Hidup itu indah, tergantung bagaimana cara manusia menikmatinya. Namun, tak sedikit persepsi mengatakan bahwa, kehidupan bahagia pasti datang dari mereka-mereka yang sempurna. Lantas, bagaimana nasib orang-orang yang terlahir bersama kekurangan? Entah itu cacat fisik, cacat mental, tak memiliki keluarga dan sebagainya.
Apa mereka tidak berhak bahagia?
Apa keindahan hidup hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang lebih baik dari mereka?
Nyatanya tidak. Kembali lagi, hidup itu indah tergantung bagaimana cara manusia menikmatinya. Sempurna tidak bisa menjadi tolak ukur. Sebab Tuhan telah menciptakan tiap-tiap hamba dengan sebaik-baiknya. Di balik kekurangan, pasti ada kelebihan yang disertakan. Bukti nyata keadilan mutlak Tuhan yang maha Esa.
Sebagai salah satu hamba yang bersyukur, Hafidz Adyarakha Athalla pasti selalu marah ketika Bunda menangis menyalahkan Tuhan atas kekurangan yang diterimanya. Remaja manis yang kerap disapa Apis itu berkata, Stenosis Katup yang ia derita adalah anugerah Tuhan yang harus disyukuri. Sakit ini adalah penggugur dosa, yang setiap denyutnya mengandung pahala.
Bagi Apis, memiliki keterbatasan fisik membuatnya semakin kagum pada sang pencipta. Bukannya senang karena diberi musibah, Apis hanya sedang menikmati hidup sebagaimana mestinya. Menangkap banyaknya perbedaan dari sudut pandang yang lebih luas. Toh sakit tidak membatasi langkahnya. Sakit tidak menunda kebahagiaannya. Dan sakit tidak membuatnya merasa berbeda.
Itu semua karena kekuatan yang diberikan oleh keluarganya. Mulai dari petuah hangat dan kerja keras Ayah. Belaian lembut tangan lentik Bunda. Juga semangat membara yang setiap hari ia dapat dari Nathan, kakaknya. Tak ayal, raga lemah itu pun kuat dengan sendirinya. Tak peduli akan keterbatasan yang ada, Apis selalu berani menantang semesta.
Meski terkadang ... Apis sering kalah dengan cobaannya. Akan tetapi, itu hal lumrah yang terjadi pada manusia, bukan? Bagi Apis, selama dukungan keluarga masih menyertai, Apis akan selalu kuat. Berjuang sekuat tenaga sampai Tuhan berkata bahwa, semua telah usai.
"Kak, gue boleh ikut ngedaki, 'kan?"
"Boleh, dong."
"Kak, sore gue main bola sama anak-anak, ya?"
"Iya, nanti Kakak jemput."
"Kak, kapan-kapan ajak Ayah sama Bunda ngedaki gunung, yuk."
"Boleh, tapi lo harus sehat dulu."
"Kak, awannya bagus, ya? Kira-kira di balik sana ada apa, ya?"
"Alien? Astronot?"
"Kalau nanti kita mati, kita bakal terbang ngelewatin awan-awan itu nggak, ya, Kak?"
"Di saat kesempurnaan dijadikan tolak ukur kebahagiaan."
- Menembus Awan -
Hafidz Adyarakha Athalla
Nathan Putra Athalla
KAMU SEDANG MEMBACA
Apis
Teen Fiction#Sicklit #Teenfiction #Jungwon "Besar nanti, cita-cita Apis mau jadi apa? "Mau jadi, laba-laba Sundaaa ...." Percayalah, cerita ini cerah dan ceria. Sesuai dengan sampulnya. :)