"Farrel?" Seorang gadis berjas putih dengan lembut menyodok pipi rekannya, mengamati lelapnya sang kelopak netra. Dirinya melihat kepala Farrel yang bersandar letih di meja, mengamati mata yang bergetar sebelum perlahan terbuka.
"Uh... Vian, jam berapa sekarang?" racau Farrel mendorong punggung hingga bersandar pada kursi. Matanya masih sayu dan suaranya serak.
Elviana merupakan dokter spesialis dalam, sesekali ia datang untuk memastikan sesuatu. Matanya menatap sang pria dengan prihatin. "Kamu kelelahan loh, mau minum kopi dulu?"
Farrel hanya tersenyum ramah lalu menatap matanya. "Gak perlu, aku gak suka kopi."
Elviana duduk di kursi yang ada di dekatnya, matanya tidak pernah lepas dari Farrel. "Pasien yang datang melonjak lagi, ya? Sekarang emang lagi musim pancaroba. Kamu gak lupa minum vitamin setiap hari, kan?"
Farrel mengangguk. "Aku gak pernah lupa, vitamin itu cukup penting. Bagaimana denganmu? Berapa pasien yang kamu dapat?"
Alviana tersenyum lebar. "Tidak terlalu banyak, haruskah aku iri padamu?"
Farrel memejamkan mata dan menggeleng. "Jangan seperti itu, aku malah berharap mereka tetap sehat. Gaji menjadi dokter memang menarik minat banyak orang, tapi..." Ia teringat pada mendiang neneknya. "Akan mengecewakan jika kita tidak bisa menyelamatkan orang yang kita cintai, meski kita seorang dokter profesional sekalipun."
Wanita itu sekedar mendengarkan, ia masih memegang beberapa rekap medis milik pasien dan berpikir sejenak. "Farrel..." Ia sedikit ragu untuk melanjutkan.
Suasana ruangan itu mendadak hening, hanya terdengar suara napas pelan dari keduanya. Netra Farrel tetap menatap wajah wanita yang menunduk tersebut, seolah mempelajari ekspresi dan sikapnya. Melihat Alviana yang menundukkan kepala menahan pipi yang memanas.
"Bisakah kita mengobrol di kafe dekat rumah sakit? Ada hal yang ingin aku katakan," ujar Alviana menatapnya tangguh dengan suara yang semakin meninggi setiap menuju akhir kalimat.
Farrel sedikit tersentak lalu mengernyit heran, bingung tetapi juga penasaran. Ia tersenyum ramah lalu mengangguk. "Baiklah, ayok pergi." Dia bangkit sambil melepas jas putihnya dan mengambil jaket hitam yang tergantung di sudut ruangan. "Bagaimana hubunganmu? Aku dengar kamu sudah bertunangan dengan seseorang, apa dia membuatmu nyaman?"
Alviana terkekeh. "Itu hanya rumor, Farrel. Para perawat terus mengatakan omong kosong di waktu luang mereka."
"Oh, ya? Aku kira itu benar." Farrel mulai melangkah keluar diikuti dokter cantik itu dari belakang.
Awang-awang bercat hitam dengan cipratan bintang menghiasi waktu malam mereka, suasana ramai para pejalan kaki dan kendaraan yang berlalu lalang mengisi bumi dengan kegiatan para penduduk kota. Semilir angin segar memainkan rambut sepasang dokter yang hendak melepas penat. Sesekali, Alviana mencuri pandang pada Farrel. Memperhatikan lesung pipinya setiap ia tersenyum, bulu mata lentiknya, bibir lembutnya dan sikapnya yang selalu terlihat tenang.
Farrel memejamkan mata sejenak dan sedikit mendongak, menikmati hembusan angin yang menenangkan. Dedaunan dari pepohonan yang berjajar di pinggir jalan berjatuhan menghujani mereka, menambah kesan romantis seperti dalam drama romansa.
Tetapi ditengah itu, dua orang preman mendadak menghadang mereka. Salah satunya adalah pria dan yang lainnya wanita. Alviana terkesiap dan langsung bersembunyi di belakang Farrel.
"Minta duit!" Wanita preman itu menagih tanpa kenal malu.
"Farrel, kamu bisa lakuin sesuatu, kan?" bisik Alviana cemas.
"Ya," seru Farrel tersenyum manis. Ia merogoh dompet untuk mengeluarkan selembar uang, tapi preman itu merebut semuanya. Farrel sedikit tersentak lalu tersenyum kaku. "Maaf, tapi di dalamnya ada KTP dan kartu penting lainnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dikara - Antara Cinta Dan Bodoh
Dla nastolatkówAntara hal yang membelenggu takdir dunia. Sebuah cinta rumit dengan lancang menikam hati yang pilu, memanfaatkan kebebasan dan kepercayaan hanya untuk kesenangan semata. Ketulusan seseorang dipertaruhkan dalam berbagai situasi. Akankah satu orang d...