1. Bena

60 3 0
                                    

Derap langkahnya tergesa. Pikirannya melayang dengan segala takdir terburuk yang segera menyapa panca indera. Ia buka dengan kasar pintu utama dan berlari menuju kamar yang sudah tujuh bulan ini ditempati bersama Omeganya. Bola matanya ia paksa untuk segera menemukan sosok laki-laki dengan senyum manis yang akhir-akhir ini menyambut kedatangannya. Kosong, tampak jika yang ia cari tidak sedang berada di dalam kamar.

Perlahan kakinya ia tuntun lagi untuk keluar, menemukan Omeganya. Belum sempat melangkahkan kaki menuju ruangan lain, Alpha itu dengan lirih mendengar gemericik dari dalam kamar mandi. Ia balik tubuhnya dengan cepat dan berlari menuju sumber suara. Pikirannya kalut. Semoga apa yang berisik di kepalanya tidak pernah terjadi. Semoga apa yang ada di balik pintu tidak seperti yang muncul di bayangannya. Ia belum—tidak akan pernah siap.

Suara air kian terdengar jelas menyapa telinga. Tangannya dengan kuat membuka pintu untuk memastikan Omeganya di sana—baik-baik saja tanpa terluka.

"Biru!" panggil Alpha itu dengan lantangnya. Namun, ada getar dan takut di sana.


. . . . . . . . . . .

"Aku tidak bisa menjagamu, Biru. Mengertilah." tuturnya lembut, tapi mampu melukai laki-laki yang baru saja kehilangan sosok wanita paling berharga dalam hidupnya.

Sudah sejak usia tujuh tahun, laki-laki manis yang kerap dipanggil Biru itu kehilangan figur Ayah. Abdi, ayahnya entah pergi ke mana—meninggalkan istri serta anaknya tanpa kejelasan. Setelah kematian Ibu Biru—dua hari yang lalu, Abdi tiba-tiba datang dan melontarkan satu kalimat yang sudah pasti membuat Biru semakin jengah.

Biru tetap diam, memandang jauh ke depan entah apa yang memenuhi kepala kecilnya. Marah, benci, kecewa, atau takut?! Biru sendiri bingung untuk mendefinisikannya.

Menolehkan kepala menatap anak laki-lakinya, Abdi kembali bersuara "Aku turut berduka cita atas kematian ibumu.". Merapikan baju yang dikenakannya, Abdi beranjak dari tempat duduk untuk pergi lagi. Langkahnya terhenti sebelum benar-benar melewati pintu hanya demi mengatakan kalimat memuakkan—terkhusus untuk Biru "Jangan melakukan hal bodoh lagi. Kamu masih bisa hidup panjang.". Sosok yang tidak akan pernah dipanggil Ayah oleh Biru, sekarang benar-benar pergi dan Biru kembali sendiri.

Biru masih duduk-diam di tempat yang sama, menikmati kekosongan rumah yang sudah 23 tahun ia tempati bersama wanita paling dikasihi. "Ibumu?! Dia juga istrimu brengsek." hanya satu kalimat singkat penuh kekecewaan itu yang terdengar hingga larut datang.

....

"Turunkan suhu AC-nya!" perintah seorang laki-laki berjas mengilap yang sedari pagi terus gelisah. Sesekali ia juga menyeka keringat yang mampir di dahi, lalu kembali fokus pada tumpukan dokumen yang entah kapan selesainya. Apakah pemanasan global semakin meningkat? Apakah AC-nya rusak? Atau apakah akan turun hujan jadi suhu lebih panas? Persetan. Apapun penyebabnya tuan muda itu tidak peduli yang ia mau hanya terbebas dari panas yang menggila.

"Tuan, saya baru saja mendapatkan informasi jika penipu itu muncul dan terlihat mengunjungi anaknya." lapor seorang berbadan tegap dengan raut muka tegas, tanpa ekspresi. Mungkin pekerjaannya mengharuskannya untuk terlihat seperti itu.

"Akh. Memiliki seorang anak." seringai kemenangan terukir pada bibir tipis laki-laki yang terbiasa dipanggil tuan itu. "Herdi, seret anak penipu itu dan bawa ke tempat biasa. Lakukan apapun agar dia bersedia memberi tahu di mana lokasi ayahnya." setelah memberi perintah ia mengembalikan fokusnya pada dokumen yang sempat ia acuhkan.

Jari telunjuknya mengetuk meja dengan pikiran menimbang-nimbang apa yang sebaiknya ia lakukan. "Aku saja! Aku saja yang menyeretnya." menutup kasar dokumen di depannya dan beranjak meninggalkan ruangan dengan suhu rendah itu.

"Baik, Tuan." jawabnya begitu patuh dan dengan segera membuka pintu ruangan mempersilakan tuannya memimpin langkah.

