Suara para pemeran sudah terdengar menggema, opera yang dibawakan kali ini berjudul Hukuman Bagi Sang Penyihir Hitam. Para penonton yang datang pun sunyi mendengarkan, nyanyian dan dialog bersahutan antara pemain yang berlakon di atas panggung megah bertirai merah dengan tali melingkar berwarna coklat keemasan.
“Kamu tidak bosan Chan? Kenapa suka sekali dengan opera?” Mark berbisik kecil, takut mengganggu penonton yang lain.
“Tidak, berakting dan bernyanyi dalam waktu yang bersamaan itu sangat indah, kamu akan menyukainya. Lihat! Ini adegan yang bagus.”
Haechan menggenggam tangan Mark erat, terlihat antusias saat seorang dengan topeng keluar dari belakang panggung. Pemerannya tinggi, gagah, tak kenakan baju dengan otot perut kotak yang tampak seksi diolesi minyak membuat tubuhnya mengkilat diterpa lampu panggung.
Dia masuk tak sendirian, di depan dirinya sosok terlentang diikat di atas meja roda, seorang perempuan berpakaian jubah putih dengan lakon tampak takut melihat diri akan dihukum.
Dialah sang penyihir.
“Mark lihat! Itu sangat hebat tapi juga menakutkan.” Haechan melingkarkan tangannya pada lengan Mark buat dadanya tertempel empuk di lengan bagian atas Mark.
Rasanya berisi, transparan, dan juga membuat pikiran melayang. Rasanya ruangan itu tiba-tiba terasa gerah, antara pikiran Mark yang kemana-mana atau memang AC yang dinyalakan pihak penyelenggara tidak terlalu rendah. Dada Haechan bergesek berikan tekanan saat Haechan membenarkan posisinya, sedikit takut karena sebentar lagi adegan hukuman akan dilakukan.
“Apa kita perlu menghukum perempuan ini!” teriak sang algojo kepada para penonton, berinteraksi seperti konsep pertunjukkan yang sedang dilakukan.
Beberapa penonton bertepuk tangan, ada juha yang berteriak ‘hukum saja!’ seolah menjadi warga dalam lakon yang sedang berjalan.
“Seandainya kalau aku yang jadi penyihir dan kamu yang jadi algojonya, kira-kira kamu bakalan hukum aku atau tidak Mark?”
“Apa?”
“Ya itu, seandainya aku yang jadi penyihir dan kamu yang jadi algojonya. Dan penonton mengatakan hukum saja, apakah kamu tega?”
Mark hanya diam, fokusnya kini hanya tertuju ke arah panggung, menatap sang algojo yang siap mencambuk sang perempuan muda yang tersingkap jubah putihnya. Perlihatkan paha putih mulus dengan bekas cakaran yang Mark tahu itu hanya riasan semata.
—🦋
Mark berdiri tegak menjulang, perhatikan Haechan yang kini terlentang dengan kaki dan tangan yang terikat rantai di atas meja hukuman, disorot lampu teater, dan ditonton banyak orang yang meresapi alur cerita yang akan mencapai puncak.
“Apa kita perlu menghukum laki-laki ini?!” Mark berteriak ke arah penonton, membuka tangan dengan angkuh dan gembira.
“Hukum saja!”
“Cambuk dia! Lepaskan bajunya!”
Mark tersenyum senang dengan wajah tak lagi ditutupi topeng mendengar permintaan para penonton. Dia berbalik menatap wajah pias Haechan yang bercucuran keringat akibat panas dan terang dari sorot lampu di atas panggung.
Diambilnya cambuk yang ada di atas meja lainnya, menyingkap jubah putih Haechan menampilkan kulit madu yang penuh dengan bekas cakaran. Tangan Mark mengayun pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ARSIP] Above The Theater
Fanfiction[COMPLETED] [NSFW] [Spicy] Mark Lee yang diajak menonton dan membayangkan fantasi gilanya di atas panggung