Hai hai
Selamat pagi.
Update lagi nih..Bruk.
Putra menghempaskan tubuhnya dengan kasar di kursi kerjanya. Untung saja kursi itu kuat dan tidak roboh menopang berat badan lelaki itu.
Adhi yang sedang sibuk bergelut dengan laporan penjualan terkejut. Lelaki itu sontak menoleh ke arah suara.
"Kenapa?" tanyanya penasaran.
"Huh, laundry yang kamu rekomendasiin payah!" gerutu Putra.
"Masa, sih?" penasaran Adhi. Lelaki itu tentu tidak percaya karena selama ini dia merasa loundry yang ia rekomendasikan ke Putra selalu memberikan pelayanan yang baik.
"Buktinya bajuku yang harusnya udah bisa diambil malah belum diseterika!"
"Ya wajarlah Put! Belum juga jam 14.00. Coba kamu kesananya agak sorean, pasti udah beres." Adhi beragumen untuk membela loundry langganannya.
"Eh, kok kamu kelihatan ngebela banget loundry itu? Kamu naksir mbak-mbak yang di sana, ya?" tanya Putra penuh selidik.
"Aduh!" Putra mengaduh saat sebuah pulpen mendarat tepat di jidatnya.
"Sembarangan saja kalau ngomong kamu ini!" bantah Adhi tidak terima.
"Lah habisnya kamu kaya yang gimana gitu. Udah tahu aku lagi kesel!"
"Emang bajunya mau dipakai sekarang banget?"
"Enggak, sih."
"Lha, terus?"
"He he he, sebenernya lagi kesel aja sama kanjeng mami, jadi kebawa kesel sama tukang laundry juga."
"Hah?" Adhi masih belum mengerti.
"Udah, gak usah dibahas lagi?"
"Eh! Nggak jelas sekali kau ini Put!"
Putra tertawa melihat raut kekesalan di wajah senior sekaligus sahabatnya, Adhi Setiawan.
"Memangnya kenapa sama kanjeng mami, Put?" tanya Adhi setelah kekesalannya mereda.
Putra mendengkus pelan, tatapannya menerawang mengingat percakapannya dengan ibunya sebelum dia berniat mengambil loundry tadi.
"Heh, Put!" panggil Adhi dengan suara sedikit keras. Dia merasa janggal dengan tingkah laku Putra saat ini. Apa mungkin sahabatnya ini sedang kesambet? Ah, bisa jadi. Selama ini mereka memang sering sekali bertualang ke tempat-tempat yang angker. Mungkin saja salah satu penghuni tempat itu mengikuti atau malah menempel di badan Putra?
"Astaga, gak usah teriak-teriak juga kali! Bisa budeg telingaku!"
"Habisnya tingkahmu siang ini aneh, di luar nalar."
"Hah! Aku tuh lagi kesel, masa tadi ibu banding-bandingin aku sama Hendri, sepupuku yang sebentar lagi menikah."
Adhi tidak berkomentar, dia menunggu Putra melanjutkan ceritanya sekaligus meluapkan kekesalan hatinya. Siapa tahu hal tu bisa membuat lelaki berusia 35 tahun itu lega, bukan?
"Padahal menikah itu, kan, pilihan. Lagian itu juga pernikahan kedua Hendri setelah kegagalan pernikahannya yang pertama dulu," Putra melanjutkan keluh kesahnya.
"Yah, kaya baru sekarang aja, to, Put. Kita pasukan jomlo abadi, udah biasa dibanding-bandingin sama orang. Selow aja kaya biasa ae wes."
"Iya, sih, tapi kadang kok ya kesel juga."
"Halah, wes gak usah dipikir, to. Kamu baru 38, apa kabar aku yang bentar lagi mau 43?" Adhi berseloroh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merajut Harapan
RomancePertemuan Laksita Mahira dengan kakak kelas semasa SMA membuat wanita itu merasa ingin merajut harapan untuk hidup bersama dengan seseorang disisa usianya yang tidak lagi muda. Perhatian, kasih sayang serta cinta yang Ira dapatkan dari Rasyied Herma...