1

405 52 12
                                    

28 Desember.

Salju putih turun , membasahi bumi. Udara dingin mampu membekukan tubuh Hinata Hyuga, yang kini sedang berjalan di tengah badai. Uap putih keluar dari mulut mungilnya saat dia membuka mulutnya, tangan kecilnya terangkat menangkup kedua telapak tangan di depan bibirnya.

Kakinya berhenti melangkah ia mengambil ponsel di dalam saku jaketnya, membuka pesan dari temanya, membaca tiap teks ia mengerucutkan bibirnya.

"Kenapa dengan Kiba ini? Tidak memesankan taxsi untukku, lalu memintaku berjalan di tengah badai seperti ini." Keluhnya kecil. Menghela nafas kecil, dia tetap melanjutkan langkahnya.

"Kemana alamat kafe ini? Aku bahkan tidak tahu tempat ini." Lanjutnya lagi. Lehernya akan bergulir ke kanan dan ke kiri untuk memastikan apakah di jalan ini dia aman. Jalanan begitu putih semua tertutupi salju.

Di kota Suna dia belum tahu apapun disini, dia hanya mengiyakan saat Kiba mengajaknya berliburan di tempat ini. Tentu saja karena dia adalah sepupunya.

Di tengah perjalanan dia terlalu fokus sampai tidak sadar jika di dalam salju terdapat batu. Kakinya yang terbalut sepatu seketika tersandung batu, membuatnya jatuh kedepan menghantam salju.

"Aish, aku terlalu ceroboh!"

Dia mencoba duduk di atas salju. Menghapus sisa- sisa salju yang menempel di jaketnya. Namun pandanganya kini jatuh pada sepasang sepatu di depanya. Ia terkejut memundurkan tubuhnya sedikit.

"Kau butuh bantuan?" Suaranya tenang, namun terkesan berat, sepertinya dia juga menahan dingin.

Mengadahkankan wajah keatas untuk melihat siapa orangnya. Seketika dia cukup gugup karena pemuda itu tak melepas pandangan padanya, begitu tenang namun dalam. "Kau akan basah jika terus duduk disana." Tukasnya lagi.

Hinata tersadar menundukkan pandangan kebawah, dia mencoba berdiri rasa dingin menyelimuti telapak tanganya yang tak memakai pelindung. Uluran tangan kini berada di depan wajahnya. Hinata terdiam sesaat namun dengan pelan dia menerima uluran itu. Tubuhnya terangkat dengan pelan, sedikit linglung jika tidak ada yang memegangi dengan kuat.

"T-terimakasih!?" Melepas tautan telapak tangan mereka Hinata hanya sedikit gugup.

"Kemana kau akan pergi? Di tengah badai seperti ini."

"Aku ingin menuju kafe walshcafe. Tapi sepertinya aku tidak tau dimana tempatnya." Dengan jujur dia berkata. Pemuda itu mengerti.

Dia terlihat mengambil ponsel di sakunya, sibuk mengatik atik. "Tunggu sebentar disini?" Ujarnya tenang.

Tidak, Hinata tidak tenang. Dia merasa gugup karena bersama orang asing. Di tengah gundahnya tak lama taksi datang di pada keduanya.

"Taxsi ini akan mengantarkanmu."

Hinata sedikit malu, dia melirik pemuda yang terlihat tenang memandangnya. Dengan gerakan pelan kepalanya seakan memintanya untuk cepat pergi. Mengatupkan bibirnya pelan. Dia mulai berjalan menuju belakang taxsi memotret nomor di belakang mobilnya.

Pemuda itu melihatnya tenang. Dia hanya melirik membuat Hinata sedikit canggung, dia berjalan tenang membuka pintu mobil. Saat ingin memasuki taxsi suara tenang terdengar kembali. "Tunggu?"

Dia berjalan di tempat ia terjatuh, mengambil topi kupluk putih miliknya. Tak lama dia kembali berjalan mendekatinya. Dengan tenang dia memakaikan kupluk itu di atas kepalanya hingga membalut rambutnya menutupi sebagian.

Hinata terdiam, dia memegang ponselnya yang berada di dadanya dengan erat. "Kau menganggapku orang jahat,"

"Aku hanya berjaga- jaga." Balasnya pelan. Dia sedikit menjauh satu langkah memasukkan kedua tanganya di dalam saku jaketnya. Dia memandang dirinya dengan tenang. Memiringkan sedikit kepalanya memandang wajah sang gadis tenang.

SNOW LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang