Mayat

129 17 12
                                    

Mayat berdarah seorang pemuda tergeletak di depan rumahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mayat berdarah seorang pemuda tergeletak di depan rumahnya.

Odasaku memperhatikan sekitar: bayang-bayang dari apartemen di seberang jalan yang menaungi halamannya; dua orang pria berjas hitam melenggang ke gang belakang; kicau burung tekukur. Dan akhirnya, sekali lagi, dia melihat sosok hitam kurus yang tergeletak di depan rumahnya.

Pagi yang damai seperti biasa.

Odasaku berjongkok di depan 'mayat' itu untuk memperhatikannya lebih jelas. "Kapan kau ke sini?"

Tiba-tiba dia disergap semacam nostalgia.

Mungkin, alasan dari ketiadaan hal janggal pada pagi cerah itu adalah karena si mayat masih bernapas. 

Odasaku segera menggotong mayat hitam itu, membaringkannya di tempat tidur, lalu melakukan pertolongan pertama: membuka perban di kaki si 'mayat', membersihkan luka yang entah disebabkan oleh apa, mengoleskan alkohol, lalu membebatnya lagi dengan perban baru.

Sudah selesai. Lukanya tidak akan infeksi.

Odasaku beranjak ke dapur untuk membuat dua cangkir kopi. Mayat itu bangun begitu menghirup aroma kopi. Sepertinya, barusan dia hanya tertidur.

Odasaku memperhatikan tamu tak diundangnya. Si mantan mayat bersetelan hitam. Perban putih bersih mengintip dari balik lengan dan kerah bajunya. Rambut cokelat tuanya acak-acakan. Namun, wajah di balik rambut acak-acakan itu seringkali menjadi pujaan gadis-gadis.

Namanya Dazai. Sembilan belas tahun.

"Tadinya aku datang untuk menjemput Odasaku. Tapi siapa sangka aku malah terperosok ke selokan tapi tidak mati!" Si mayat menyeruput kopinya.

"..."

Odasaku menghela napas.

Kalaulah Odasaku adalah orang yang cukup ekspresif, pastinya saat ini Dazai sudah mendengar ceramah tentang "bagaimana menjaga keselamatan diri sendiri". Sayangnya, Odasaku bukan orang yang ekspresif dan Dazai sama sekali tidak butuh nasehat semacam itu.

"Kenapa kau ke sini?"

"Oh, benar! Ini adalah perayaan kelulusan kalian, kan? Jadi kupikir aku harus bangun lebih pagi untuk menjemput Odasaku dan Ango!"

Bibir Dazai tersenyum. Tapi tidak dengan matanya.

"Apa Ango akan kemari juga? Odasaku membuatkan tiga gelas kopi."

"Dazai ...."

"Ah, tenang saja. Aku sudah sarapan." Dazai cemberut, "Ango akan memarahiku kalau tidak sarapan." 

"Dengar, Dazai--"

"Oh, benar juga! Aku sudah menyiapkan kejutan untuk kalian! Fufufuuu, lihat saja nanti, kau pasti akan terkejut, Odasaku~"

"DAZAI!"

"?!"

Odasaku terpaksa berteriak sehingga Dazai terkesiap. Kaget. Matanya kini fokus menatap Odasaku. Takut. Meminta jawaban. Memohon agar Odasaku tidak menjawab---mata itu benar-benar plin-plan; sangat khas anak-anak.

Sekali lagi, Odasaku menghela napas. Dia tidak membuat tiga gelas kopi. Tidak saat ini.

Detik yang hening itu membuat keduanya takut. Dan, bukan jenis takut yang bisa diutarakan.

Odasaku melepas pemuda itu, membiarkan Dazai menghabiskan kopinya sementara dia sendiri menyantap sepotong roti tawar.

Kemudian, Odasaku menuntun Dazai keluar. Mereka pergi bersama-sama. Tapi bukan ke acara kelulusan sekolah seperti yang Dazai inginkan. Odasaku juga tidak memakai seragam. Sejujurnya, sudah lama sejak terakhir kali dia memakai seragam SMA-nya.

Sepanjang jalan keduanya terdiam. Sama-sama sibuk mendengarkan suara langkah masing-masing. Langkah mereka bergema di jalan batu dan trotoar yang sepi. Laut terlihat di kejauhan, di antara jejeran semak hijau muram dan batu-batu kelabu.

Tidak butuh waktu lama ....

"Kita sampai."

Mereka tiba di pemakaman.

________________🌷
A.N

Udah lama banget aku hiatus nulis fanfic dan balik karna ada ide yang tiba-tiba numpuk, sayang kalau gak ditulis.

Jadi, ini school!AU di mana mereka bertiga punya kehidupan normal (yang gak normal-normal amat sebenernya).

Okelah, enjoy. Semoga banyak yang baca heheh~

Delighted  [Buraiha!School AU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang