Halilintar terbangun pada tengah malam karena dia mendengar suara gumam tidak jelas disertai suara bersin yang terdengar berkali-kali. Kamar dalam suasana gelap saat itu karena lampu telah dipadamkan. Halilintar melirik pada ranjang di sebelahnya, melihat Gempa tertidur pulas dengan penutup mata dan penyumbat telinganya. Yang berarti sumber kegaduhan itu berasal dari ranjang di atasnya. Ranjang adik keduanya, Taufan.
Aneh karena Taufan bukan tipikal orang yang akan terbangun pada tengah malam dan membuat kegaduhan semacam ini. Halilintar menendang ranjang di atasnya dengan sedikit kekuatan, berniat menjadikannya semacam teguran agar Taufan lebih tenang melakukan apapun yang dia lakukan itu.
"Kak Hali? Maaf ya, Kakak pasti kebangun karena aku." Suara Taufan terdengar jelas di telinga Halilintar meski kembarannya itu tengah berbisik. Efek ruangan yang begitu sunyi mungkin.
"Kamu ngapain?"
"Kayaknya aku pilek kak, ingusnya nggak berhenti keluar." Taufan berujar. Suaranya memang terdengar sengau seperti seseorang yang tengah menderita pilek dan hidungnya tersumbat. Ini membuat Halilintar berdecak pelan, pasti ini karena Taufan tidak mengindahkan perkataan Halilintar sebelumnya tentang betapa pentingnya untuk selalu membawa jas hujan.
"Ini pasti karena kau hujan-hujanan kemarin. Padahal sudah kubilang untuk selalu membawa jas hujan. Kalaupun tidak punya, bukankah lebih baik menunggu hingga hujan reda?"
"Ais.. Kak Hali tolong jangan mengomel sekarang. Lebih baik jika kau berikan aku tisu lagi."
Halilintar berdecak kesal. Dia begitu malas untuk bangun dari tempat tidurnya, tetapi tak tega juga harus mendengar Taufan yang sepertinya tersiksa oleh hidungnya. Dengan enggan, Halilintar melangkah turun dari ranjang. Dia bergidik pelan ketika kakinya menyentuh dinginnya lantai kamar mereka. Suasana yang gelap membuatnya kesulitan untuk menemukan dimana letak tisu, Halilintar berjalan menuju tempat saklar lampu berada dan menyalakannya.
"Ah..?" Halilintar mendengar Taufan bersuara. Dia tak begitu memikirkannya saat itu, hanya meraih tisu dari atas meja belajar Gempa dan berniat melemparnya ke ranjang Taufan. Namun, dia segera menghentikan gerakannya karena pemandangan di depannya.
"TAUFAN!" Halilintar tak sadar dia berteriak, tetapi dia tak peduli pada hal itu.
Dia bergegas menuju ranjang Taufan, memanjat tangga dan meraih tangan adiknya.
Taufan menatapnya dengan wajah bercampur kaget dan kebingungan. Sementara Halilintar justru lebih banyak merasakan takut dan khawatir.
Sepertinya keributan yang Halilintar timbulkan telah membangunkan Gempa dan beberapa orang lagi di dalam rumah mereka. Halilintar dapat mendengar suara gemeresik yang ditimbulkan oleh salah satu kembarannya.
"Kak Hali? Kak Taufan?" Gempa memanggil. Masih mengucek matanya karena baru saja terbangun. Tetapi ekspresinya kemudian berubah ketika melihat ke arah Taufan. Sepertinya ekspresi Halilintar juga sama dengan milik Gempa sebelum ini.
"KAK TAUFAN! DARAH!" Gempa berujar dengan histeris. Dia melompat turun dari ranjangnya dan juga terlihat ingin memanjat ke ranjang Taufan. Sementara Taufan sendiri masih nampak kebingungan padahal darah dari hidungnya terus mengalir turun dan seolah tak ingin berhenti. Gempa meraih tisu yang sempat dibuang Halilintar ketika bergegas menghampiri Taufan, dia memberikannya pada Halilintar yang kemudian memberikannya pada Taufan untuk digunakan membersihkan darah. Tempat tidur Taufan penuh dengan darah, tisu-tisu yang sebelumnya digunakan Taufan karena alasan untuk ingusnya berhamburan di tempat tidurnya dan mereka semua memiliki warna merah. Baju, selimut bahkan bantal dan guling Taufan tak luput dari darahnya. Jika seseorang masuk dan melihatnya, mereka akan berpikir jika Halilintar dan Gempa mungkin telah memukul Taufan begitu buruknya sampai mengeluarkan darah sebanyak itu.
Dikala mereka masih dibuat khawatir oleh keadaan Taufan, pintu kamar mereka diketuk dan suara Ayah juga Ibu mereka terdengar. Gempa bergegas membukakan pintu bagi kedua orang tua mereka. Reaksi mereka mirip dengan reaksi Halilintar dan Gempa, kedua orang itu bergegas masuk ke dalam kamar dan mulai menanyai Taufan. Di belakang mereka, Halilintar dapat melihat Blaze dan Solar berdiri mengintip ke dalam kamar. Mereka terlihat sangat ketakutan saat melihat keadaan Taufan, yang untungnya segera ditenangkan oleh Gempa. Meski tentu Solar menangis dengan kencang karena berpikir jika Taufan dalam keadaan sekarat dan akan segera mati.
Mimisan Taufan berlangsung begitu lama dan tak berhenti. Khawatir sesuatu yang buruk terjadi, Ayah dan Ibu bergegas membawa Taufan ke rumah sakit untuk diberikan pertolongan secepatnya. Sementara Halilintar dan Gempa harus tetap tinggal di rumah dan menjaga adik-adik mereka yang terbangun karena keributan ini.
"Kak Upan nggak bakalan mati kan, kak?" Solar bertanya. Dia masih terlihat sangat sedih dan khawatir meski Gempa sudah membujuknya dengan banyak hal.
"Tidak. Itu hanya mimisan ya.. Kak Taufan pasti baik-baik saja."
"Tapi kak, Aze lihat di tv.. kalau orang sudah berdarah begitu bakalan mati. Kak Upan beneran nggak apa-apa?" Blaze bertanya. Tubuhnya gemetaran karena rasa takut dan khawatir. Halilintar berjongkok di depan adiknya, mengusap rambut Blaze, "Itu di tv dan itu hanya akting. Upan pasti baik-baik saja."
Meski Halilintar mengatakan demikian, nyatanya dia masih sangat takut sampai saat ini. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada Taufan? Halilintar hanya dapat mengirim doa sebanyak mungkin pada Allah dengan harapan Taufan akan kembali dalam keadaan baik-baik saja.
Fin
15 April 2024