1. Antara pertemuan dan perpisahan

80 22 40
                                    

Tarian pepohonan yang terhempas angin lembut, seolah berusaha menghibur tangisan duka seorang gadis yang meringkuk di sudut kamar sendirian. Air mata membanjiri pipi lembutnya, ketika hati selembut sutra dipaksa menerima kenyataan pahit yang mendalam. Hari ini tepat satu hari setelah kematian neneknya. Ia menangis tanpa suara, hanya bersandar pasrah sambil memperhatikan sekeliling yang menyimpan banyak kenangan indah.

Sedari kecil sudah terbiasa hidup bersama sang nenek setelah orangtuanya dinyatakan meninggal dalam insiden kecelakaan pesawat beberapa tahun yang lalu. Menghapus kebahagiaan dan canda tawa yang biasanya terdengar, kini menyisakan kesunyian dan kegelapan di hati Davira Pratista yang sekarang menginjak usia sembilan belas tahun.

Suara derit pintu depan terdengar seiring bunyi kaki menapak yang semakin terasa dekat. Kenop pintu kamar berputar sebelum pintu terbuka lebar sehingga menarik perhatian Davira untuk melihat sosok yang mengenakan jas rapi di hadapannya.

Mata gadis itu masih sembab dan napasnya sesenggukan, tapi setidaknya ada keinginan untuknya yang langsung bangkit dan berlari memeluk pria jangkung tersebut.

"Kak, nenek udah gak ada." Davira menatapnya putus asa.

Bagaikan jantung yang jatuh ke perut, pria itu dapat memahami penderitaannya. Tetapi ia hanya bisa memeluk dan mengusap kepala adiknya untuk mencoba menenangkan jiwa yang lara.

"Aku tahu, aku tahu, Rara," ucap Afzam meletakkan dagu ke puncak kepala Davira. "Aku ke sini untuk menjemputmu, kamu mau tinggal bersama kakak, kan?"

"Bagaimana kalau bersamaku saja?" sahut Jivan yang tiba-tiba datang dan menarik tangan Davira sehingga terlepas dari dekapan Afzam.

Davira terlihat sangat terkejut dan bingung, terlebih saat ia juga melihat kakaknya yang lain baru saja datang sembari masih mengenakan jas putih.

"Maaf, aku sedikit terlambat." Farrel tersenyum manis saat melihat adik perempuannya. "Bagaimana kabarmu, Rara? Aku menyesal karena tidak bisa datang kemarin."

Davira terlahir sebagai anak keempat dari lima bersaudara. Awalnya mereka tinggal bersama di rumah ini. Namun, setelah menginjak usia dewasa, para kakak sudah mulai memiliki kehidupan masing-masing dan memutuskan untuk merantau ke kota. Rumah ini berbatasan antara desa dan kota sehingga tidak menyulitkan mereka untuk pergi. Bahkan adik bungsu ikut bersama kakak kedua karena dulu sempat bertengkar dengan nenek. Kebencian dan kemarahan adik bungsu selalu membebani perasaan nenek selama bertahun-tahun, jadi tidak heran jika Davira sering melihat neneknya diam-diam menangis di kamar karena merindukan semua cucunya.

Seorang pemuda berlari masuk dan melewati Farrel begitu saja. Wajahnya tidak menunjukkan belasungkawa, malah bersikap arogan sambil mengacak-acak rambut dan menatap kakak perempuannya. Tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak saat melihat mata sembab Davira. "Yah, kok nangis?" Suaranya terdengar mengejek.

Napas Davira seketika tercekat dan matanya kembali memanas, ia menarik napas dalam-dalam, mengepalkan tangan sambil berusaha menahan tangis. "Darimana saja kalian? Setelah bertahun-tahun menghilang lalu sekarang datang begitu saja setelah nenek meninggal?" Ia merasa kecewa dan patah hati. "Apa kalian sudah melupakan nenek? Kalian tidak pernah sekalipun pulang untuk menjenguk kami, bahkan kalian tidak akan tahu betapa menderitanya kami di sini. Nenek setiap malam menangis karena merindukan kalian, dia ingin bertemu tapi tidak ada satupun yang membalas panggilanku!" Ia menekankan lima kalimat terakhir sebagai bentuk kekecewaan. "Kalian semua egois!" Tangisnya pecah ketika ia menundukkan kepala.

Keempat pria itu terdiam membisu ketika melihat emosi saudarinya yang tiba-tiba meledak. Afzam berusaha menjadi sosok kakak sulung yang baik, dengan ragu mengusap punggung Davira lalu menariknya ke dalam dekapan hangat. Merasakan wajah adiknya yang tenggelam sambil meluapkan segala kesedihan yang cukup menyakitkan.

Dikara - Antara Cinta Dan Bodoh Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang