya oleh om om itu. Ia bukannya tak peduli, tapi sedang menunggu Jewel menangis karena dijahili teman-temannya.
"Kakak canci ini siapa sih namanya? Kenapa engga dia aja yang kalian mainin rambutnya?!" Jewel menjambak sedikit rambut salah satu teman Ace, tak segan segan ia menjambak rambut itu dengan kuat meski jumlah genggaman rambutnya hanya sedikit.