Pertemuan

1 0 0
                                    

Hari itu, Diana terbangun lebih awal dari biasanya, terguncang oleh kegelisahan yang mengusik tidurnya. Langit masih gelap, dan udara dingin pagi yang menyegarkan kulitnya seakan membawa embun serta aroma tanah basah pasca hujan semalam. Suasana desa Anggrek yang biasanya tenang, kini terasa dipenuhi dengan harapan dan kecemasan yang sama.

Dengan segelas teh hangat di tangan, Diana memandang keluar jendela, menonton bagaimana cahaya matahari pertama berusaha menembus awan tebal. Hari ini, desa terasa seolah menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi setelah badai peristiwa kemarin.

Sambil menyesap tehnya, pikirannya kembali melayang ke pertemuan di kantor polisi hari sebelumnya. Pengakuan Mas Diki, meski mengejutkan, telah membuka matanya. Kehidupan di Desa tak akan pernah sama lagi, tapi mungkin, ini adalah kesempatan untuk perubahan yang lebih baik.

Pikirannya terputus oleh ketukan lembut di pintu. Diana berjalan ke pintu dan membukanya, menemukan Reno dengan wajah penuh pertanyaan.

"Diana. Aku... aku tidak bisa tidur semalaman, memikirkan segala yang terjadi. Kita perlu bicara," kata Reno dengan nada serius.

Diana mengangguk, mengundangnya masuk. "Aku juga, Reno. Mari kita cari tahu apa yang bisa kita lakukan sekarang."

Mereka duduk di dapur, sambil menikmati cahaya matahari yang perlahan menerangi wajah mereka yang tampak letih namun bertekad.

"Kita tahu sekarang bahwa Mas Diki tidak bersalah, tapi banyak warga desa yang merasa dikhianati. Bagaimana kita bisa membangun kembali kepercayaan di desa ini?" tanya Diana, tidak hanya kepada Reno, tetapi juga kepada dirinya sendiri.

Reno mengambil napas dalam-dalam, menyesap tehnya sebelum menjawab, "Kita harus mulai dengan kejujuran, Diana. Kita perlu membantu Mas Diki menjelaskan situasinya kepada semua orang. Mereka perlu mendengar semua dari dirinya langsung."

"Tapi itu tidak akan mudah," timpal Diana, skeptis namun penuh harapan. "Mungkin, dengan waktu, mereka akan mengerti. Kita semua butuh waktu untuk memproses ini, untuk memaafkan."

Mereka sepakat bahwa langkah pertama adalah mengatur pertemuan desa. Mereka memutuskan untuk berbicara dengan Mas Diki dan mengatur pertemuan itu secepat mungkin. Desa Anggrek membutuhkan penyembuhan, dan ini mungkin adalah awal dari proses tersebut.

Setelah Reno pergi, Diana berdiri di depan jendela, memandangi desa yang kini terbangun sepenuhnya di bawah sinar matahari yang cerah. Tak seorang pun bisa memprediksi masa depan, tapi Diana tahu satu hal: dia ingin menjadi bagian dari mereka yang membentuknya menjadi lebih baik.

Diana tersenyum tipis, sebuah tanda keteguhan hati dan optimisme. Mungkin, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia benar-benar percaya bahwa setelah badai terberat, langit paling cerah akan muncul.

Saat sedang di kafe, pikiran Diana masih terus melayang tentang desa ini. Tanpa sadar, dia bergumam, "Sepertinya aku jatuh cinta dengan desa ini."

Tiba-tiba, getaran handphone memecah lamunannya. Itu adalah panggilan yang telah lama dia nantikan. Tanpa ragu, Diana langsung menjawab.

Suara wanita di seberang sana berkata, "Hari ini, kita bertemu tiga jam lagi di tempat biasa!"

"Kenapa mendadak seperti ini? Aku sedang bekerja," jawab Diana.

"Ingat, pekerjaanmu yang sebenarnya di sini, cafe itu hanya pengalihan!"Setelah panggilan berakhir, Diana segera mencari Mas Diki untuk meminta izin pergi. 

Beruntung, Mas Diki mengizinkannya. Tanpa banyak bicara, Diana bergegas pergi.

Kepergian Diana yang mendadak membuat Mas Diki sedikit curiga. Ini adalah kesempatan emas baginya untuk mengetahui lebih jauh tentang Diana, yang dia curigai mungkin memiliki keterlibatan dengan jaringan kriminal yang menghantui desa ini.

Diana memilih jalan terbuka, membuat Mas Diki harus menjaga jarak yang cukup jauh agar tidak terlihat. Setelah berjalan sekitar satu jam, Diana memasuki sebuah pasar tradisional yang ramai. Jarak antara Mas Diki dan Diana yang sudah jauh semakin membuatnya kehilangan jejaknya di antara keramaian pasar.

Mas Diki berusaha mengejar ketinggalannya, tapi sayangnya pasar itu sangat ramai, dan dia tidak dapat menemukan Diana. Dengan rasa kecewa, dia harus melewatkan kesempatan emas untuk menjawab semua kecurigaannya.

Kini Diana telah meninggalkan pasar dan memasuki sebuah hutan. Tidak terlalu jauh di dalam hutan, ada sebuah bangunan besar dan tua dengan dinding batu putih tanpa cat. Diana melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada yang mengikutinya atau memperhatikannya, kemudian memasuki bangunan tersebut.

"APA YANG SEBENARNYA TERJADI!" teriak Diana begitu memasuki bangunan tua itu dan menemukan orang yang menghubunginya tadi.

"Itu adalah pengalihan untuk melindungi mu!" jawab wanita itu dengan tenang.

"Setidaknya beritahu aku dulu, aku sampai pusing menghadapinya."

"Kalau kau tahu rencananya, polisimu itu pasti akan menyadarinya. Dia bukan orang bodoh, Din. Kamu harus hati-hati!"

Diana menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sambil menatap Niela, salah satu anggota jaringan kriminal yang sering dibahas oleh Mas Diki, mereka telah bekerja bersama selama beberapa tahun terakhir. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya yang masuk melalui jendela kotor, menciptakan bayangan yang bergerak lembut di dinding-dinding batu.

"Diana, kamu tahu betul tugas kita tidak pernah mudah. Kita berdua masuk ke dalam ini dengan mata terbuka. Kamu adalah mata dan telinga kita di desa itu. Segala yang kamu lakukan di kafe hanyalah bagian dari kedokmu." Jelas Niela

"Aku tahu, tapi semakin hari semakin sulit untuk menjalankan dua kehidupan ini. Aku mulai merasa terikat dengan orang-orang di desa tersebut. Mereka bukan sekadar pion dalam misi ini, Niela. Mereka nyata."

Niela meletakkan tangan di bahu Diana "Aku mengerti perasaanmu, tapi ingatlah, Diana, desa ini memiliki potensi yang luar biasa untuk bisnis kita, jangan sampai lupakan itu, atau kamu mau meneruskan menjadi petani atau peternak seperti orangtuamu?"

Diana menundukkan kepala, konflik batinnya terlihat jelas. Dia tahu tugasnya penting, namun dia juga merasa terpecah antara loyalitasnya kepada kelompok ini dan kasih sayangnya yang tumbuh terhadap warga desa.

Setelah percakapan itu, Diana kembali ke desa dengan perasaan yang berat. Langkahnya melalui hutan kembali ke peradaban terasa lebih lama dari biasanya. Setibanya di desa, sinar matahari telah tinggi, menandakan tengah hari yang sibuk. Diana berjalan melewati pasar yang ramai, melihat wajah-wajah yang sekarang dia kenal tidak hanya sebagai bagian dari penyamarannya, tapi sebagai individu dengan cerita dan mimpi mereka sendiri.

Mas Diki, yang telah mengamati kepulangan Diana dari kejauhan, mendekatinya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Diana mempersiapkan diri untuk pertanyaan yang mungkin datang.

"Diana, apapun yang sedang kamu hadapi saat ini, aku dan warga desa lainnya ada di sini. Desa ini, kita semua, mulai mengandalkanmu."

"Aku hanya perlu sedikit waktu untuk diri sendiri, Mas. Tapi aku di sini sekarang, dan aku tidak kemana-mana." Jawab Diana meyakinkan

Saat mereka berjalan bersama kembali ke Café Anggrek, Diana merasa berat hati akan rahasia yang masih harus dia simpan. Tapi sekarang, dengan ambisi yang lebih jelas dan dukungan dari Niela, dia tahu dia harus bertahan. Tidak hanya untuk Skelompoknya, tetapi juga karena perasaannya terhadap desa yang perlahan-lahan telah menjadi rumahnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

30 Porsi - Season 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang