Arsyraina || 19

41 17 70
                                    

Written by HasrianiHamz

🎊🎊🎊🎊

Tepat hari ini, dua pekan sudah Rasyad tak pernah lagi mengabariku. Biasanya, aku tak pernah punya rasa malu untuk menghubunginya lebih dulu. Hanya saja, sejak malam itu, aku seolah disadarkan betapa kenak-kanakannya diriku. Ternyata, untuk laki-laki sekelas dirinya memang harus menjadi perempuan dewasa dan cerdas terlebih dahulu.

Hari di mana mahasiswa se-Indonesia turun berdemonstrasi menuntut kebijakan pemerintah yang sangat merugikan rakyat, itulah saat aku benar-benar mengenal siapa dan bagaimana Rasyad. Hingga saat ini aku terlalu takut mengganggunya bahkan sudah mengambil langkah mundur untuk sekadar mengagumi sosoknya.

Beberapa hari terakhir, aku mencoba menyibukkan diri dengan mengikuti kajian rutin di Pengurus Cabang. Tak masalah meski sebagian besar yang disampaikan oleh senior itu hanyalah curahan hatinya. Aku hanya tidak ingin terus berdiam diri di kos. Juga tak mau hadir di Sekret Komisariat, lagi.

"Jangan menjadikanku tujuan, Sera," kata Rasyad, "kamu harus punya tujuan lain, saya lebih suka kalau jadi perantara untuk mencapai tujuannya Sera."

Aku termenung. Di samping ada bang Haikal yang belakangan ini jadi sering menemaniku. Hanya sejak hari itu, ketika ia datang ke Cabang dan membawaku pergi dari sana. Hari ini pun sama, ia tiba-tiba datang saat kajian tengah berlangsung. Memanggilku keluar dan membawaku ke sini sekarang.

"Apa lagi yang kamu pikir? Masih mau ikut kajian di sana, kah?" Suaranya berhasil memecah lamunanku, tapi tak bisa membuatku menoleh padanya.

"Tidak," jawabku singkat.

Aku masih terlalu kesal. Kenapa semuanya harus seperti ini. Hanya karena aksi hari itu, aku putus kontak bersama Rasyad juga tidak ada tempat yang jelas hingga sekarang. Bukan karena aku tidak diterima, tetapi akulah yang kini bisa sedikit menilai. Karena aksi hari itu, aku jadi sedikit tahu lingkunganku selama ini. Pengurus Cabang yang terlihat baik-baik saja selama ini, ternyata tidak lebih buruk dari kandang binatang.

Berbagai jenis singa ada di sana, dari yang malas hingga yang culas. Masih ada beberapa yang garang, tapi ternyata sudah tak memiliki taring lagi. Dan mereka terus menjalani siklus hidup yang seperti itu, yang merasa kuat berperan sebagai pelindung padahal ia pun sudah renta. Mereka tidak sadar jika kepunahan telah mengintainya.

Ingin tertawa, tapi aku hanya bisa menertawakan diriku sendiri. Kak Haikal tega dan berani membawaku bergabung di Organisasi ini, padahal ia sudah tahu segala keburukannya. Aku bisa apa, katanya aku pun akan menjadi singa di kemudian hari. Namun, hari ini aku seakan diarahkan dan diserahkan ke sarang pemburu.

Saat aku mengadukan semua ke Rasyad tempo hari, aku masih selalu mendengar sarannya. Namun, hari ini aku seperti kehilangan sesuatu yang entah apa itu. Aku tidak sendiri, tapi rasanya begitu sunyi. Hari-hari sebelumnya, aku bahkan terbiasa dengan kesendirianku tetapi selalu merasa baik-baik saja.

"Ayo pulang!"

"Ya, bang Haikal duluan aja. Aku masih mau di sini."

Lagi-lagi, aku menjawabnya tanpa ingin melihat wajah menyebalkan itu. Semua karena dia, bukan? Karena ulah dia akhirnya aku terjebak di sini.

Aku tidak lagi peduli pada semua pesan yang disampaikan Rasyad padaku. Meski itu benar, tapi aku ingin kembali terbiasa seperti dulu. Menjalani hariku tanpa perlu memikirkan siapa pun.

"Jangan menilai seseorang berdasarkan perasaanmu, karena tentu hasilnya selalu berbeda. Coba kalau semua yang dilakukan oleh seniormu itu dilakukan sama orang yang kamu suka? Bagaimana tanggapanmu? Mungkin kamu akan memaklumi dan menganggapnya biasa saja karena memang kamu sudah sebucin itu."

Ya, benar kata Rasyad. Perlakuan kita memang akan selalu berbeda, tergantung pada siapa orangnya. Lebih tepatnya, semua tergantung perasaanmu pada orang itu.

"Ya sudah, aku balik duluan," ucap bang Haikal, lalu pergi meninggalkanku seorang diri. Rasanya benar-benar ....

"Sunyi," lirihku hampir menangis.

Aku menarik napas panjang seakan ingin mengirup udara sebanyak mungkin untuk mengisi kekosongan dalam diriku, tapi semakin kulakukan, semakin membuatku merasa sesak.

Aku rindu.

***

Hampir tengah malam, aku sudah ingin pulang tapi kali ini aku benar-benar menangis menyadari diriku ditinggal sendiri. Tidak punya kendaraan untuk pulang, entah mengapa bang Haikal setega itu.

Air mataku semakin deras, entah apa yang kutangisi di tempat ini. Aku tidak takut, hanya saja merasa air mata ini memang harus dikeluarkan. Sekali lagi kutarik napas dalam-dalam lalu kembali mengembuskannya kasar.

"Dalam situasi sulit juga kita bisa temukan solusi, tapi syaratnya harus tenang. Bagaimana pun sulitnya, coba tenangkan pikiran dulu karena kita hanya bisa berpikir dalam keadaan tenang."

Kata Rasyad, aku harus tenang.

"Oke. Aku harus tenang dulu," kataku pada diri sendiri.

Kucoba membuka ponsel, mencari kontak yang bisa ku hubungi untuk menjemputku di sini. Namun, siapa yang bisa melakukannya untukku? Aku tidak memiliki seorang pun teman yang bisa diandalkan.

"Kecuali ... Dito!" Aku berseru senang.

Ku percepat ibu jariku menggeser kontak, mencari nama Dito di sana. Apa pun kesibukannya, dia harus datang menjemputku sekarang juga.

"Assalamu'alai--"

"Wa'alaikumsalam, To. Jemput aku nah," kataku dengan cepat memotong ucapannya.

"Kau bisa gak bicara pelan? Tunggu aku selesai mengucap salam dulu, baru dijawab," tegurnya, tapi aku tidak peduli.

"Hm. Pokoknya aku tunggu sekarang."

Setelahnya, aku langsung mematikan sambungan telepon dan segera mengirim lokasiku. Balasannya singkat, ia hanya menyuruhku untuk menunggu sebentar karena akan mengantar pacarnya dahulu.

Beberapa menit, jangankan datang menjemputku membaca pesan balasanku saja belum. Apa Dito juga sudah setega itu?

Air mataku kembali keluar tanpa permisi. Mencoba manahannya, tapi aku malah terisak membayangkan diriku yang merasa dijauhi sekarang.

Baru saja kumasukkan ke dalam saku jaket, ponselku tiba-tiba berdeing lagi. Pikirku, pasti si Dito yang entah akan beralasan apa lagi. Aku pun mengabaikannya, masih ingin menangis seperti ini dulu. Jika mendengar suaraku yang sengau pasti dia hanya akan menertawakanku.

Sekali lagi, telepon itu berdering. Terpaksa aku mengusap bekas air mataku dengan cepat dan sedikit kasar. Berdehem sebentar untuk memastikan suaraku baik-baik saja. Paling tidak aku bisa beralasan flu jika ia masih mempertanyakannya.

"Hm ... kamu jadi menjemputku atau tidak? Kalau tidak jadi, biar aku jalan kaki aja," ucapku sedikit datar saat menjawab telepon, tapi detik berikutnya aku kembali menangis.

Merasa kasihan pada diri sendiri.

"Halo?"

Suara itu ...

Aku menurunkan ponselku melihat nama yang tertera di layarnya, bukan Dito.

"Tengah malam mi ini, mau ke mana lagi?"

Aku tidak menjawab. Suara itu membuatku ingin berteriak saat ini juga. Aku sangat merindukannya. Hanya beberapa hari, tapi ia serasa telah menghilang cukup lama.

"Sera? Masih bisa ji mendengar toh?" tanyanya yang disusul dengan kekehan di balik telepon.

Kenapa ia selalu begitu? Bisa menularkan kebahagiaan dan menyembuhkan sakit yang bahkan tercipta karenanya.

Hanya bisa tersenyum mendengar suaranya, aku harus berusaha melemaskan lidahku yang terlanjur kelu. Beberapa hari tanpa komunikasi ternyata bisa membuatku canggung seperti ini. Bagaimana jika nanti dia menghilang lebih lama dari ini?

**_**

Hukum dalam RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang