PART 1

30.9K 129 1
                                    

Sebenarnya udara di dalam kamarku tak begitu panas, bahkan AC pun menyala sedari tadi. Tapi entah kenapa keringat justru terasa membasahi tubuhku, keringat dingin lebih tepatnya. Om Zaidan masih berdiri mematung di hadapanku, beberapa saat lalu pria berusia 45 tahun itu sengaja menutup pintu kamarku dari dalam, sebelum kemudian menyusul menutup tirai jendela kamarku juga. Dadaku makin berdegup kencang bak genderang perang yang tertabuh kala perlahan Om Zaidan melangkah mendekati sisi ranjangku. Aku kikuk tak tau apa yang harus aku lakukan,

"Om boleh...?" Tanyanya seraya melirik spasi di antara tempatku duduk di sisi ranjang. Aku terdiam, tapi gerakan kepalaku yang mengangguk lemah memberi tanda sebuah persetujuan.

Pria itu duduk tepat di sampingku, aroma parfum maskulin langsung bisa aku cium dari jarak sedekat ini. Wangi yang menenangkan. Ya Tuhan! Kenapa harus malam ini sih? Kenapa Om Zaidan mendatangi kamarku saat aku sama sekali tak mempersiapkan diri terlebih dahulu? Setidaknya aku bisa berdandan terlebih dahulu, tidak seperti sekarang yang hanya mengenakan kaos bola AC Milan tanpa lengan dan celana pendek sebatas paha. Aku punya kostum yang lebih layak dibanding ini! Seingatku di dalam lemariku ada beberapa potong lingerie yang entah kapan terakhir kali aku pakai.

"Kenapa jadi diem aja sekarang?" Ujar Om Zaidan memecah keheningan di antara kami berdua.

"Emmchh..I-Iya Om..Eh..Anu...I-Itu.." 

TOLOL! 

Kenapa aku jadi gagap seperti ini? Om Zaidan tersenyum, sumpah ini senyum terindah yang pernah aku lihat sepanjang hidup! Beruntung satu tanganku menahan berat tubuhku di atas ranjang, jika tidak, bisa saja aku langsung ambruk ke dalam pelukannya. Lah? Pelukannya? Kenapa jadi ngarep banget kayak gini sih???

"I'ts okey kalo Hanna mau Om pergi." Aku tertunduk setelah tanpa sadar mengagumi senyum Om Zaidan.

Namun tiba-tiba aku merasakan sentuhan lembut jemarinya di pelipisku, Om Zaidan merapikan rambutku yang sedikit berantakan. Dadaku makin bergemuruh, apalagi saat  pria berpostur gagah itu semakin merapatkan tubuhnya padaku.

"Kamu mau Om pergi...?" Tanya Om Zaidan tepat di dekat telingaku. Bulu kudukku seketika meremang, begidik bukan karena ketakutan, tapi sensasi sensual yang begitu lama aku bayangkan selama ini.

"Ja-Jangan Om..." Balasku spontan.

"Jangan apa?" Suaranya yang dalam begitu dekat di telingaku.

"Ja-Jangan pergi..."

Om Zaidan makin merapat, ucapanku barusan mungkin baginya adalah lampu hijau untuk melanjutkan tindakan yang lebih jauh lagi. Benar saja, Aku merasakan bibirnya sudah menempel di leherku, menciumiku penuh kelembutan. Aku luruh tanpa daya, sentuhan bibirnya memporak-porandakan rasa malu serta segala ketabuan yang harusnya aku jaga sebagai seorang wanita.

"Ouucchhh...Om...." Lenguhku manja.

Om Zaidan bukan pria tua kolot yang tak tau apa-apa soal sex, aku bisa menilainya dari caranya menyentuh tubuhku. Lembut dan sama sekali tak menunjukkan gestur pemaksaan, justru tubuhku dibuat terasa begitu nyaman hingga memasrahkan segalanya. Om Zaidan kembali menggeser tubuhnya lebih dekat ke arahku, kemudian tanpa ragu lagi dia memeluk tubuhku.

Kami masih diam dengan tubuh berpelukan, sampai  mulai merasakan kehangatan menyelimuti tubuh kami. Om Zaidan melepaskan pelukannya, dan kini kami saling berpandangan. Perlahan-lahan seperti ada medan magnet yang saling menarik maka wajah kami saling mendekat. Dan bibirnya mengundang untuk di kecup. Tanpa menunggu lagi segera kulumat bibirnya. Tak kalah bernafsunya Om Zaidan membalas ciumanku.

Tanganku memegang belakang kepalanya dan menekannya agar ciuman kami semakin melekat erat. Perlahan lenganku merayapi dada dan bahunya yang kokoh ketika ciuman kami bertambah liar, sampai kami merasa melayang dan hilang kendali dalam gairah yang membara. Kami mengerang, lidah kami saling membelit, saling menjilat, saling bertukar liur satu sama lain.

PAK KOSKU DUDA KERENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang