1 - Meng

67 7 1
                                    


Orang-orang memanggilku Meng.

Atau Mpus. Atau Asep. Yah, dipanggil "ckckck" saja aku juga nengok, kok. Aku kan kucing oranye yang ramah. Kalau aku nggak ramah, gimana caranya aku cari makan?

Kata manusia, aku masih kecil. Makanya mereka gemas melihatku. Mereka sering mengelus buluku, biasanya kuberi saja mereka dengkuran manja atau kadang-kadang aku berguling memperlihatkan perutku yang gempal. Bodo amat soal harga diri, yang penting mereka kasih aku makan.

Tempat mangkalku sangat menguntungkan. Aku tinggal di tumpukan kardus bekas, di dekat air mineral galon. Manusia menyebut tempat ini Betamart. Kalau sudah masuk, pasti saat keluar mereka menenteng belanjaan. Yang menyenangkan, Betamart ini juga menjual makanan kucing dan ayam goreng krispi. Jadi, kalau aku beruntung, para manusia yang jatuh dalam perangkap kelucuanku akan membelikanku sepotong ayam atau makanan kucing basah bungkusan. Tidak heran aku makin lucu dan gempal.

Di sini, aku tidak sendiri. Ada dua ekor kucing lain yang lebih tua – Tukang Parkir memanggil mereka Pakdhe dan Budhe, tapi mereka tidak terlalu ambil pusing dengan keberadaanku. Justru mereka diuntungkan, karena saat aku diberi makan karena kelucuanku, mereka bisa ikut nimbrung. Sebagai timbal baliknya, mereka melindungi wilayah ini dari jajahan kucing-kucing jalanan yang lain. Sama-sama untung.

Sekian lama hidup di emperan Betamart, aku menemukan berbagai jenis manusia. Kebanyakan, manusia yang jajan di sini berusia muda dan berpenampilan rapi. Aku pernah mendengar Tukang Parkir menyebut mereka dengan istilah "mahasiswa", entah apa maksudnya. Mereka suka membawa buku tebal dan membicarakan hal-hal yang sulit. Banyak dari mereka yang sering berhenti untuk mengelusku. Ada yang bilang mengelusku bisa menghilangkan stres. Entah apa yang membuat mereka merasa begitu.

Di antara banyaknya mahasiswa yang mengajakku bermain, aku menemukan satu makhluk yang menarik. Dia manusia perempuan, mengenakan kain panjang yang meliliti kepalanya. Wajahnya putih pucat, dengan sorot mata sayu yang sering kulihat di wajah Budhe kalau ia baru saja kehilangan anak-anaknya. Kalau tidak salah, bahasa manusianya "sedih". Namun walaupun sedih, ia tidak pernah absen membelikanku makanan. Sebagai imbalannya aku akan bergelung dengan tenang di pangkuannya, sembari dia mengelus punggungku. Kadang ia mengatakan hal-hal yang tak kupahami, seperti "capek", "ingin mati", seperti itu. Lalu, setelah beberapa belas menit ia menggaruk telingaku, ia akan berterima kasih kepadaku karena membuat harinya menjadi baik.

Aku tidak mengerti kenapa gadis itu begitu layu, seperti tanaman yang mati kalau aku pipis di pot bunga. Padahal menurut ukuran manusia sepertinya dia cukup cantik.

Ngomong-ngomong, itu dia orangnya datang. Seperti biasa, ia menyapa Tukang Parkir dan Tukang Gorengan dengan ramah. Bibirnya tertarik ke atas, tetapi sudut matanya melengkung ke bawah.

"Neng Chessa, beliin Meng makanan lagi?" tanya Tukang Parkir.

Ah, ya. Namanya Chessa.

"Sekalian jajan, Pak," jawab Chessa sambil melempar pandang ke arahku. "Meng! Yuk!"

Aku sudah paham ajakan Chessa. Aku kemudian mengekori Chessa berkeliling Betamart. Biasanya ia akan mengambil botol dingin di lemari kaca dan beberapa bungkus plastik. Lalu aku akan berjalan di depannya, menuju display bungkusan kecil berwarna kuning dengan gambar kucing.

"Meong," kataku. Maksudku, beliin dong.

Chessa tersenyum lebar dan mengambil tiga bungkus. Duh, baiknya. Gadis itu lalu mengantri untuk membayar, dan langsung menuangkan isinya di dekat parkir motor. Ia memisahkan makanan untukku, Pakdhe, dan Budhe. Sungguh pengertian. Aku suka manusia ini.

Aku makan dengan lahap, sementara ia berjongkok menonton kami makan sambil senyum-senyum. Setelah aku selesai, aku langsung menghampirinya dan mendengkur untuk mengucapkan terima kasih. Seperti biasa, ia menggendongku ke dalam pelukannya, lalu menenggelamkan wajahnya di buluku yang empuk.

Untuk kesekian kalinya, ia berkata, "Capek..."

Sekilas, aku melihat pergelangan tangannya. Ada bekas luka memanjang, tapi aku tahu itu bukan cakaran kucing.

My Lovely HoomansWhere stories live. Discover now