Welcoming Party

11 1 0
                                    

"Jadi, gimana rasanya hampir sepertiga tahun di sana?" kuutarakan pertanyaan itu di depan layar laptop yang menampilkan wajah sahabatku. Aku dan Widuri sekarang terpisah jarak dan waktu, 10.394 km dan 4 jam. Biasanya saat kami sedang ngobrol langsung begini, aku akan tidur setelah lewat tengah malam karena perlu menunggu dia pulang kerja untuk bisa berkabar saat tidak di akhir pekan.

"Nano-nano sih, jujur." Widuri menyunggingkan senyum tipis. "Kayaknya beberapa hal mulai mempengaruhi pola pikir aku. Semoga kamu masih mau berteman ya saat aku nanti pulang ke Indonesia." Aku tertawa mendengar responnya. Malam ini kalau tidak salah hitung, sudah yang ke 10 kali kami melakukan video call. Hampir satu pekan sekali kami menyempatkan waktu untuk berbagi kabar, update kehidupan, dan kadang menangis juga tertawa bersama.

"Tapi anyway, pekan ini aku mengambil kesimpulan kalau, jadi minoritas tuh seru meskipun menantang, Kadang ngerasa kesepian juga sih, karena jarang lihat wajah asia di sini," Widuri pernah bercerita, katanya orang Indonesia disana sangat sedikit sekali. Bahkan bisa dihitung jari. Termasuk juga orang-orang dari negara asia lainnya. Hari-hari pertama Widuri tinggal di Lithuania, ia berulangkali mengirimiku pesan untuk mengabarkan hal yang sama, "Lagi-lagi aku ketemu sama orang yang, dia nggak tau Indonesia itu dimana" lalu ditambah tiga emoticon wajah dengan ekspresi marah, menangis, dan tertawa. Sekumpulan emoticon sebagai bentuk perasaan gemas, yang kurespon dengan senyum simpul. Setelah itu biasanya akan kupastikan, apakah dia sudah membuka google maps dan menunjukkan dimana letak Indonesia.

"Anyway Sekar, aku punya cerita yang perlu kamu tahu deh," belum sempat aku merespon apapun, Widuri tiba-tiba berbicara dengan nada yang menciptakan rasa penasaran dalam diriku. Biasanya kalau begini, Widuri bisa saja hanya ingin bercanda. Meskipun beberapa kali pernah serius juga. Aku sangat susah membedakan kapan ia bercanda dan kapan betul-betul bermaksud serius.

"Awas ya kalau cuma pengen bikin aku penasaran," aku sudah hafal kebiasaan Widuri yang kadang pura-pura punya kabar penting. Ujung-ujungnya hanya tertawa melihat air mukaku yang kepo. "Cepet apa kasih tau,"

"Yang ini beneran 1000% serius! Aku lagi nggak pengen bercanda," Widuri terkekeh kecil. "Tapi kamu janji ya, nggak akan kenapa-kenapa dan gimana-gimana. Tadinya aku nggak mau kasih tau kamu, tapi aku merasa kamu perlu tau hal ini."

Aku tidak merespon perintah Widuri. Memasang posisi dan telingaku supaya bisa mendengar kalimat yang diutarakan sahabatku yang ngeselin tapi ngangenin juga itu.

"Jawab dulu, kamu mau berjanji kan,"

"Gimana aku bisa berjanji untuk suatu hal yang aku belum tau, Wid," ujarku gemas sekali.

"Iya juga, sih," Widuri sedikit meringis. "Okedeh, kuharap kamu baik-baik saja setelah mendengar ceritaku,"

Sejenak ia menghela nafas, "Kemarin habis rapat koordinasi sama Dubes, tiba-tiba ada salah satu kolega yang menanyakan seseorang ke aku. Biasalah, senior-senior di sini suka memastikan, 'kamu kenal orangnya nggak? Siapa tau dulu satu kampus atau komunitas'"

Widuri mengambil jeda. Aku menopang dagu dengan kedua telapak tanganku, dan siku yang menyangga di atas kasur. Kubenarkan posisi bantal yang sejak tadi menyangga tubuhku, supaya posisinya lebih nyaman untuk mendengar cerita Widuri.

"Nah, kolega aku itu nunjukin undangan nikah, Ma! Orang yang dia tanyakan itu adalah orang yang ada di foto undangan," mata Widuri sedikit terbelalak. Ia sedikit mengeraskan suaranya. Suara yang mendengarkan ekspresi terkejut. "Tebak siapa yang mau nikah?"

Aku mengernyitkan dari. Siapa kenalan aku yang kabar pernikahannya sampai diketahui orang-orang di Eropa sana, yang juga kenal dengan Widuri? Atau setidaknya, dikenal oleh Widuri?

Merayakan Patah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang