Wrath I

58 7 0
                                        

Sebuah legenda kuno mengisahkan sebuah peristiwa pertumpahan darah yang telah berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya, perang ini sudah melekat layaknya suatu budaya bagi orang-orang yang hidup di zaman itu.

Perang besar ini lahir dari keserakahan hati manusia. Setiap harinya seseorang terbunuh hanya karena hasrat tak terpuaskan dari mereka yang terlahir sebagai para pemimpin mereka. Kehidupan tak berdosa menjadi korban dari siklus tak berkesudahan ini. Banyak yang mulai meragukan, bahkan kehilangan iman mereka pada Tuhan yang pernah mereka puja.

"Jika Tuhan benar-benar ada, mengapa ia tidak datang untuk membantu kita?!"

Suara-suara penuh keputusasaan menggema setiap kali orang-orang yang masih percaya akan Tuhan mencoba meyakinkan mereka dengan kata-kata penuh harapan, menjanjikan bahwa beliau suatu hari akan membawa mereka kepada keselamatan.

Meski keputusasaan terus menghantui, mereka yang beriman tetap berdoa setiap hari, menyerukan nama Tuhan dan roh leluhur mereka dalam setiap doa yang mereka ucapkan, berharap agar petunjuk datang. Namun sepertinya keadaan belum menunjukkan suatu perubahan.

Bagi para prajurit yang bertempur untuk mempertahankan tanah air mereka, kematian adalah teman yang telah menunggu mereka diujung tombak lawan. Teman-teman, sahabat, dan sekutu akan segera meninggalkan mereka, tubuh-tubuh mereka jatuh di atas tanah gersang tempat suara benturan pedang menjadi lagu kematian bagi mereka yang telah mengabdikan hidupnya.

Bagi mereka yang tak mampu bergabung di medan perang, mereka hanya bisa berdoa. Setiap hari mereka memohon keajaiban, berharap suatu jalan keluar demi pembebasan. Diantara hari-hari menunggu ajal menanti, di suatu sore akhirnya perubahan yang mereka nanti-nanti akhirnya terjadi.

Dikala itu langit yang biasanya terang dengan cahaya matahari tiba-tiba berubah menjadi gelap gulita. Tanda semacam itu biasanya mengisyaratkan bencana buruk seperti sebuah badai besar, namun sepertinya kali ini berbeda.

Saat cahaya keemasannya mulai tertutup oleh tirai gelap dari badai, muncullah dua siluet yang turun dari langit. Angin bertiup kencang, menyapu hamparan debu yang menyelimuti tanah petaka. Masyarakat yang melihat pemandangan ini seketika terpaku ditempat, mereka tak percaya dengan apa yang mereka saksikan saat itu.

Siluet dari kedua sosok tersebut tampak seperti malaikat yang digambarkan dalam kitab suci, namun aura yang mereka pancarkan tidaklah terasa seperti bagaimana yang dikatakan. Melihat dari catatan kuno umat manusia, kedua makhluk itu dikenal dengan nama Needlo dan Remiel.

Kedua nama itu telah diwariskan turun-temurun sebagai mereka yang diyakini telah datang jauh sebelum manusia mengenal moral dengan tujuan yang masih diselimuti misteri. Berbagai teori tercipta dari peninggalan catatan kuno tersebut.

Beberapa percaya bahwa Needlo dan Remiel adalah tanda dimulainya kehancuran umat manusia. Sebagian lainnya mengatakan bahwa mereka adalah sosok iblis yang dikirim untuk menyesatkan umat manusia dengan tujuan mempercepat kehancurannya. Namun, tak ada satupun dari teori itu yang bisa dibuktikan.

Saat mereka menginjakkan kaki di tanah petaka, pandangan mereka menyisir medan pertempuran yang dulu penuh dengan kehidupan. Kini tempat itu hanya menjadi kuburan para prajurit yang telah gugur.

Remiel mengulurkan tangannya ke depan, dan perlahan mayat-mayat yang bergeletakan berubah menjadi abu. Roh-roh dari para prajurit yang gugur telah ia lepaskan dari tubuh mereka untuk menuju penghakiman di akhirat.

Bersama-sama mereka melangkah menuju gerbang kerajaan Arcania, sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Raja Alaric yang bijaksana. Begitu para penjaga melihat kedatangan mereka, mereka segera berlari untuk memberitahukan raja Alaric mengenai pemandangan aneh yang baru saja mereka saksikan.

Karmatic JudgementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang