Pagi itu, aku terbangun oleh suara alarm yang nyaring. Tanpa membuang waktu, aku langsung bangun dan menuju kamar mandi. Setelah mandi, aku segera mengenakan seragam sekolah dan turun untuk sarapan.
Di ruang makan, aku melihat Papi Sean dan Koko Gito sudah duduk menunggu.
"Halo, sayang," sapa Sean dengan senyum.
"Halo, Papi. Halo, Koko," jawabku.
"Halo juga, adik kesayangan Koko," sahut Gito sambil tertawa kecil.
"Sini, duduk dulu. Sarapan sebelum berangkat sekolah," kata Sean. Aku mengangguk dan segera duduk menikmati sarapan hangat yang sudah disiapkan.
Setelah selesai, aku dan Gito bergegas ke garasi. Kami masing-masing naik mobil sendiri. Aku mengendarai mobil favoritku—hitam mengkilap, ceper, dan keren banget. Gito pun melaju dengan mobil sport-nya sendiri.
Sesampainya di sekolah, aku turun dari mobil mengenakan kacamata hitam. Semua siswa menoleh. Wajar saja, selain karena aku ketua OSIS, aku juga pemimpin klub mobil terbesar se-Indonesia. Klubku punya 4 anggota inti dan 50 anggota biasa, dan aku yang mengetuainya.
"Oi, Cag, baru sampe lo?" sapa Gracie, sahabatku.
"Gak, masih tidur gue," jawabku bercanda.
"Jelas-jelas udah di sini!" sahut Gracie sebal.
"Hehehe," aku nyengir.
"Udah, gue ke ruang OSIS dulu. Mau patroli abis bel. Lo jaga gerbang dulu, ya," kataku.
"Oke, Sel," jawab Gracie, lalu beranjak ke arah gerbang.
Aku pun melanjutkan ke ruang OSIS. Ada tugas dari kepala sekolah: mendesain dekorasi untuk acara ulang tahun sekolah. Aku menyelesaikan gambarnya tepat saat bel berbunyi, lalu memulai patroli keliling sekolah.
Saat berkeliling, aku melihat dua murid kelas 11 IPS mengendap-endap di lorong. Aku langsung menghampiri mereka.
"Sst... Aman nggak?" bisik salah satu dari mereka.
"Aman, aman. Ayo—"
"Ehem."
Mereka langsung menoleh. "Eh, Bu Ketos..." ucap salah satu murid, agak gugup.
Aku melihat name tag-nya. "Michie, ya?"
"Iya, Kak," jawabnya sopan.
"Yang satu lagi?"
"Indira, Kak."
"Yuk, ikut aku," kataku tegas. Aku bawa mereka ke ruang BK.
TOK TOK TOK
"Misi, Bu," kataku saat mengetuk.
"Iya, Greesel. Ada apa?" tanya Bu Feni.
"Ini, Bu. Ada murid telat lagi."
"Hadeh, Michie lagi, Indira lagi. Gak bosan-bosan ya, kalian?" Bu Feni menghela napas.
"Kalau gitu saya lanjut patroli lagi ya, Bu," kataku sambil pamit.
Selesai patroli, aku langsung ke kelas mengikuti pelajaran. Tak lama, bel istirahat pun berbunyi.
Aku, Gracie, Rehan, dan Mando langsung menuju kantin. Saat kami lewat, semua siswa memperhatikan kami. Katanya sih, kami kayak geng di film-film. Empat orang yang mencolok—dua cewek, dua cowok, dengan gaya masing-masing.
Kami duduk dan memesan makanan.
"Re, pesenin ya," kata aku.
"Yah, gue lagi, gue lagi," keluh Rehan.
"Yaudah, lo mau apa?" tanya dia pasrah.
"Nasi goreng sama es teh."
"Gue bakso sama es jeruk," kata Gracie.
"Gue samain kayak Gracie," tambah Mando.
Selesai makan, kami kembali ke kelas. Setelah sekolah selesai, aku kembali ke ruang OSIS menyelesaikan tugas dekorasi sampai pukul 16:00.
Saat berjalan menuju mobil, aku melihat seseorang duduk sendirian di halte sekolah. Ternyata Michie.
"Loh, kok belum pulang?" tanyaku sambil mendekat.
"Eh, Kak Greesel... Aku ketinggalan bus. Jadi harus nunggu yang jam 5," katanya.
"Orang tua kamu nggak jemput?"
Michie terlihat ragu, lalu akhirnya bercerita. Ia dari keluarga broken home. Ayah dan ibunya bercerai. Ia ikut ayahnya yang sekarang sedang sakit, sementara ibunya mengambil semua harta.
Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis.
"Yuk, aku antar pulang."
"Serius, Kak? Gak repot?"
"Nggak kok. Ayo."
Aku meraih tangannya perlahan dan mengajaknya masuk ke mobil. Dalam hati, ada perasaan aneh yang mulai tumbuh.
"Ehmm, rumahmu di mana?" tanyaku.
"Di Jalan Rusa No. 48," jawabnya pelan.
Tiba-tiba perutnya berbunyi.
"Belum makan, ya?" tanyaku sambil tertawa kecil.
Ia mengangguk malu.
"Yaudah, makan dulu yuk. Aku traktir."
Kami pun meluncur ke restoran sushi yang cukup terkenal di kota. Tempatnya tenang, cozy, dan cocok buat ngobrol santai.
"Ehm... Kak, aku belum pernah makan sushi. Cara makannya gimana ya?" tanya Michie sambil tersenyum malu.
Aku langsung pindah duduk ke sebelahnya. "Tenang, sini Kak Greesel ajarin."
Aku mengambil sepasang sumpit dan mulai menunjukkan cara memegangnya. Tanganku perlahan memegang tangannya, membimbing jari-jarinya agar posisinya pas. Aku fokus, tapi entah kenapa, jantungku mulai berdetak lebih cepat. Begitu juga dengan Michie—aku bisa lihat pipinya sedikit memerah.
"Gitu, deh. Coba sekarang kamu sendiri," kataku sambil tersenyum.
Ia mencoba, dan berhasil.
"Yay! Bisa!" katanya antusias.
Kami pun mulai menyantap sushi. Michie terlihat senang sekali—wajahnya cerah dan matanya berbinar-binar.
"Makasi ya, Kak Greesel. Aku... senang banget hari ini," katanya pelan.
Aku menatapnya sebentar. "Aku juga senang bisa ngobrol dan jalan bareng kamu."
Setelah kenyang, kami kembali ke mobil. Suasana senyap, tapi nyaman. Di dalam mobil, Michie bersandar di kursi, lalu pelan-pelan tertidur.
Sesampainya di depan rumahnya, aku mematikan mesin mobil dan menoleh ke arahnya.
"Michie... Udah sampai..." kataku pelan.
Ia tidak merespon. Aku tersenyum kecil. Wajah tidurnya terlihat damai.
"Kamu cantik banget sih..." bisikku lirih, tapi lalu buru-buru menggeleng dan menertawakan diri sendiri dalam hati.
Tak lama, Michie terbangun. "Eh! Maaf ya, Kak... Ketiduran."
"Gak apa-apa, capek ya?" tanyaku.
Ia mengangguk.
"Makasih banget ya hari ini... Aku seneng banget," katanya tulus.
Aku membalas dengan senyum. "Kapan-kapan, kita bisa makan bareng lagi. Tapi jangan telat sekolah lagi, ya."
"Siap, Kak Ketos," jawabnya sambil hormat bercanda.
Kami tertawa bersama, lalu Michie turun dari mobil.
"Bye, Kak Greesel."
"Bye, Michie."
Setelah Michie masuk rumah, aku menatap jalan sebentar lalu berbalik arah menuju apartemen. Di perjalanan, aku cuma bisa mikir satu hal.
"Kenapa ya... rasanya beda?"
Setelah Revisi Dan Part 1 Akhirnya Jadi 🥳🥳🥳🥳
Hehehe Bisa Di Baca Balik Yaaa Kalau Mau

KAMU SEDANG MEMBACA
We Ride Together
RomanceBaca Yukk !!!! Ini Cuman Fiksi Yaa Bukan Real Life Pahami Lebih Baik Lagi 🙏🙏🙏🙏