Lembaran Ketiga Belas

456 56 2
                                    

“Ish, lama amat sih, Fre… EH, LU KE KANTIN DULU YA?” ucap Muthe terpotong setelah aku menaruh minuman ke mejanya. Aku terkekeh melihat reaksi Muthe. “Maap-maap, tadi ketemu Kathrin sama Marsha pas mau balik. Mereka malah ngajak ke kantin. Ini aku beliin sebagai tanda maaf.”

“Buat gue mana, Fre?” tanya Aldo tiba-tiba dari belakang. “Iya, gue juga nggak nih, Fre?” lanjut Olland menambahkan. Aku melihat kedua orang itu dan berkata, “Muthe aja ya, soalnya aku tinggalin dia sendiri tadi, hehe.”

Mendengar itu, Aldo dan Olland saling pandang. “Kan kita yang jagain selama lu pergi. Iya, kan, The?” ucap Aldo menyenggol Muthe yang ada di depannya. “ISH, nggak ada ya. Yang ada malah lu berdua ribut mulu. Gue jadi terganggu buat nugas, nih,” balas Muthe sewot sambil menatap kedua orang itu dengan sinis.

Aku menahan tawaku melihat kelakuan teman-temanku ini. Tak terasa sudah berminggu-minggu aku berteman dengan mereka. Biasanya aku melewatkan hari-hariku hanya bersama Marsha dan Cepio, kini ada beberapa orang baru yang menerobos masuk ke dalam kehidupanku.

Selain itu, Marsha juga tampaknya sudah lebih fleksibel tanpa kehadiranku ataupun Cepio. Biasanya, tiada hari tanpa ketempelan Marsha. Apalagi kali ini dia sepertinya sudah menemukan seseorang yang menarik baginya. Kira-kira, siapa ya orang beruntung itu? Aku jadi tidak sabar menunggu jam pulang.

Saat ini aku sedang bingung mau melakukan apa. Tugas yang diberikan oleh guru sudah selesai kukerjakan. Keluar kelas? Teman-temanku belum menyelesaikan tugas yang diberikan. Aku tidak ada niatan untuk menjelajah sekolah ini sendirian. “Dengerin musik lewat earphone kali ya?” gumamku.

Aku pun memasangkan earphone dan mulai mendengarkan lagu. Awalnya aku hanya asik mendengarkan sambil mengetuk-ketukan meja mengikuti alunan lagu. Sampai akhirnya di suatu lagu, aku mulai bersenandung mengikuti lagu.

Selagi asik bersenandung, aku memilih untuk melihat ke arah jendela. Dari jendela tersebut, terpampang pemandangan langit biru yang indah. Entah mengapa, langit biru memang selalu membawa suasana bahagia. Pemandangan sekolah juga menambah keindahan.

“Fre. FREYA,” teriak Muthe menyadarkanku dari lamunanku. Aku terkejut dan segera melepaskan earphone-ku. “Kenapa, Mumu?” tanyaku bingung. Aku masih belum sadar dengan keadaan sekitarku.

“Lu kalo mau konser, ke ruang band, dah,” ucap Muthe sambil memberi kode untuk melihat ke arah sekitar. Melihat kode dari Muthe, seketika aku tersadar bahwa aku sedang diperhatikan oleh teman-teman yang lain. “E-eh, maap-maap, hehe,” ucapku cengengesan.

“Suara lu bagus kok, Fre,” ucap seseorang dari belakang. Aku menoleh ke arah suara. Sudah pasti itu Aldo. “Ah, sa ae lu, Do,” ucap Olland yang ada disebelahnya.

“Makasih, ya,” ucapku singkat pada Aldo. Muthe yang melihat itu lalu menggelengkan kepala dan berkata, “Nyengir lu, Do. Inget ayang, Bro.” Aldo yang diledek Muthe pun menunjukkan muka malas lalu berkata, “Gue cuma muji doang. Salah mulu gue.”

Teman-teman yang masih melihat ke arah kami pun tertawa melihat tingkah Muthe dan Aldo. Aku hanya menggelengkan kepala heran melihat tingkah mereka. Ada-ada saja tingkah kedua temanku ini.

“Eh, Fre. Lu wakilin kelas kita aja besok.” bisik Muthe setelah semuanya kembali ke kegiatan masing-masing. Aku menatap wajah Muthe lalu balas berbisik, “Wakilin apa emangnya?” Muthe yang mendengar itu menepuk dahinya. “Oiya, gue lupa belum tau tradisi sekolah ini, ya.” Aku menunjukkan ekspresi heran dan berkata, “Emang tradisi apa?”

~~~~~

“Flo, persiapan gimana? Aman, kan?” tanya Kak Oniel menghampiriku. Aku menganggguk dan mengacungkan jempol untuk menjawab pertanyaan Kak Oniel. Kak Oniel tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Sudah tidak heran Kak Oniel dengan reaksi singkat yang kuberikan.

“Eh, btw tadi lu make ruang band ya?” tanya Kak Oniel kembali. “Gua liat-liat lu bawa cewe. Hati-hati lu, dikira yang aneh-aneh,” lanjut Kak Oniel sambil menyenggolku dan menaik-turunkan alisnya. Aku menatap Kak Oniel heran dan berkata, “Apaan si? Mereka cuma temen sekelas, si Kathrin sama Marsha.”

Kak Oniel tertawa melihat reaksiku. “Widih, keren juga lu, Flo. Bisa dapet banyak cewe gitu.” Aku mengalihkan pandanganku dari Kak Oniel. “Yaelah, Kak. Lu juga gitu kali. Gue mah temenan doang, Kak. Lu kan sampe punya banyak”

“OOH, JADI EMANG BENER, PUNYA ASRAMA CEWE?” ucap seseorang dari arah belakang kami. Kami pun terkejut dan segera membalikkan badan untuk melihat ke arah sumber suara. Nampak Kak Indah dan Cepio baru saja masuk ke ruang OSIS.

“Eits, mana ada banyak. Cuma dua doang kan, Bro,” ucap Kak Oniel membenarkan dan menyenggolku. “E-eh, iya, Kak Indah. Cuma dua kok. Tapi sekarang kan fokus ke Kak Indah,” ucapku agak panik, takut Kak Indah salah paham dengan ucapanku sebelumnya. Terlihat wajah panik dari kami berdua karena kami berdua tau, kalau Kak Indah agak sensitif mengenai hal ini.

Kak Indah dan Cepio kemudian saling pandang. Mereka lalu tertawa terbahak-bahak melihat wajah panik kami. “HAHAHAHA, KALIAN KOK LUCU BANGET, SIH,” ucap Kak Indah sambil menertawakan kami.

Aku dan Kak Oniel lalu saling pandang dan menghela napas lega. Kak Indah yang melihat hal itu pun heran. “Lho, kok gitu sih responnya. Jangan-jangan beneran emang punya asrama cewe, ya?” tanya Kak Indah sambil melotot.

Kali ini aku dan Kak Oniel benar-benar panik. “E-eh, nggak gitu, Yang. Itu lega karena kirain kamu beneran marah,” ucap Kak Oniel mencoba menjelaskan. “Kan kamu tau sendiri, kamulah satu-satunya~” lanjut Kak Oniel dengan gombal tengilnya.

Terlihat Kak Indah berusaha untuk menahan saltingnya. Kak Indah memang mudah salting dengan gombalan-gombalan dari Kak Oniel. “Kalo mau senyum, senyum aja kali, Yang,” ucap Kak Oniel menggoda Kak Indah. Tanpa menanggapi, Kak Indah berlari keluar meninggalkan ruang OSIS.

“Lah, malah kabur anaknya. Yaudah, titip ruangan ya, Flo, Pio,” ucap Kak Oniel menyusul Kak Indah dan meninggalkanku dengan Cepio. Aku hanya menggeleng melihat kelakuan dua sejoli itu dan kembali berkutat dengan laptopku. Cepio yang bingung lalu mendekatiku dan berkata, “Mereka emang gitu ya?” Aku melihat ke arah Cepio dan mengangguk..

“Oiya, tadi aku denger kamu nyebut nama Marsha. Ada apa kamu sama Marsha?” tanya Cepio kembali. Aku mencoba mengingat perkataanku sebelumnya. “Yang mana ya, Ce?” Cepio tampak kesal dengan responku lalu berkata, “Ish, tadi katanya kamu ngajak Marsha ke ruang band kan?”

Aku menepuk dahiku karena baru mengingat hal itu. “Mati aku” gumamku panik. Cepio yang sedari tadi masih menatapku pun kembali bertanya, “Jadi bener, kamu ngajak Marsha bolos?”

“E-eh, bukan aku yang ngajak bolos, Ce.” ucapku panik. “Jadi gini, Ce. Tadi pas mau masuk kelas, aku emang rencananya mau ke ruang band bentar. Mainin beberapa lagu aja terus balik ke kelas. Eh pas mau belok ke arah ruang band, Kathrin sama Marsha malah minta buat ikut aku ke ruang band. Mau nggak mau, aku turutin aja,” lanjutku panjang lebar. Cepio hanya mengangguk mendengar penjelasanku.

Aku cukup panik melihat tanggapan Cepio yang hanya anggukkan. “Aku nggak bermaksud buat ngajak Marsha bolos kok, Ce. Maap, ya, Ce,” ucapku sambil menundukkan kepala. Cepio tersenyum mendengar ucapanku lalu memegang pundakku dan berkata, “Gapapa, Flo. Jagain adik aku, ya.”

~~~~~

Halo guys. Sorry ya kalo chap kali ini lebih pendek dari biasanya. Tadinya mau aku tambah, cuma kayanya ini penutup yang pas untuk chap kali ini, hehe. Thanks banget buat yang udh nungguin dan support. Happy reading :)

Secangkir Kopi (Pahit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang