"Ketika kamu dicintai orang-orang terdekatmu begitu banyak. Bagaimana rasanya?"
"Aku bahagia. Dan aku bersyukur. Tetapi aku takut. Aku khawatir mencintai mereka begitu banyak. Aku takut Tuhan cemburu. Dan mengambil kebahagiaan itu, lagi."
"Apa kau pernah sepatah hati itu?"
"Hm. Ya. Rasanya sungguh sesak. Seperti tak ada tenaga. Bahkan untuk sekedar makan dan minum."
"Apa kau merasa putus asa?"
"Ya. Hampir. Tetapi kemudian Tuhan menyadarkanku. Bahwa aku bukan siapa-siapa dan aku tak punya apa-apa. Hanya iman yang aku punya. Dan mungkin itu yang menyelamatkanku. Dari segala keputus-asaan dan pikiran burukku."
"Kehilangan seperti apa itu?"
"Dipisahkan oleh jarak, waktu, dan keadaan. Oleh hampir semua orang terdekatku. Bahkan pernah dipisahkan oleh kematian."
"Hm. Aku mengerti. Pasti rasanya sungguh menyakitkan."
"Rasanya seperti hampir hilang kendali. Aku seperti kehilangan diriku. Bahkan seperti ingin dijemput kematian. Seperti tak ada lagi keinginan untuk menjalani hidup."
"Lantas apa yang menguatkanmu?"
"Entahlah. Aku hanya takut Tuhan marah. Dan tidak meridhoiku. Aku hanya mencoba untuk tetap menjalani hidup. Meski seperti tak hidup."
"Apa kau pernah menyalahkan Tuhan?"
"Tidak. Aku tak berani. Siapa aku? Bahkan apa yang ku anggap aku miliki selama ini, semuanya adalah pemberian Tuhan. Bukan milikku. Ragaku, kepintaran, keahlian, harta benda, cinta, pekerjaan, jabatan, pencapaian, teman-teman, keluarga, orang-orang terdekat, semuanya bukan milikku. Bahkan, seharusnya aku malu. Tuhan hanya mengambil kembali milik-Nya. Bahkan, hanya mengambil sebagian dariku."
"Dimana orang-orang terdekatmu saat itu?"
"Justru merekalah ujianku. Tuhan seolah mengambil mereka dariku. Kami dipisahkan jarak, waktu, dan keadaan. Bahkan, saat itu sangat sulit untuk sekedar mendapat kabar dari mereka. Mereka disibukkan dengan kesibukan mereka masing-masing. Seperti tak ada yang memperdulikan ku. Aku sendirian."
"Luar biasa. Kamu hebat. Kamu bisa melewati ujian itu."
"Bukan aku yang hebat. Tetapi Tuhan yang menuntunku. Pada saat itu, aku terus berpikir bahwa aku sendirian. Padahal nyatanya aku tak sendirian. Tuhan sedang menungguku. Lama sekali aku menyadari itu. Hingga akhirnya aku benar-benar merasa sendirian, dan hanya bisa mengadu kepada Tuhan. Pada akhirnya Tuhan menjadi satu-satunya yang bisa ku mintai bantuan. Aku berserah diri, mengadu sejadi-jadinya, meminta maaf atas kesombongan, dan kecintaanku yang terlalu besar terhadap makhluk, melebihi kecintaan ku kepada-Nya. Lalu berdoa, meminta agar Tuhan mengeluarkan ku dari kesulitan itu."
"Apakah Tuhan langsung mengabulkan?"
"Setelah kekhusyukan ku berdoa dan berbicara dengan Tuhan beberapa kali. Seorang sahabat dekat menghubungiku. Lalu kami menjadi dekat kembali. Meski masih dijauhkan oleh jarak, waktu dan keadaan. Tetapi hubungan kami tetap dekat. Dan ia menjadi salah satu penguatku. Lalu yang lain, mengikuti. Seolah Tuhan memberikan kembali mereka padaku."
"Apa sempat ada kekhawatiran, Tuhan akan mengambil mereka lagi?"
"Ya tentu saja. Itu sebabnya sampai saat ini hatiku seperti kosong. Meski dikelilingi orang-orang baik, yang begitu mendukung dan menyayangiku. Aku bersyukur. Aku menyayangi mereka juga. Cukup banyak. Tetapi, aku menahan untuk mencintai begitu banyak. Aku tak sanggup harus kehilangan lagi. Terkadang aku seperti mati rasa."
"Aku mengerti bagaimana rasanya. Semoga kesakitanmu lekas pulih."
KAMU SEDANG MEMBACA
DIALOG
RandomTak peduli sehampa apa hidup mu. Kau tetap butuh ruang untuk berdialog.