Sukma

17 7 3
                                    

Matanya memicing, menjelajahi tulisan tangan kakeknya yang mulai goyah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Matanya memicing, menjelajahi tulisan tangan kakeknya yang mulai goyah. Setiap kata yang dituliskan, berbaris dengan rapi, membaca kisah yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Semakin ia membaca, maka semakin ternganga mulutnya. Rasa terkejut dan tak percaya mewarnai wajahnya. Ia terpaku juga lidahnya kelu. Hingga, ia hanya bisa terdiam sambil menelan ludahnya dengan kasar.

Kertas itu berisi rahasia keluarga yang telah disimpan rapi, sampai ia merasa tak pernah mengetahui—ia sempat geger otak makanya ia tak bisa mengingat sedikit detail pun tentang rahasia ini—rahasia kekuatan leluhurnya yang sangat hebat namun di sisi lain juga sangat berbahaya nan terkutuk.

Ia kembali melipat kertas itu dan terdiam sejenak. Mencoba mencerna seluruh informasi yang tak pernah ia sangka selama ia hidup 15 tahun.

“Sudah, tak perlu diingat lagi. Itu hanya seperempatnya saja. Aku tak sanggup menceritakan seluruhnya,” ujar sang kakek sambil menepuk pundak Vica.

“S-seperempat?” tanya Vica dengan nada bicara yang tak percaya.

“Sudah. Istirahat saja sana. Tak perlu kamu mengetahuinya. Kamu saja baru dua hari di sini. Nanti juga kamu akan tahu sendiri,” jawab sang kakek.

Singkat cerita pembicaraan itu selesai. Mereka semua berdiri untuk meninggalkan ruangan itu dan menuju kamar mereka masing-masing.

Suara langkah kaki mereka bagaikan suara gemuruh guntur tengah malam yang sunyi dan sepi. Keheningan menyelimuti rumah tua itu bagaikan kain kafan yang membungkam semua suara. Azka berjalan paling depan bagaikan ksatria yang gagah dan berani. Vica berjalan di belakang Azka bagaikan rusa yang kebingungan. Kakek mereka berjalan paling belakang seperti bayangan yang mengikuti mereka.

Wajah Vica pucat pasi bagaikan salju di puncak gunung Everest. Ekspresi bingung menyelimuti wajahnya. Pikirannya berputar-putar di atas ubun-ubunnya bagaikan gasing yang takkan ada hentinya. Ia masih memikirkan cerita singkat di kertas itu. Tentang rahasia keluarga, kutukan, juga kekuatan yang sangat istimewa. Ia merasa bingung seperti anak ayam yang kehilangan induknya.

Azka sesekali melirik ke arah Vica bagaikan elang yang menatap mangsanya. Ia melihat tatapan kosong dari Vica bagaikan cermin yang memantulkan kehampaan dan kebingungan. Azka ingin sekali memeluknya untuk menenangkannya bagaikan lautan yang menenangkan ombaknya. Tetapi, ia tidak mau mencampuri urusannya bagaikan burung yang tak ingin mencampuri urusan burung lainnya.

Mereka sudah sampai di kamar mereka masing-masing seperti para peziarah yang telah tiba di tujuan mereka. Ia lalu masuk ke dalam kamarnya bagaikan kupu-kupu yang masuk ke dalam sarangnya.

Ia terduduk di tepi kasurnya seperti patung tak bernyawa. Vica menatap wajahnya di cermin yang berada di nakas samping tempat tidurnya. Ia melihat wajahnya sendiri seperti hantu yang menatap dirinya sendiri.

Seketika, aroma kembang tujuh rupa menari-nari di dalam hidungnya seperti hantu gentayangan di tengah malam yang sunyi sepi. Bau tak sedap itu semakin menusuk indra penciumannya bak pisau yang menusuk kalbu. Vica meringis menahan mual yang bergejolak di perutnya.

Silent Truth Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang