3. Desir

19 0 1
                                    

Sudah tiga hari Biru mendekam di rumah megah berisi orang-orang asing-terkhusus bagi Biru. Aktivitasnya sama, tidur-makan, tidur-makan. Hari ini Biru mencapai pucak kebosanannya. Ia harus bernegosiasi dan mencapai kesepatan dengan Alpha gila bernama Saki itu.

"Habiskan makananmu!" sudah menjadi rutinitas bagi Saki memperingatkan Biru untuk menambah porsi makannya. Tidak terlihat adanya penambahan berat badan pada tubuh Omega yang ia culik tiga hari lalu. Ke mana perginya makanan yang Biru makan? pikirnya.

"Kamu harus lebih sering makan agar tubuhmu memiliki lemak. Setidaknya sedikit lebih sedap dipandang." cecar Saki bertubi-tubi tepat menghujani Biru yang tengah menyuap mushroom soup ke dalam mulut sempitnya.

Keduanya-Saki dan Biru tidak banyak Bicara selama tiga hari tinggal di bawah atap yang sama. Biru lebih memilih diam atau mengangguk, mendengarkan perintah Saki untuk makan dan tambah makan. Biru akan makan di ruang makan seorang diri, sedangkan Saki sibuk sendiri dengan pekerjaannya. Sesekali Saki akan turun hanya sekedar memeriksa apakah kucing kecilnya menghabiskan makanannya atau bertanya apakah kamu menyukai makanannya? Biru-tentu saja bingung. Bukankah ia seorang tawanan?! Mengapa Biru diperlakukan seperti Tuan Muda yang harus dijamu?! Atau. . . .

"Kamu ingin menyembelihku?" tanya Biru setelah pemikiran aneh tiba-tiba lewat di kepalanya.

Saki menatap heran Omega di depannya. Bagaimana bisa otak kecilnya berpikir sejauh itu?! "Apa saja isi otakmu? Makanan yang kamu makan sepertinya lari ke kepalamu jadi otakmu berfantasi tidak masuk akal." pertanyaan tidak masuk akal dari Biru, ia pilih untuk diabaikan. Justru Saki menemukan kebiasaan unik Omega di depannya. Isi otaknya tidak bisa terbaca.

Biru membalas ocehan Saki dengan tatapan siap menebas dan bibir mengerucutnya. Sial, Saki harus kembali bekerja.

"Hei! Aku ingin pulang! Keluarkan aku!" maki Biru mengikuti langkah panjang Saki menuju ruang kerjanya. Lagi, Biru ditinggalkan begitu saja. Pintu ruangan di depannya kembali tertutup rapat. Biru berhenti menatap lurus pada pintu, entah apa yang ada di dalamnya hanya saja Biru enggan untuk menerobos masuk-setidaknya sampai hari ini.

....

"Masih belum ada perkembangan, Tuan." lagi, Herdi memberikan informasi yang sama sekali tidak ingin didengar oleh Saki.

Sejak penculikan tiba-tiba, Saki memerintahkan bawahannya-Herdi untuk mencari keberadaan Ayah dari Omega yang mungkin sedang mongomel di luar ruangannya. Tapi sudah tiga hari sejak dimulainya pencarian, Abdi tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Apakah laki-laki yang hampir menginjak usia setangah abad itu mati? Mustahil. Sepertinya Saki mulai tertular pemikiran-pemikiran aneh dari kucing kecilnya.

"Terus cari. Perintahkan lebih banyak anak buahmu untuk mencarinya. Sepertinya dia tahu jika kita sedang memburunya." tatapan matanya sekilas ia arahkan pada Beta yang sejak kecil menemaninya. "Bagaimana dengan latar belakang Omega itu?" tanya Saki memeriksa lembar per lembar dokumen yang dikirim sekretaris Ayahnya.

"Ibunya baru saja meninggal dan seperti ucapannya, Ayahnya sudah pergi sejak masih kecil." Herdi menjeda laporannya menunggu respon dari Tuannya. Nampaknya, Tuan Muda di depannya tidak begitu tertarik.

"Hanya itu?" tanya Saki tanpa memalingkan wajah dari bergumul dengan tinta yang tersebar memenuhi setiap lembarnya.

"Biru mencoba bunuh diri setelah menemukan mayat Ibunya. Dia tidak makan atau minum selama tiga hari sampai salah satu tetangga datang untuk memeriksa dan segera, Biru dilarikan ke rumah sakit." lapor tuntas Herdi pada Tuannya.

"Pantas hanya tersisa tulang dan kulit suka sekali dia tidak makan." sudut bibirnya terangkat mengingat kucing kecilnya sulit sekali untuk makan.

....

Sudah hampir setengah hari Biru berguling-guling di atas ranjang barunya. Bosan adalah kosakata yang paling sering ia ucapkan beberapa hari belakangan. Biru harus menyibukkan diri bagaimana lagi?

Kaki kecilnya ia bawa keluar kamar, mencari sosok berbahu lebar-menyebalkan. Biru harus bisa meyakinkan Apha gila itu untuk membebaskannya karena tidak ada untung menyimpan dirinya dalam kamar. Tubuhnya ia bawa ke sana kemari, tapi di setiap sudut rumah tidak juga Biru menemukan eksistensi Saki. Biru tahu!

"Saki!". diam. Setelah berhasil membuka kasar pintu ruang kerja Saki, Biru terdiam membisu di ambang pintu. Di sana Biru tidak hanya menemukan Saki, tapi beberapa laki-laki berjas hitam yang tengah menatapnya tajam seolah siap melemparkan tikaman. Apa setiap hari mereka mendatangi pemakaman? Otak kecilnya kembali ia ajak berpikir keras.

"Lakukan seperti apa yang aku perintahkan." suara rendah Saki memecah keheningan.

Tubuh kecilnya ia tuntun melewati laki-laki berjas yang satu persatu izin undur diri. "Biarkan aku pulang dulu. Aku harus mengambil beberapa pakaianku." pinta Biru dengan suara bersahabat berbeda dari hari-hari sebelumnya.

"Apa aku terlihat bodoh?" posisi tubuhnya ia ubah menghadap omega yang duduk di sofa jauh di depan. "Gunakan apa yang ada di lemari. Kamu juga sedang tidak harus menghadiri suatu acara." final Saki dengan membiarkan tubuhnya istirahat bersandar pada kursi.

"Tapi.... aku juga harus bekerja." kilah Biru tidak mau kalah.

Alpha yang sedari tadi Biru layangkan tatapan tajam hanya memperhatikan setiap ucapannya-biasa. Tanpa ada tatapan marah, kesal, atau sebal-benar-benar hanya datar.

"Hah...." Biru mengembuskan nafasnya kasar-lelah. Biru bangkit dari duduknya, memilih pergi adalah keputusan terbaik. Orang di depannya tidak mengerti bahasa Biru.

Sebelum berhasil menjangkau pintu, suara rendah terdengar dari belakang. "Kemarilah."

Biru abai. Ia tetap memilih membawa kakinya meninggalkan ruangan.

"Jangan sampai aku mengulanginya lagi." suara di belakang masih terdengar datar, namun berhasil membuat Biru terintimidasi.

Untuk yang kesekian kali Biru kalah. Ia memilih kembali berbalik dan menemukan sosok Alpha gila yang menatapnya tajam. "Apa?!"

"Kemarilah." perintah Saki dengan menepuk ringan pahanya.

"Tidak!" Biru tidak sudi.

"Apa aku harus mengulanginya?!" tatapan matanya benar-benar bisa menguliti Biru.

"Gila." sahutnya lirih, tapi cukup untuk didengar Saki. Dengan paksa ia bawa kakiknya berjalan menuju sumber celaka dan berdiri tepat di depan Saki. "Apa...." tanyanya menggantung.

Kaku. Tubuhnya kaku-membeku saat secara tiba-tiba tangan Alpha di depannya melingkari pinggangnya. Biru merasakan kepala Saki bersandar pada perutnya. Gila! Alpha ini benar-benar gila. Teriak Biru dalam hatinya. Biru harus melepaskannya.

"Sebentar saja. Tetaplah seperti ini sebentar saja. Aku lelah." pelukan pada pinggang kecil milik Biru semakin Saki eratkan. Nyaman? Tidak, Saki hanya butuh seseorang untuk ia dekap.

....

Biru kembali merebahkan tubuh, menatap langit-langit kamar yang mulai tidak asing untuknya. Kedua tangan menangkup pipinya yang terasa panas. "Dasar Alpha gila...." teriaknya frustasi dan membawa wajah bersemu merahnya tenggelam dalam kasur.

Sementara di seberang ruangan, Saki hanya mengangkat sudut kiri bibirnya "Apa kucing kecilku sudah mulai jinak?".

....

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AmertaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang