Part 1

13 2 0
                                    

Namaku Bima, dan cerita ini tentang aku dan Wulan. Gadis yang, tanpa sengaja, telah menyewa sebuah ruangan tetap di sudut kepala dan hatiku.

Wulan itu berbeda. Dia memiliki semacam aura yang tidak bisa kutemukan di orang lain. Setiap kali dia tersenyum atau tertawa, rasanya seperti ada sinar matahari yang khusus menyinari hari-hariku yang biasanya lebih kelam dari malam.

Keluarganya, ah, keluarganya itu seperti lukisan indah yang ingin selalu kudatangi. Harmonis, penuh canda dan tawa, sangat berlawanan dengan keluargaku yang lebih sering terasa suram.

Jadi, bisa kubayangkan mengapa ide tentang keluarga seperti milik Wulan bisa terasa begitu menarik. Itu seperti oasis di tengah padang pasir yang tandus—tempat yang selalu ingin kudatangi untuk sekedar menenangkan jiwa.

Dalam kepala ini, di salah satu sudutnya, telah kususun rapi setumpuk luka dan kekecewaan yang kualami selama bertahun-tahun. Namun, di sudut lain, aku membangun ruang khusus untuk Wulan. Setiap kenangan bersamanya, setiap detail tentangnya yang berhasil kuingat, aku simpan di sana. 

Dan di sinilah letak ironisnya: semakin aku mengenal dia, semakin besar pula obsesiku. Awalnya, aku pikir dia juga menyukaiku. Cara dia menatapku, cara dia tertawa lepas di lelucon-lelucon konyolku, aku kira itu adalah tanda-tanda bahwa ia juga memiliki rasa yang sama sepertiku. Tetapi, nyatanya tidak.

~~~

Sudah lama aku kenal dia, tapi entah kenapa aku selalu ragu untuk memulai pembicaraan lebih jauh. Biasanya kami hanya ngobrol sebentar saat aku datang ke warungnya untuk belanja keperluan dapur, atau kadang dia yang memulai tanya-tanya tentang keadaan nenekku. Itu saja, nggak lebih.

~~~

Aku mulai cerita ya, jadi gini, aku tuh udah capek banget sama kehidupan yang kayak gini terus. Kayak ada beban yang nggak pernah ilang dari pundak.

Kadang aku pengen banget menyerah, tapi ya gimana, aku masih terus bertahan. Kayaknya ada semacam keharusan buat terus berjuang, meskipun jujur aja, hati ini rasanya udah lelah banget.

Aku bekerja itu bukan karena aku senang atau mau, tapi lebih karena aku harus. Kebutuhan hidup nggak akan cukup kalau aku cuma diam aja.

Apalagi aku sama nenek tinggal berdua, dan kami cuma punya kebun karet yang hasilnya ya gitu deh, nggak cukup buat biaya sehari-hari.

Dalam hidupku, aku benar-benar kerja keras dengan melakukan apa saja yang dibutuhkan orang. Misalnya, ngarit, yang sebenarnya artinya mencari dan memotong rumput atau pakan ternak buat sapi dan kambing. Itu udah jadi rutinitas.

Lalu, nggak cuma itu, aku juga sering ngangon, alias menggembala kambing, yang mana itu juga butuh kesabaran dan tenaga ekstra.

Selain itu, aku juga pernah bantu orang panen ikan di kolam. Jangan bayangin itu kerjaan enak ya, soalnya memanen ikan itu ternyata butuh tenaga ekstra dan nggak semudah yang dibayangkan. Banyak tantangan dan risiko yang harus dihadapi.

Dan soal memanjat pohon, itu udah sering banget aku lakukan. Dari pohon kelapa, duren, jengkol, sampai yang paling menantang adalah pohon Pete. Itu loh, pohonnya yang gede banget dan buahnya banyak yang ada di ujung-ujung. Aku pernah nyaris 'kapok' gara-gara hampir jatuh dari pohon Pete itu. Deg-degan banget pokoknya!

Oh ya, aku juga pernah kerja sebagai tukang, walaupun kerjaku lebih ke arah ecek-ecek. Tapi percaya deh, capeknya itu luar biasa, sampai-sampai punggung rasanya mau keretek-keretek. Banyak orang mungkin nggak sadar berapa banyak tenaga yang aku keluarkan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.


~~~

Duh, kadang aku tuh bener-bener sedih liat keadaan diriku sendiri. Badanku rasanya udah gak kuat lagi, capek banget. Bukan cuma fisik aja yang terasa lelah, tapi mental ku juga kayaknya udah hancur berkeping-keping.

Pikiranku terus-terusan kena hantam oleh badai yang bukan main kencengnya, sampai-sampai hati dan pikiranku ini rasanya udah berantakan banget.

Setiap hari tuh kayaknya selalu ada aja masalah yang muncul, satu belum kelar, eh sudah datang yang lain. Bisa dibilang, hampir tiap malam aku tuh bertanya-tanya dalam hati, "Ini kenapa sih harus sesakit ini?" 

Rasanya kok ya gak adil gitu. Apa iya semua orang juga ngerasain hal yang sama seperti aku? Atau aku ini yang terlalu lemah menghadapi semua ini?

Kadang aku juga mikir, mungkin aku harusnya lebih kuat, atau mungkin aku harusnya bisa lebih tabah. Tapi, ya gimana dong, kalau sudah benar-benar di ujung batas kesabaran? Semua orang pasti ada batasnya, dan kayaknya aku ini sudah mendekati batas itu.

Setiap kali melihat diriku di cermin, yang ada hanya rasa sedih yang mendalam. Pengin rasanya aku bisa lebih baik lagi, bisa lebih bersemangat menjalani hari. Tapi, apa daya, kadang kondisi hati dan fisik ini gak mendukung.

~~~

Kadang aku mikir, hidup ini keras banget ya. Aku gak minta dilahirkan, tapi sekarang aku ada di sini, dan rasanya seperti aku harus berjuang keras setiap hari cuma buat dapetin sedikit kedamaian.

Banyak kali aku berpikir, mungkin aku harus jadi orang baik banget supaya Tuhan cepet manggil aku, biar semua penderitaan ini berakhir. Tapi setiap kali pikiran itu muncul, aku langsung inget nenek.

Nenek... dia alasan utama aku masih tetap bertahan. Dia yang selalu ada buat aku, yang mengasuh dan mendukung aku tanpa lelah. Gimana hati ini tega ninggalin dia sendirian?

Aku gak bisa, gak sanggup bayangin dia sendirian di sisa hidupnya tanpa aku yang merawat dan menemani hari-harinya.

Kalau soal ayah, ah, aku bahkan gak mau buang banyak kata. Semua yang pernah dia lakukan cuma nyakitin hati. Perasaan marah dan kecewa itu kadang muncul begitu kuat, sampai-sampai kata-kata kasar "bajingan, bangsat, keparat, babi, anjing," terasa masih kurang buat menggambarkan rasa sakit yang aku alami.

Tapi, aku coba untuk gak terlalu banyak mikirin itu semua. Semakin aku pikir, semakin aku tenggelam dalam kemarahan yang gak ada habisnya.

Dan ibu, ini mungkin luka yang paling dalam. Kenapa harus repot-repot melahirkan aku jika pada akhirnya, aku cuma dianggap beban yang harus dibuang? Rasanya sakit, tau gak?

Diabaikan, ditolak, dilempar jauh-jauh dari hidupnya. Kadang aku bertanya-tanya, apa salahku? Apa kurangnya aku sampai-sampai dia gak bisa menerima aku sebagai bagian dari hidupnya?

Setiap malam sebelum tidur, aku berusaha keras buat nemuin sedikit kedamaian, buat ngelupain semua sakit hati yang menumpuk. Tapi, itu gak mudah. Rasanya seperti ada beban berat yang gak pernah bisa lepas. Namun, di balik itu semua, aku tahu aku harus kuat.

~~~

Sebenarnya, jujur aja ya, aku itu takut banget. Aku nggak ngerti kenapa aku bisa takut seperti ini. Yang aku mau sekarang ini adalah bisa menjalani hidup dengan tenang aja, tanpa harus pusing memikirkan masalah ekonomi atau dengerin kata-kata orang lain yang kadang bisa menyakitkan hati. Aku cuma ingin merasa damai dan bebas dari semua tekanan itu.

Hati yang Tak TerdengarWhere stories live. Discover now