"Ayo, Herdi! Sepertinya hari ini kita akan bersenang-senang." ajaknya dengan begitu antusias. Mungkin karena mainannya sudah lama hilang jadi sekarang ia begitu bersemangat.

Sudah lama laki-laki dengan rahang tegas dan mata sipit itu kehilangan mainannya—lebih tepatnya 'dihilangkan'. Memang kerap ia menganggap remeh nyawa seseorang, terlebih seorang penipu yang membawa kabur uangnya dengan dalih meminjam. Tidak peduli jika dia adalah seorang anak, suami, atau ayah dari seseorang. Terpenting, ia dapat bersenang-senang dan menghukum orang yang seenaknya menggunakan uangnya.

Selain karena keluarganya, ia juga ditakuti karena berada di struktur hierarki tertinggi dengan second gender-nya sebagai seorang Alpha. Saat ini masyarakat masih menganggap jika terlahir sebagai seorang Alpha adalah segalanya. Dipuja karena dianggap unggul, kuat, dan lebih segalanya dibanding Beta atau Omega. Nahas, tapi begitulah dunia.

Terdengar lebih baik, tapi tidak begitu juga. Terlahir sebagai beta kerap dianggap lebih beruntung daripada menjadi seorang omega. Karena di dunia ini, omega adalah kasta terendah, hanya 'penghibur' untuk Alpha atau Beta.

Alpha bebas, sesuka hati menebar feromon untuk 'membawa' pulang seseorang yang ia suka. Sementara Omega, tidak sengaja menebar feromon dicap sebagai penggoda. Miris memang.

....

Suara ketukan pintu terdengar seolah siap merebohkan rumah penyangganya. Siapa orang yang tidak memiliki sopan santun ini? Bagaimana orangtuanya mengajarinya bertamu? Berbagai pertanyaan memenuhi otak Biru. Baru saja ia dapat tertidur setelah kembali menangis mengingat Ibunya dan sekarang ia dibangunkan oleh orang yang tidak pernah diajarkan tata krama.

Dengan langkah gontai Biru memutar gagang pintu rumahnya yang mulai berkarat. Bingung adalah kata yang mampu menggambarkan wajah Biru saat ini. Siapa orang-orang berjas hitam di depan rumahnya?

"Ternyata seekor kucing." belum sempat Biru bertanya siapa mereka, muncul seorang laki-laki dengan aroma samar peppermint yang melewati—menerobos masuk rumahnya. "Di mana penipu itu?" tanyanya tidak lagi basa-basi dan tanpa permisi memeriksa satu persatu ruangan di rumah Biru.

"Siapa penipu? Maksudmu, aku? Aku tidak pernah menipu siapapun." jawabnya tegas dengan menatap marah seorang Alpha yang masih sengaja menebar feromonnya. "Apa yang kamu lakukan di rumahku?" Biru masih berdiri di ambang pintu, memperhatikan apa yang dilakukan Alpha gila di depannya dan sesekali berbalik melihat beberapa laki-laki berjas lain di depan rumahnya.

Alpha yang Biru tebak sebagai ketua geng itu, perlahan berjalan mendekatinya. Sepertinya acara memeriksa rumahnya telah selesai.

"Cantik." setelah menelanjangi tubuh Biru dengan tatapan matanya, Alpha gila itu tiba-tiba memuji Biru. Ternyata benar apa yang Biru pikirkan, Alpha di depannya benar-benar gila. "Ayahmu. Penipu yang kumaksud adalah Ayahmu, Abdi." setelah menyampaikan maksud kedatangannya Alpha gila itu duduk di kursi di ruang tamu kecil milik Biru.

Biru mulai menebak-nebak geng mana lagi tempat Ayahnya berhutang. Apakah Biru harus melunasi hutang Ayahnya lagi yang bahkan Biru sendiri tidak tahu ke mana uang itu dihabiskan? Tidak, Biru tidak mau. Ayahnya bahkan tidak pernah menanyakan bagaimana kabarnya kemarin, setelah 16 tahun meninggalkannya. Lalu, kenapa Biru harus membantunya?!

"Keluar! Aku tidak mengenal siapa Abdi. Dia bukan Ayahku, aku seorang yatim piatu. Ayahku meninggal sejak usiaku tujuh tahun dan Ibuku baru saja meninggal tiga hari yang lalu." jelasnya dengan sorot mata siap untuk menghajar Alpha gila di hadapannya.

"Kucing nakal ternyata." ucap Alpha gila itu ringan, kemudian beranjak meninggalkan rumah Biru. "Bawa dengan hati-hati, kucing kecilku bisa menggigitmu." perintahnya pada Herdi yang sedari tadi diam memperhatikan tuannya yang sedang menggoda mainan barunya.

....

AmertaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang