To Fall, To Fly

54 5 0
                                    

PERTANYAAN ITU terlontar tanpa pikir panjang. Manik birunya membulat lebar; rasa takut dan penasaran sekelibat tampak ketika seekor gagak bertengger di teralis teras apartemennya; mengamati perempuan itu lebih dekat dan dalam diam. Claire bertanya, kenapa dia datang menghampirinya. Kemudian, ia menunjuk tempat pakan burung, namun burung hitam itu kerap bergeming.

"Jawablah aku, wahai gagak," ucap perempuan itu datar, "bagaimana rasanya terbang?"

Menelengkan kepala, si gagak kemudian mengepakkan sayap mendekati si perempuan. "Akan kutunjukkan," jawab sang gagak, membuat si perempuan terbelalak.

Mengepakkan sayap, terdengar gemertak tulang seiring tubuhnya membesar. Sayap legamnya melengkung. Sang gagak membusungkan bulunya, menutupi si perempuan berambut jingga dengan bayang-bayang yang memanjang hingga dinding; menutupi separuh balkon. Kepala sang gagak menunduk dengan paruh besar yang sama hitamnya seolah siap melahap. Matanya memantulkan sosok Claire yang meringkuk ngeri.

Sang gagak tahu, bagaimana hari-hari perempuan itu berlalu. Dia melihat semuanya, dari kejauhan, tanpa berkoak menunjukkan keberadaan. Sang gagak mengamati apartemen kecil berbalkon asri, penuh bunga dan sayuran hidroponik. Setiap pagi, Claire menyapa mereka dengan senyum secerah mentari lalu menuangkan pakan burung ke wadahnya, mengamati para avían bercuit gembira dari balik jendela sembari melahap setangkap roti dan secangkir kopi.

Berangkat kerja, dia mengenakan rok sepanjang lutut dan kardigan; sesekali menggunakan boots atau sepatu flat, tergantung cuaca kota dengan tas lebar tersampir di bahu. Dagunya tinggi ketika ia pergi, namun tak jarang ia pulang dengan wajah tertunduk. Hari-hari di kantor tidak semenyenangkan biasanya; tak dihargai, dianggap bagaikan remah-remah roti. Sang gagak tahu, hati perempuan itu menciut pilu. Koleganya menyarankan untuk berhenti, namun Claire tentu tak enak hati.

Kian hari wajah si perempuan kian kuyu. Semangatnya bak mentari senja, tak lagi berpendar dan balkon kecilnya pun mulai menguning. Alih-alih melihat para burung sembari minum kopi, Claire kini menghalangi mentari memasuki kamarnya. Kebetulan saja, si perempuan duduk di teras yang kini penuh debu, dengan semangat meredam dan wajah lesu. Kebetulan saja, perempuan itu tengah melihat jauh ke bawah dari balkon. Orang-orang tampak bagaikan butiran pasir, riuh kota dan manusia di bawah sana seolah mengundangnya mendekat. Seolah memanggil, seolah menanti.

Alih-alih, sang gagaklah yang menanti.

Kepalanya menunduk dan paruh besarnya terkatup. Hening penuh keraguan mengisi udara di antara mereka. Merasakan ketakutan si perempuan, sang gagak mendekatinya, membiarkan tangan kecil si perempuan menyentuh kepalanya hingga gemetarnya tak lagi terasa. Claire kemudian melompat, menunggang dan mencengkram punggung sang gagak.

"Pegang erat," ujar burung berbulu selegam obsidian itu.

Lantas sang gagak mengepakkan sayapnya, membawa si perempuan pergi tinggi; menghadapi pemandangan kota yang tampak bak maket mahasiswa arsitektur. Claire yang awalnya memejamkan mata erat kini membukanya; menghadapi lanskap dari atas langit. Permukiman padat penduduk, distrik bisnis, hutan kota hingga aliran sungai membuatnya terpana sekaligus mencelos.

Oh, betapa kecil dirinya dibandingkan dengan kota; bahkan alam semesta. Dia mungkin salah membandingkan orang-orang dari atas apartemen dengan sebutir pasir. Pemandangan ini baru lebih tepat untuk disebut butiran pasir.

Biru langit berubah jingga, terpaan udara mengeringkan air mata. Sang gagak membawanya ke tempat yang tidak asing. Entah mereka yang mengecil atau jendelanya memang besar, dirinya yang belum dewasa tampak di balik sana bersama ibunya yang tampak senang melihat tumbuh kembang sang putri. Tangannya tak selebar sehelai daun; menggenggam batangan balok yang hendak ia susun menjadi menara.

The Book of Love and WanderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang