Bab 01

158 7 0
                                    


"Kok aneh, ya rasanya?"

"Masa?" Sang teman ikut menyeruput coffe latte yang dipesan.

"Gimana?"

"Iya, kayak ada yang beda gitu, nggak, sih?"

"Iya, kurang enak, ya? Tau gini tadi mending kita ke kafe biasa aja. Salah kita."

Melihat dan mendengar reaksi sang pembeli, Aksa kesal sendiri.

"Mbak ke sini aku ghibah atau ngopi?" landak pria itu.

"Kenapa emangnya, Mas? Memangnya salah, ya kita mengutarakan rasa kopi yang kita minum?"

"Ya salah, lah! Salah besar!"

Dua pembeli itu tercengang. Masa ada pemilik kedai seperti ini?

"Rasanya emang kurang enak, Mas. Harusnya Anda intropeksi, dong, bukannya marah."

"Gue nggak percaya."

"Rasanya emang kurang enak, Mas!"

Ayana melangkah cepat menuju meja nomor 03. Di sana dia melihat Aksa yang sedang berdebat dengan dua pelanggan yang baru saja datang untuk singgah di kafe yang baru Aksa buka selama dua pekan ini.

Telinga Ayana mendengar jelas bagaimana perempuan berambut panjang itu memprotes soal kopi yang dia pesan. Selain rasa yang tidak pas, lukisan yang ada di kopi itu sama sekali  tidak rapi. Ternyata Aksa belum menguasai seni latte.

Seni latte art, adalah cara menyiapkan kopi dengan menuangkan susu panas ke secangkir espresso dan menciptakan pola atau desain di permukaan latte. Selain itu bisa juga dengan langsung menggambar di lapisan atas busa. Seni latte memang sulit dibuat secara konsisten, karena dibutuhkan kondisi yang tepat antara espresso dan susu. Mungkin, hal ini lah yang membuat rasa pada minuman yang Aksa buat tidak pas, karena Aksa sama sekali belum menguasai teknik pembuatan coffe latte yang benar.

"Maaf Mbak, kopinya mau diganti dengan yang lain atau gimana?" tanya Ayana.

"Nggak usah. Kita udah nggak selera, ternyata rasa sama gambar yang ada di brosur itu nggak sama. Lain kali kalau belum bisa nggak usah bikin kafe. Apalagi Mas ini, diprotes malah nggak terima!" kata perempuan itu dengan nada jengkel.

"Masih mending rasa kopi yang kita bikin sendiri, mungkin lebih enak," lanjut yang lain sambil mendelikan mata.

Dua tangan Aksa mengepal, andai mereka bukan perempuan, akan ia hajar. "Hei, Mbak, dikira bikin kopi itu kayak gini itu gampang apa? Ya udah sana aja pulang, gue nggak butuh pembeli yang banyak protes. Sana-sana!"

"Diih, kasar lagi!"

"Gue sumpahin ya, Mas, kafe ini nggak bakal sukses!"

Dua mata Aksa melotot.

Ayana memegang tangan si perempuan. "Mbak jangan pergi, ya. Saya buatkan yang baru, oke?" Ayana berupaya menahan kepergian dua pembeli pertama yang datang hari ini. Jika mereka pergi, maka tidak akan ada pemasukan. Pasalnya, kafe sudah buka sejak pukul 12 siang, dan baru mendapat kunjungan pada pukul empat sore.

Dengan kasar Aksa melepaskan tangan Ayana yang memegang tangan si

"Udah, nggak usah ditahan-tahan. Biarin mereka pergi."

Dengan wajah penuh amarah, dua perempuan itu pergi keluar dari kafe sambil mengentak-entakkan kaki.

Setelah mereka pergi, Aksa duduk di salah satu kursi, mengembuskan napas sehabis melepas emosi.

"Kamu nggak seharusnya begitu sama pembeli. Kalau begini terus, mana ada pembeli yang mau ngopi di sini? Kritikan itu harusnya diterima, Aksa."

"Tapi kritikan mereka itu keterlaluan! Harus pakek bahasa yang sopan, dong!"

AyanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang