[Fanfiction and AU story]
Shifting reality? Multiverse? Dunia paralel?Mitos?!
Halilintar Edgar Thunder, seorang kakak sulung dari tujuh bersaudara yang entah di sengaja atau tidak telah tertarik ke universe lain saat mencari bola adiknya di hutan...
❝ Bintang, bulan, dan matahari. 3 eksistensi yang selalu berkaitan satu sama lain, namun itu menjadi berubah kala bulan melepaskan diri. Bisakah aku menemukannya? Aku merindukannya, tetapi hingga saat ini, aku hanya mendengar suaranya saja.❞
──── Erland Zllonne Fellipe ────
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
⋆☽◯☾⋆
Mengikuti takdir yang telah terlukis adalah tujuan yang melekat kuat pada diri manusia. Tak ada yang dapat mengubahnya, bagaimana pun manusia berusaha. Setiap kehilangan dan kalimat sampai jumpa akan terus berulang tanpa henti.
Orang datang dan pergi, itu benar. Banyak orang yang mengalaminya bahkan mungkin lebih dari itu. Kehancuran, kesedihan, kesepian semakin menjarah. Kita hanya dapat berdo'a supaya dapat melalui jalan takdir tanpa goyah. Namun, beberapa di antaranya kerap kali sulit menerima dan mengalami kesedihan mendalam tiada henti dalam masa hidupnya.
"Kak, waktunya makan." Gempa berucap untuk kesekian kalinya. Tidak ada balasan serta jawaban yang ia terima, hanya kebungkaman di balik manik sendu yang mengarah pada jendela ruang tamu.
Lelah ia rasakan, tatkala semua usahanya selalu berakhir sia-sia. Kembali ia melangkah ke arah dapur dengan nampan berisi bubur yang tak berkurang sedikitpun sejak pagi.
"Aku ... lelah," lirihnya menatap semangkuk bubur itu. Kepalanya menunduk. Hatinya seolah ditusuk ribuan duri, membuat napasnya begitu sesak. Ia mencengkram dadanya, sebulir kristal jatuh menggenang di atas permukaan bubur putih itu. "Sampai kapan ... sampai kapan ... aku harus begini ...."
Manik hazel-nya menangis, jiwanya ikut bersedih. Keadaan yang begitu hancur ini, semakin menggoyahkan keinginannya untuk terus hidup.
Semakin hancur ia rasakan setiap mengingat bagaimana dirinya harus menjaga serta menjadi sandaran untuk saudara-saudaranya.
Hidup memang selalu tentang kehilangan dan kematian. Pada dasarnya semua yang hidup akan kembali pada yang menciptakannya, tak terkecuali Kakak Sulung mereka.
Dulu ia berpikir, jika ada yang pergi lebih dulu darinya, maka ia dan saudaranya yang lain akan sedia mengikhlaskan, tetapi akibat yang kini terjadi, sangat bertolak belakang dengan hal itu.
Jika ada yang dapat mendefinisikan sebuah kehancuran, maka hidup yang ia lalui adalah definisi paling sesuai.
"Ice, waktunya makan," lirih Gempa tanpa menatap sang adik yang melangkah turun dari lantai dua rumahnya.
Ice hanya terdiam, sorot matanya begitu dingin dan kosong. Tanpa mengucapkan apapun, ia kembali menaiki tangga, menuju kamarnya.
Tepat ketika pintu tertutup, suara barang yang terbanting, juga pecahan barang, terdengar begitu bising meenggema hingga ke seluruh sudut rumah.
Gempa menggertakkan gigi. Setiap hari selalu seperti ini. Tak ada obrolan ataupun tawa yang dulu memenuhi hidupnya. Kini rumah yang ia tinggali bagaikan raga tanpa adanya jiwa, hampa dan gelap.