matahari tenggelam

11 0 0
                                    

---

Jam sekolah telah berakhir, waktunya para murid kembali ke rumah masing-masing untuk merefresh otak juga mengistirahatkan fisik mereka. Begitu melangkahkan kaki keluar dari gerbang sekolah, Choseol segera memakai sepasang headset ke kedua telinganya. Menurutnya, mendengarkan musik adalah metode terbaik untuk menenangkan diri juga mengistirahatkan otak yang sedari pagi bekerja.

Alunan-alunan merdu dari lagu yang ia dengar, bisa menghangatkan hatinya. Choseol selalu bilang kalau "Musik adalah Pereda stres terbaik". Selain musik, Choseol juga menyukai hal-hal menenangkan lainnya seperti, menikmati hembusan angin beserta suara deburan ombak di sekitar pesisir pantai Jeju, memandangi bintang-bintang saat malam hari, atau pun menunggu salju turun di tempat favoritnya, tepatnya di dermaga tempat kapal-kapal nelayan berhenti yang kini sudah tidak terpakai lagi. Choseol selalu mendatangi tempat itu ketika ingin lari dari bujukan pindah ayah dan ibunya.

"Choseol!" teriak seseorang dari arah belakang Choseol.

Ia tersentak kaget, suara itu masih bisa di dengarnya karena headset yang ia pakai hanya sebelah kiri saja. Choseol lantas menoleh, melihat siapa yang memanggilnya barusan. Terlihat jelas seorang pemuda dengan seragam sekolah yang sama dengannya, berlari mendekat. Pemuda yang Choseol kenal.

"Jugwang?"

Pemuda bernama Jugwang itu lantas tersenyum lebar ketika sampai dihadapan Choseol. Nam Jugwang, pria pemilik senyuman menenangkan-kata Choseol, bertubuh tinggi semampai, iris mata coklat dan rambut hitam mengkilap dengan potongan middle part.

"Tadi aku menunggumu di gerbang, aku pikir kamu masih di dalam sekolah, tapi kata Miyeo kamu sudah pulang duluan jadi aku bergegas mengejar mu." jelas Jugwang dengan senyum yang tidak luntur di wajahnya.

Pembawaan ceria Jugwang selalu membuat Choseol gemas sendiri. Entah kenapa, ketika bersama dengan pemuda itu ia merasakan kenyamanan yang sebelumnya tidak pernah ia dapatkan. Jugwang juga menjadi salah satu dari hal-hal yang bisa menenangkan hati Choseol. Memang pertemuan pertama mereka tidak terlalu menyenangkan, namun ternyata pada akhirnya Chosel mampu menerima keberadaan Jugwang.

"Aku kan tidak menyuruhmu menunggu?," ucap Choseol heran, tidak biasanya Jugwang menunggunya. Biasanya juga mereka bertemu tidak sengaja ketika Choseol berjalan-jalan di pesisir pantai. Ataukah mungkin ada yang ingin ia bicarakan? yah, entahlah.

Choseol meneruskan langkah kakinya.

Jugwang menyesuaikan langkahnya dengan Choseol sehingga mereka bisa sejajar. Beberapa menit lenggang.

Jugwang akhirnya memutuskan untuk memulai percakapan. "Eum jadi, soal cincin mu waktu itu ak-"

Belum sempat menyelesaikan ucapannya, bibir Jugwang harus kontak dengan jari telunjuk Choseol selama beberapa detik. Alhasil ia terpaksa harus diam. Choseol juga sudah memasang wajah datar.

Chosel mendekapkan tangannya, "soal itu lain kali saja kita membahasnya, aku sedang tidak mood bertengkar denganmu! Lagi pula kau harus mencarinya di tempat saat aku jatuh waktu itu"

Jugwang terkejut, matanya memelotot tak percaya apa yang baru saja Choseol katakan. "HAH? KENAPA?!"

Sampai saat ini, Choseol masih kesal jika mengingat kejadian hari itu.

"CINCIN ITU PEMBERIAN NENEKKU NAM JUGWANG!" teriak Choseol dengan kesal di hadapan muka Jugwang.

Jugwang memundurkan salah satu kakinya, ia kaget dikarenakan jarak antara dirinya dan Choseol yang begitu dekat. Choseol yang menyadari hal itu, segera membenarkan posisi berdirinya dan kembali melangkah meninggalkan Jugwang.

Jugwang masih mematung di tempat, ia hanya memperhatikan Choseol yang melakah lebih dulu darinya. Mulutnya menganga kecil, tak percaya. Bisa-bisanya ia sedekat itu dengan Choseol. Padahal biasanya Choseol selalu enggan berdekatan dengannya.

Jantungnya seperti mau meledak saat itu juga.

Saat tersadar ia segera mengejar Choseol, dan kembali menyesuaikan langkah. Dia memperhatikan wajah kesal orang disampinya, menurutnya wajah itu terlihat lucu karena wajah gadis muda itu akan memerah ketika sedang marah. Tawa kecil tak bisa ia tahan ketika sedang memperhatikan wajah Choseol yang kian normal kembali.

Tawa kecil Jugwang masih bisa didengar Choseol, ia lantas langsung menatap sinis Jugwang. Dengan cepat Jugwang mengalihkan pandangannya ke arah langit yang sudah hampir berubah warna menjadi jingga.

Saat matahari tenggelam di langit Jeju memang sangat indah untuk dipandang.

"Matahari akan menyelesaikan tugasnya hari ini, tak lama lagi bulan yang akan berada di posisinya. Bukankah nasib mereka menyedihkan?" ungkap Jugwang tiba-tiba.

Choseol ikut menikmati langit yang kini sudah berubah warna. Matahari akan segera berlalu.

"Ya! kalau tiba-tiba matahari dan bulan berada di posisi yang sama akan jadi lebih mengerikan!" ujar Choseol sembari menepuk pundak Jugwang cukup keras.

Jugwang memegangi pundaknya yang menjadi sasaran telapak tangan Choseol. Lagi pula dia hanya berusaha membuat suasa menjadi lebih nyaman, kenapa tiba-tiba malah pundaknya dipukul.

"Aduh! aku kan ingin merubah suasana kenapa kamu malah menepuk keras pundak ku! dasar nona jadi-jadian!" balas kesal Jugwang.

"APA APA?!! KAMU INGIN MEMBALAS PUKULAN KU HAH?!" oceh Choseol lagi dan lagi.

Yah tampaknya tiada hari tanpa ribut bagi Choseol dan Jugwang. Mereka memang butuh waktu untuk bisa benar-benar akur. Tapi meski begitu, sebenarnya Choseol hanya malu ketika Jugwang berusaha mencairkan suasana menjadi romantis layaknya drama-drama di tv. Menurutnya itu terlalu berlebihan, dia juga kurang suka ketika harus menutupi pipinya yang memerah akibat malu. Jugwang pasti akan kembali menertawakannya sama seperti saat ia marah-marah tadi.

Jugwang kembali menatap matahari yang sedikit lagi akan bersembunyi disebalik luasnya hamparan laut. Momen-momen seperti inilah yang membuatnya merasa tenang, apalagi saat bersama Choseol. Gadis itu begitu berharga baginya. Terlepas dari masalah photochart Choseol, gadis itu pernah menyelamatkan ia dari depresi berat dan hampir nyebur ke dalam laut-niatnya mau bunuh diri, saat itu jugwang berada di tepi jurang keputusasaan dan memutuskan untuk mati saja, dari pada terus tersiksa dengan jalan hidupnya.

Namun kedatangan Choseol berhasil merubah pola pikirnya. Bisa dibilang, Choseol adalah seorang penyelamat. Dan kejadian photochart itu adalah hal yang tidak disengaja, Jugwang juga berjanji akan menggantinya.

"Menatap senja itu sangat menenangkan Seol, namun, ada hal yang menyebabkan hal itu menjadi menenangkan."

"Hal apa?" tanya Choseol singkat.

Jugwang kembali mengukir senyum manisnya, ia menatap Choseol dengan tatapan teduh seolah sedang mengekspresikan bahwa ia begitu senang berjalan di bawah sinar senja bersama dengan Choseo.

"Bersamamu" jawab singkat Jugwang.

Choseol menautkan kedua alisnya, ia tidak mengerti maksud ucapan Jugwang. "Hah?? maksudnya??"

Jugwang kembali menatap lurus jalanan kecil yang sedang ia lewati bersama Choseol, senyum masih melekat di wajah tampannya.

"Senja tak berarti apa-apa bagiku jika kamu tak ada di sampingku, Choseol" ungkapnya.

Hal itu membuat Choseol kaget. Bisa-bisanya dia menggoda Choseol. tanpa pikir panjang Choseol mempercepat langkahnya, berniat meninggalkan Jugwang sebelum pipi merah padamnya ditertawakan.

"Choseol! hey tunggu aku!"

"Choseol!"

Tanpa menoleh, menggubris, apalagi menjawab seruan Jugwang, Choseol terus melangkahkan kakinya. Aku harus lebih berhati-hati dengan pria ini sebelum dia membuat pipiku terbakar, hanya itu yang ada di pikirannya

"gadis lucu"

---

First Snow In JejuWhere stories live. Discover now