Caelus - 1

40 2 1
                                    

Bel pulang sekolah memekik di telingaku, harusnya itu membuatku senang, tapi aku malah merasa lebih terganggu daripada senang sekarang. Bahkan menutup mata untuk 15 menit saja pun tak bisa ya? Ugh, aku sangat mengantuk sekarang.

"Hoi, Caelus!"

"Bel pulang sekolah sudah bunyi, kau tidak mau pulang?"

Ah, dua suara yang amat kukenali. Yang satu punya nada riang dan menyenangkan, dan yang satu lagi dingin dan tenang. Dua teman terdekatku, March 7th (jangan tanya kenapa orang tuanya menamainya seperti itu, aku juga tidak mengerti darimana mereka mendapatkan nama itu) dan Dan heng,

"Caelus, cepat bangun! Bisa-bisa kita melewatkan bus kita!" Protes March.

Rasanya berat sekali mau membuka mata, tapi kalau March sudah berkata seperti itu, lebih baik aku bangun sekarang daripada mendengar omelannya yang akan menghujamku bertubi-tubi.

"Sebentar..." Ujarku sambil mengangkat kepala.

"Huwah! Tambah besar tuh mata pandanya! Bahkan lebih parah dari punya Dan Heng!"

March menunjuk bagian bawah mataku, apa memang sebesar itu

"Rasanya sama saja bagiku, March," Dan Heng membalas March, "Tapi, Caelus. Apa akhir-akhir ini kau sering bergadang?"

Aku mengucek mataku sambil menguap. Membalas pertanyaannya dengan malas.

"Rasanya tidurku cukup saja, kok"

Bohong.

"Jangan khawatir berlebihan, haha!"

March dan Dan Heng saling bertukar pandangan sebentar sebelum kembali menghadap ke arahku.

"Kalau ada apa-apa kasih tahu kami lho ya!"

"Tenang saja, March,"

Aku beranjak dari bangku sambil menggendong tas ransel yang hampir tak pernah kubuka hari ini. Kaki terasa agak lemas setelah seharian ini mencoba untuk tidur.

"Ayo pulang." Ujarku.

Sekolah ini hanyalah sekolah negeri biasa. Bukan sekolah swasta dengan seragam super keren berupa almamater berwarna-warni. Bukan juga sekolah penjurusan yang punya kualifikasi tinggi untuk masuk ke universitas.

Ada tiga lantai, lantai paling atas hanya digunakan untuk ruang serbaguna. Paling sering dipakai seandainya di luar hujan, dan lapangan terlalu becek. Selain itu, paling-paling yang mengisi tempat itu adalah klub voli (menurut cerita March).

Lantai kedua isinya hanya ruang kelas untuk kelas tiga dan dua. Masing-masing hanya memiliki 3 kelas per angkatan. Lantai ini terasa paling tua. Bangku dan mejanya (berdasarkan keterangan saksi yang ada) tidak pernah diganti semenjak renovasi 15 tahun yang lalu.

Lantai pertama, tempat kami bertiga berjalan sekarang adalah yang paling modern. Seolah-olah berusaha menipu anak-anak kelas sepuluh bahwa sekolah ini sudah sangat modern dan adalah pilihan terbaik untuk mereka. Atau mungkin tepatnya, satu-satunya pilihan buat mereka di kota ini.

"Hei lihat, mereka punya proyektor sendiri!"

Dan Heng menghela napas, "Bisa saja mereka pinjam dari ruang guru March,"

"Nggak, nggak! Di kelas lain juga semuanya ada!"

"Paling juga hanya satu dari tiga itu yang menyala," Ganti aku yang bercanda.

"Yah, sekolah ini memang begitu sih," March menyilangkan tangannya di dada, "Hanya ada sembilan kelas, 225 siswa, satu proyektor yang bekerja, satu lantai yang sesuai dengan zamannya, dan lapangan yang entah berapa lama sudah nggak di cat ulang lagi!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 08 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lullaby [CaeFly]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang