Teteh Cantik dari Yogyakarta

17 4 17
                                    




Semesta seperti sedang meromantisasi sepasang manusia yang tidak pernah saling mengenal itu. Pada cantiknya kecanggungan di antara mereka, dan riuhnya sorak hening di antara mereka, dan cantiknya geol semilir angin di antara mereka, dan senyuman menggemaskan itu, ya. Semuanya adalah milik mereka. Yang sedang sama-sama diam.

              "Mas?" panggil gadis itu.

              "Iya, kenapa Teh?"

'             "Udah lama jualan di sini, Mas?"               

              "Mmm ..." Setiadji  terlihat seperti sedang berpikir. "Lumayan, Mbak. Ada sigana lima tahunan mah."

              "Apa, Mas? S-sigana?"

              Setiadji mengerjap. "Eh, maksud saya, kayaknya."

              Namun, gadis itu hanya tertawa kecil.

              "Kok malah ketawa, Teh?"

              Gadis itu menggeleng. "Nggak apa-apa, Mas. Lucu aja gitu, tiap dengar Bahasa Sunda, tuh. Logatnya lemes banget. Enak di dengernya."

              "Ah, Teteh bisa aja. Saya mah justru pengin bisa Bahasa Jawa, Teh."

              "Loh, kenapa?"

              "Soalnya aku mau nyari pacar orang Yogyakarta, Mbak."

              Gadis itu membelalakan sepasang matanya. Sial, kenapa laki-laki itu dengan polosnya bisa berkata seperti itu tepat di hadapan gadis yang aslinya orang Yogyakarta.

              "Teh, nggak apa-apa kan?"

               "Nggak apa-apa, Mas. Aku cuma kaget aja sama alasan Mas pengin bisa Bahasa Jawa."

              "Oh maaf, Mbak. Soalnya saya nggak punya alasan lain, sih, kalau ditanya kayak gitu."

              "Omong-omong, Mas, siapa namanya?"

              "Setiadji, The."

              "Mas Setiadji, aku Tika."

***

Waktu-waktu semakin beranjak dewasa. Sedangkan pikiran kita masih berlarian di atas pelataran romantis milik kita di antara waktu-waktu sebelum dewasa. Berjalan adalah sebuah pencapaian atas keberanian. Keberanian-keberanian milik kepala kita melawan hal yang tidak nyata. Senyata pikiran-pikiran kita yang menginginkan penerimaan.

              "Kenapa, ya, waktu berlalu begitu cepat di Bandung."

              "Cepat gimana, Teh?"

              "Panggil Tika aja, Mas. Aku lebih senang begitu."

              "Kita pelan-pelan aja, ya, Teh. Teteh-nya juga manggil saya, Mas."

              "Kalau aku, sih, biar sopan aja. Soalnya keliatannya Mas umurnya di atas aku, deh."

              "Yang benar?"

              "Boleh kutebak?"

              "Boleh."

              "Tigapuluh tahunan?"

              Sepasang mata Setiadji membelalak. Cukup berhasil membuat Tika tergelak.

              "Kenapa, Mas? Tebakanku benar, ya?"

              Setiadji menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Mendekati, sih. Tapi saya masih dualapan, Tik. Belum tigapuluh."

              "Nah, berarti cocok buat kupanggil Mas."

              "Emang umurmu berapa?"

              "Dualima, Mas."

              Setiadji mengembuskan napas panjang. Rasa-rasanya, waktu memang sangat cepat bergerak semakin dewasa. Orang-orang terus bertambah tua. Padahal, jauh di dalam hatinya ia masih merasa kalau ia masih berumur tujuhbelas tahun lebih sebelas tahun.

              Tercipta hening barang sejenak saat Tika melirik jam tangannya, dan Setiadji hanya diam dengan pikiran-pikirannya. Sebentar lagi adzan magribh akan berkumandang. Ia harus pulang. Karena besok akan kembali bekerja, agar tubuhnya bisa cukup beristirahat.

              "Mas, saya pamit, ya. Besok harus kerja. Badan juga udah mulai pegal-pegal ini pengin tiduran. Makasih, ya, Mas. Indomie sama susunya enak. Tempatnya juga enak. Nanti aku mampir ke sini lagi. Mungkin ke depannya aku akan semakin banyak berbicara. Siap-siap saja, Mas, kupingmu kepanasan."

              Setelah itu, Tika beranjak setelah melihat angkutan umum melintas di depannya. Setiadji masih tidak menjawab. Hanya sepasang matanya saja yang berbicara menatapi kepergian Tika menuju peraduannya. Kemudian, ia tersenyum.

              "Santai saja, Tik. Ceritamu bukan satu-satunya di tempatku. Tapi kalau menyenangkan, mungkin nantinya akan menjadi satu-satunya untukku. Datang lagi. Tempat ini selalu terbuka untukmu."

***

Laki-laki itu menang soal kesabaran. Bagaimana sepasang telianganya mampu menerima suara-suara dari kutukan-kutukan  yang putus asa, dan dunia tetap baik-baik saja di atasnya. Maka, awal mula bagaimana hujan bisa turun adalah akibat dari hilangnya penerimaan.

              Sayangku, kamu adalah manusia yang harum saat diajak bicara. Kata-katamu terdengar keren saat berbicara. Laki-laki itu senang. Karena suara itu ternyata datangnya dari bibirmu yang lucu. Berbicaralah sebanyak yang kamu mau. Karena laki-laki itu memiliki penerimaan seluas samudera jika aitu sudah berkaitan dengan kamu.

              Kamu harus tahu, kalau laki-laki itu bisa tersenyum secemerlang itu saat tahu telinganya akan bercumbu dengen keluh kesahmu.

kaki-kaki milik kitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang