cikopi bala-bala

47 8 17
                                    

Ia adalah seorang pendengar. Dari beribu-ribu mulut yang datang kepadanya. Katanya, hidup itu susah. Bisa napas saja sudah untung. Istirahat sebentar? Ya mati. Ia adalah seorang imajiner yang hebat. Apa pun khayalan yang ada di kepalanya pasti kenyatanyaan. Seperti membeli dua mobil BMW dan punya pacar cantik secantik Sophia Latjuba. Laki-laki itu tersenyum. Rasanya, semesta sangat indah. Sampai-sampai seseorang yang baru saja datang dengan motor supra geter dan duduk di warung kopinya menyeringai prihatin.

"Kalau hidup kebanyakan bengong mah, ya, susah atuh, Jang," katanya sambil duduk. Di satu-satunya meja dan kursi yang tersedia di depan warung kopi.

1"Urang pesen cikopi hideung jeung bala-bala. Ulah poho cengekna. Seger sigana ges lungse dagang di pasar," lanjutnya.

Laki-laki itu masih saja senyun-senyum sendiri. Seperti, hal-hal tidak penting yang ada dikepalanya adalah sebuah wahyu paling baik yang pernah turun di sejagat raya semesta. Sedangkan bapak-bapak yang sudah duduk di warung kopi sejak sepuluh menit yang lalu mulai kesal dan menggebrak meja untuk menyadarkan laki-laki gila itu.

Hinggap di telinganya sebuah suara keras yang tiba-tiba. Laki-laki itu terkejut dan lidahnya tergigit.

"Eh buset!" ucapnya, lalu meringis, "Anying, lidah saya kegigit! Sakit pisan. Sialan, ah, si Akang pake acara ngagetin saya segala."

"Ya salah kamu. Udah sukur masih ada orang yang mau ngopi di warung kopi kamu. Malah bengong."

Laki-laki berusia dua puluh delapan tahun itu memutar bola mata malas. "Kan bisa sama cara yang baik-baik atuh, Kang."

"Saya sudah panggil kamu baik-baik, Aji. Kamunya saja yang congek."

"Ya sudah, mau pesan apa?"

2"Kopi hideung jeung bala-bala wae we urang mah siga biasa. Cengekna cing loba."

"Si Akang tau aja harga cabai lagi mahal teh. Malah minta banyak."

Setiadji adalah sebuah entitas paling tidak punya tujuan dalam hidupnya. Selama pasang dan surut masih berkelanjutan, dan matahari tidak kedinginan, semestanya adalah ciptaan dengan kaki paling lambat di dunia.

Membuka warung kopi sebenarnya adalah pekerjaan sampingannya. Pekerjaan utamanya sebenarnya cuma mendengarkan. Mendengarkan segala bentuk dari keberatan-kebaratan sebagai anak dari ketetapan yang tidak baik-baik saja.

"Saya pusing, Ji. Anak di rumah minta hape baru. Sedangkan penghasilan saya lagi jelek-jeleknya bulan ini. Duh, kalau nggak dikasih kasihan. Nanti dia nangis terus tiap hari. Bingung, euy. Bagusnya gimana, ya?"

Setiadji saat itu sudah kembali besama pesanan dari Kang Samsudin, salah satu pelanggan setianya yang suka dagang di pasar Cihapit. Lalu duduk di kursi sebelah Kang Samsudin.

3"Nginjem wae ka bank emok. Anggeus," tukas Setiadji.

4"Ah kamu mah. Ai mere saran teh sing baleg. Sok araraneh make kudu nginjem sagala ka bank emok. Ripuh saya mayarna."

"Hayang na naon atuh, Kang? Dari dulu sampai sekarang mau cari uang cepat mah susah. Kecuali minjem sama pesugihan. Pilih aja mau yang mana."

5"Heeh nya euy." Kang Samsudin menarik napas panjang. "Pasrah wae kitu urang mah ku Gusti Nu Agung."

"Bagusnya mending gitu atuh, Kang. Rezeki mah nggak ada yang tahu kapan datangnya. Apalagi buat anak mah. Pasti ada aja jalannya."

"Kadang-kadang, saya mah suka iri sama kamu, Ji. Kayaknya hidup nggak ada beban, gitu. Dari pagi sampai malam jualan kopi di sini. Kadang sepi, kadang ramai. Dengarin saya cerita. Tempo mu itu pelan. Tapi menyenangkan."

Setiadji mengembuskan napas panjang. "Apa yang bisa diirikan dari saya atuh, Kang. Bentar lagi udah mau tigapuluh tahun. Belum punya pencapaian apa-apa. Istri nggak ada. Anak nggak punya. Dari dulu hidup gini-gini aja. Jangan suka ngomong gitu atuh, Kang."

"Ya gimana, ya, Ji. Kadang, rumput tetangga tuh suka lebih menggoda."

"Saya mah cuma nggak pernah menolak apa-apa yang datang ke saya, Kang. Syukuri aja. Kalau kita terus lari dari kenyataan mah susah mau bersyukur teh. Nantinya malah ngerasa kekurangan terus."

"Setuju saya sama kamu."

Kang Samsudin kemudian menyuruput kopi hitamnya. Ditemani dengan bala-bala dan gigitan cabai hijau yang renyah, tidak ada rasa paling hebat yang mampu mengalahkan kombinasi tersebut di alam semesta ini.

Matahari merangkak naik dari kaki langit. Bandung semakin berseri kala angin sepoy-sepoy berhasil membuat sepasang sudut milik Setiadji terangkat ke atas. Setelah itu, Kang Samsudin beranjak pergi dari warung kopinya. Katanya, ia lelah dan ingin segera tidur.

Setiadji adalah pendengar yang hebat. Baginya, cerita-cerita dari manusia selain dirinya adalah perjalanan paling menyenangkan untuk disimak. Baik buruknya, tawa tangisnya, marah senangnya, semuanya adalah bagian dari kita yang selalu bejalan demi kebaikan.

***

1. Saya pesan kopi hitam sama bala-bala (bakwan). Jangan lupa pakai cabai. Segar kayaknya udah lelah dagang di pasar.

2. Kopi hitam sama bala-bala (bakwan) aja say amah kayak biasa. Cabainya yang banyak.

3. Pinjam ke bank keliling aja. Selesai.

4. Ah kamu mah. Kalau ngasih saran suka nggak benar. Aneh-aneh aja segala harus pinjam dari bank keliling. Engap bayarnya.

5. Iya, ya. Pasrah aja gitu saya mah ke Gusti yang Maha Suci.

kaki-kaki milik kitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang