Bab. 3

10 3 0
                                    

"Baru pulang?"

Putra yang baru saja menutup pintu terkejut mendengar  suara ibunya.

"Lho, Ibu belum tidur?" tanyanya balik.

"Belum, tumben Ibu nggak bisa tidur udah jam segini." jawab Riyanti, ibu dari Putra.

Putra mendekat, kemudian duduk di samping ibunya, "Ibu mikirin apa sampai ndak bisa tidur?" tanyanya sembil memijat ringan tangan wanita yang telah melahirkannya itu.

"Ya, namanya juga orang hidup, Put. Pasti ada saja yang dipikirkan," terang wanita yang tahun ini genap berusia 62 tahun.

Putra terdiam, dia sudah bisa membaca ke arah mana pembicaraan ini akan berujung.

"Kadang ibu merasa sepi di rumah, cuma berdua sama ayahmu kalau kamu sedang ada kerjaan di luar kota. Kapan rumah ini ramai suara anak kecil."

Lelaki berambut ikal itu mendesah, dia sudah menduga, ujung-ujungnya sang ibu pasti membahas tentang pernikahan.

"Kalau pas abang pulang, kan ramai juga, Bu. Ada Meisya, Meira, Nusa, sama Febi," jawab Putra.

"Iya, tapi, kan jarang!"

Apa tadi kata ibu? Jarang? Jarang dari Hongkong! Meisya dan Meira, anak dari Abangnya yang pertama hampir tiap minggu datang, paling lama dua minggu sekali. Kalau Nusa dan Febi, anak dari adiknya memang jarang datang karena ada di luar kota.

"Jarang gimana, Bu, Meisya sama Meira hampir tiap minggu datang," bantah Putra.

Kini ganti Riyanti yang mendesah mendengar jawaban anak tengahnya itu. "Hah, ada saja jawabanmu. Maksud ibu itu yang tiap hari di rumah gitu, lho!"

"Ya tinggal minta Meisya atau Meira tinggal di sini aja, sih, Bu. Gitu aja kok susah," jawab Putra enteng.

"Astaga, capek Ibu ngomong sama kamu Put!"

"Kalau capek, ya istirahat, to, Bu,"

Secepat kilat, tangan Riyanti meraih daun telinga Putra dan menariknya dengan keras.

"Aduh, Aduh! Sakit, Bu! Kok dijewer, sih? Memangnya aku salah apa, Bu?" Putra pura-pura tidak tahu, tidak lupa dia pun berakting seolah-olah menjadi manusia yang paling terdzolimi.

"Sudahlah, males ngomong sama kamu, mending Ibu tidur aja!" Riyanti bangkit dari duduk dan beranjak ke kamar.

Putra memandang punggung Riyanti yang semakin menjauh. Lelaki itu tersenyum simpul. Dia bukannya tidak paham apa yang dimaksud oleh sang ibu hanya saja untuk saat ini dia sedang tidak ingin berdebat. Bukankah seharusnya ibunya tahu apa alasan mendasar sampai saat ini dia belum ada keinginan untuk menikah?

Dengan langkah gontai, Putra berjalan menuju kamar, dia ingin membersihkan diri dan segera beristirahat. Padahal tadi sebelum sampai rumah dia merasa lapar tetapi entah mengapa rasa itu menguap dan hilang begitu saja sekarang.

🎀🎀🎀

"Assalamualaikum."

Terdengar suara salam dari luar pintu. Anggi yang sedang merapikan ruang tamu bekas anak gadisnya Findi belajar kelompok dengan teman-temanya. Gegas, Anggi berjalan ke arah pintu dan membukanya. Setidaknya dia sudah hafal suara siapa yang ada di luar sana.

"Waalaikumussalam," Anggi menjawab salam setelah daun pintu terbuka.

"Sore, Mba," sapa lelaki dengan setelan baju dinas berwarna hitam.

"Sore, Syied. Mau ketemu Ira?" tanya Anggi tanpa basa-basi. Entah mengapa ada hal yang membuatnya tidak terlalu menyukai Rasyied. Padahal selama ini perilaku lelaki itu baik, sopan bahkan selalu membawa buah tangan saat berkunjung.

Merajut HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang