00

4 0 0
                                    

Senandung riang bergema di ruang luas bercat putih, angin sejuk dari taman merebak masuk membawa aroma segar lewat jendela kaca yang terbuka lebar. Terlihat seorang remaja laki-laki berambut coklat terang tampak mematutkan diri di depan cermin dengan mengenakan seragam khas SMA, kemeja putih dipadu celana abu-abu panjang. Dia tersenyum lebar menampakkan gigi gingsulnya.

"Hari ini gue siap ketemu pujaan hati gue," ucapnya sembari menenteng jaketnya.

Pintu dibuka, seorang perawat muda masuk mendorong troli penuh alat medis dan obat-obatan, dia tampak menaikkan satu alisnya, bertanya, "mau kemana kok rapi banget?"

"Mau sekolah dong," ucapnya riang sembari melangkah menuju pintu.

Perawat itu segera menahan tangannya. "Eh, kamu belum diijinin keluar, kan."

"Selagi gue masih ada waktu, gue mau seneng-seneng dulu. masa 19 taun hidup nggak pernah ngapa-ngapain, rugi dong," ucapnya, seraya terkekeh, "nanti gue kesini lagi, nggak bakal kabur kok, tenang aja."

"hei, Eki!" perawat itu berteriak, namun pemuda itu tak menggubrisnya.

****

Duduk termenung di halte busway sembari ditemani lagu favoritnya menggunakan headset, perempuan cantik berambut panjang itu seraya menghampiri bus yang baru saja tiba. Ia segera menempatkan pantatnya di kursi pojok belakang menghadap jendela. Karena masih pagi, banyak kursi yang masih kosong.

Bus berhenti di halte berikutnya, mengangkut beberapa penumpang. Seorang pria berjaket biru duduk di samping perempuan itu, tiba-tiba pria itu mengambil satu headset milik perempuan itu dan memakainya.

Perempuan itu pun seketika menoleh kaget. "Heh, apa-apaan lo!" bentaknya.

Pria itu balik menatapnya, dengan wajah tak berdosa menampilkan senyum lebar khasnya menghiasi wajah. "Hai, lama nggak ketemu."

Tatapan perempuan itu tiba-tiba melemah, sorot tajamnya meluruh, bibirnya mendadak terkatup rapat. Dia berbisik pelan, "Eki?"

Laki-laki itu mengangguk kecil, tangannya terangkat untuk mengusap kepala perempuan di sampingnya. "Iya, Iva Azura, gue Eki."

Perempuan yang dipanggil Iva itu tiba-tiba menunduk, cukup lama di posisinya, dia bertanya, "kemana aja selama ini?"

Pria bernama Eki itu kemudian bersandar di kursi. "Yah, lo tau kan, nyokap gue pindah-pindah terus, jadi mau nggak mau gue mesti ngikut."

Perempuan itu hanya diam menunduk. Tiba-tiba pria itu menundukkan kepalanya sejajar dengan wajah Iva sangat dekat, dengan bodohnya dia bertanya, "nangis ya?"

Dengan segenap hati perempuan itu pun memukul kepala Eki dengan tinjunya. Pria itu seketika mengeluh kesakitan. Sembari memegang kepalanya dia berkata, "lo nggak berubah ya, suka mukul. Aduh, sakit banget lagi."

Iva memalingkan wajahnya, bergumam, "lagian, ngapain coba deket-deket gue."

"Gue kan cuma nanya!"

"Kan bisa nggak deket-deket!"

"Emang kenapa kalo deket-deket!?"

Perempuan itu tiba-tiba terdiam, bibirnya kembali menutup, dia memalingkan muka menatap keluar jendela.

Eki menyikut lengannya. "Kenapa diem? Habis baterai?"

"Diem, gue nggak mau ngomong sama lo," katanya dengan nada ketus.

Eki tertawa dan masih mencoba menggodanya. Tanpa disadari seorang laki-laki memperhatikan mereka, wajahnya tampak menebal dengan rahang mengeras.

"Bisa nggak jangan gangguin gue terus!" tukas Iva sambil mendorong jidat Eki dengan jarinya.

"Nggak bisa, selama gue masih hidup gue bakal gangguin lo terus," celotehnya.

Tiba-tiba laki-laki dengan rahang tegas itu mencengkeram bahu Eki sambil berkata dingin, "berhenti gangguin dia, atau lo mau gue pukul sampe mampus."

"Kenapa? Lo suka sama dia?" Eki menunjuk Iva dengan jari tengahnya.

"Bukan urusan lo," katanya sembari mengusap hidungnya dengan jari tengah.

Perseteruan kedua remaja itu semakin memanas dengan saling melempar tatapan tajam, tiba-tiba bus mendadak oleng cukup ekstrim, membuat laki-laki rahang tegas yang kebetulan tidak berpegangan itu seketika pantatnya terjatuh menduduki Eki dan kepalanya terdampar di paha mulus Iva. Semua penumpang serempak menjatuhkan rahangnya.

Dengan wajah merah padam bak kepiting rebus laki-laki bernama Omi itu langsung bangkit tanpa sepatah katapun, begitu juga dengan Eki dan Iva. Dan kebetulan sekali mereka bertiga juga turun di depan sekolah yang sama.

Sembari mengantongi tangan di sakunya, Omi berjalan seperti tak terjadi apa-apa. Eki dan Iva saling bertatapan, mengangguk lantas berlari menerjang laki-laki berahang tegas itu, masing-masing memiting kepala dan meninju perutnya.

"Nggak usah sok cool lo anjeng!" teriak mereka berdua serempak.

Omi, laki-laki tinggi rupawan itu pun babak belur dibuatnya.

surat untukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang